Saturday, November 11, 2017

TOILET BANDARA

"Karena ada yang kencing di lantai !" Suara itu agak tinggi. Berasal dari seorang wanita muda pembersih toilet di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Ungkapan itu adalah jawaban atas komplain seorang pengunjung toilet.

"Koq bau sih ?" aku dengar suara  seorang ibu.

Memang benar. Begitu masuk ruangan toilet itu, menyeruak bau pesing. Kondisi ini ironis sekali dengan status bandara yang merupakan gerbang bangsa di mata internasional. Bau itu juga bertolak belakang dengan mengilatnya ruangan  toilet dan megahnya bangunan bandara.

Kontradiksi ini tak sekali ini kutemui. Ketika Bandara Kuala Namu baru berhitung bulan, aku sudah "mencicipi" pengalaman toilet bau. Kinclongnya peralatan toilet yang masih baru tak kuasa menutupi bau tersebut. Benarlah kata pepatah " You can buy technology but you cannot buy culture".

Soal budaya, aku harus melihatnya dari beberapa sisi. Yang pertama terlihat adalah dari sisi petugas pembersih toilet. Kemudian  dari sisi pengunjung. Terakhir adalah dari sudut penguasa bandara itu sendiri.

Tingkat kesisiplinan pekerja Indonesia umumnya terutama  pekerja "casual" memang menjadi pertanyaan, termasuk kesungguhan kerja mbak mbak dan mas mas petugas pembersih toilet di bandara. Namun sampai seberapa parahkah ketidakdisiplinan mereka? Pengalamanku, wanita muda umumnya yang kutemui di toilet bandara adalah orang orang yang tak henti menyiram toilet dan mengeringkan lantai toilet. Pekerjaan itu dilakukan dengan senyum, terutama ketika mempersilakan pengunjung untuk memasuki bilik toilet.

Kalau sudah begini, "kecurigaanku" berpindah kepada pengunjung. Di bandara di Padang aku menemukan bahwa ruang  toilet duduk, yang notabene adalah ruang toilet kering, malah basah seperti baru dipakai untuk mandi. Entah bagaimana cara menginvestigasinya, jawaban pekerja pembersih toilet sama. "Iya Uni, ini karena pengunjung pipis di lantai".

Seorang pengunjung menimpali "Karena nggak semua orang nyaman dengan toilet duduk". Menurutku di sinilah letak masalahnya. Bangsa kita adalah bangsa "toilet jongkok". Walaupun sebagian pemakai toilet tidak BAK di lantai, mereka tetaplah jongkok di atas toilet duduk, ketika hanya ada pilihan itu. Lantas mengapa di bandara Minangkabau tidak tersedia toilet jongkok? Mengapa pula di Bandara Husein di Bandung, dari lima bilik toilet, hanya satu bilik toilet jongkok dan itu pun rusak?

Lebih aneh lagi menurutku desain toilet duduk di Bandara Soekarno Hatta. Toilet duduk itu terletak di lantai yang dibuat sejengkal lebih tinggi daripada lantai yang dijejak pengunjung begitu masuk bilik toilet. Kesanku, toilet duduk itu seperti "manggung". Aku harus hati-hati memakai toilet itu karena begitu aku menyelesaikan hajat dan berdiri maka di ujung sepatuku langsung terdapat "jurang". Salah pasang kuda-kuda, aku bisa terjungkal ke depan.

Kembali ke soal bau toilet. Menurutku penyebab utamanya adalah keengganan umumnya orang Indonesia untuk memakai toilet duduk, yang mengakibatkan mereka BAK di lantai. Solusinya sederhana saja: jumlah bilik toilet jongkok minimal sama dengan jumlah bilik toilet duduk. Sehingga lebih terbuka pilihan untuk penggemar toilet jongkok. Begitu menurutku.

Denpasar, 17 05 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment