Saturday, April 1, 2017

SUPERMAN

"Lisa, nanti kita akan bikin kemunitas menulis di Perusahaan kita. Nah, untuk Kantor Pusat, Lisa mau kan jadi mentornya?" Ini pesan dari Vita. Organisasinya yang mengurus segala sesuatu tentang lomba menulis untuk kalangan internal, sampai akhirnya muncul namaku sebagai salah satu pemenang. Salah satu konsekwensi aku jadi pemenang adalah pertanyaan di atas.

"Siaaaaap" langsung kujawab pertanyaan itu. Tampaknya inilah dunia yang kucari: menjadi penulis dan menjadi mentor di komunitas menulis.

Aku mulai membayangkan akan ada pertemuan online dan mungkin copy darat di mana aku akan mengajar, memotivasi, mengoreksi tulisan. Senangnya.

Waktunya kapan? Kupatut - patut diriku. Pertemuan tatap muka tiada lain tiada bukan, hanya bisa kulakukan di luar hari kerja alias weekend. Lantas pertemuan online-nya kapan? Tampaknya aku belum punya gambaran.

"Lisa, saya itu nyetir delapan jam sehari". Aku bertemu Kang Benny di acara workshop kepenulisan yang diselenggarakan Gramedia, minggu lalu. Pembagian waktu menjadi salah satu bahasan kami ketika membincangkan persistensi menulis. Kang Benny, menjelaskan sekilas kegiatan hariannya. Kesimpulannya  beliau punya waktu menjalankan peran sebagai  mentor di group menulis yang aku jadi anggotanya, setelah lewat tengah malam.

Aku langsung membayangkan tawaran Vita tentang "jabatan" sebagai pembina komunitas menulis di kantor. Aku mulai mengukur diri. Jam 8 tet aku sdh harus duduk di belakang mejaku. Aku tipikal pekerja yang fokus di kantor pada jam kerja untuk meminimalisir bekerja di hari Sabtu (walau kadang itu harus terjadi juga). Berarti selama jam kerja aku tidak bisa berfungsi sebagai mentor menulis. Biasanya aku bekerja hingga adzan magrib. Setelah sholat maghrib, baru aku pulang.

Sesampai di rumah aku mempersiapkan makan malam, makan, ngobrol sebentar, mandi, mencuci, sholat, tilawah, dan, dan akhirnya ? Oh, sudah lewat jam sembilan malam. Inilah saatnya aku bisa menulis atau membaca berita di sosmed. Nonton TV? Sudah lama aku tak punya TV. Tujuannya adalah agar aku efektif dalam mengatur waktu.

Melewati jam 10, mataku mulai lima watt. Kadang aku bisa bertahan sampai jam sebelas dengan konsekwensi aku ngantuk berat setelah shubuh. Pagi hari aku sudah bersiap ke kantor, termasuk mempersiapkan sarapan dan kadang bekal makan siang. Lalu, kapan aku bisa jadi mentor menulis?

Cita citaku sebagai penulis sudah kutulis di langit. Rasanya malu kalau aku menghapusnya. Konsekwensinya sudah pula kuhitung, termasuk alokasi waktu harian dan mingguanku. Namun, ketika membandingkan diriku dengan Kang Benny, aku agak sangsi dengan kemampuanku. Tampaknya Kang Benny mirip Superman dalam hal ini.

Bandung, 08 10 2016
Lisa Tinaria
BANGUN KESIANGAN

Bangun kesiangan, memang aku niatkan. Nah, gawat kan? Ya, tetapi khusus hari libur saja. Sejujurnya, apa pun alasannya,  sengaja bangun siang tidaklah baik.

Jika weekend tiba, aku terbiasa bangun terlambat. Tubuhku sudah tahu,  jam berapa bangun di hari kerja dan jam berapa ketika weekend.  Pada dasarnya ini adalah kompensasi atas ketatnya jadwalku di hari kerja. Demi mengakali rutinitasku agar berlangsung seefektif mungkin, aku niatkan tidak menonton TV. Dan cara yang paling jitu untuk tidak terganggu TV adalah dengan tidak memilikinya!

Konsep bangun siang ini dipakai juga oleh adikku yang jadi wanita pekerja di Jakarta. Tentu jadwal hidupnya di kota yang lebih kejam dari ibu tiri itu, jauh lebih ketat. Konsekwensinya dia sangat kesal kalau dibangunkan pagi di hari weekend. Dia cenderung menghindari kegiatan di pagi hari weekend, seperti olahraga. Membeli sarapan pun tidak. Dia langsung "have brunch" (singkatan atau gabungan dari breakfast and luch). menjelang siang.

Kami selalu mudik ke Padang ketika Lebaran. Hhhmm...liburan yang nikmat di kota dengan "slow pace of life", plus makanan unik yang kami masak bersama.

Suatu pagi, bertahun tahun yang lalu, ketika kami sedang tidur di pagi hari, terdengar ketukan di pintu kamar. "Lisa, Imon, bangun, sudah jam enam lewat ini". Suara Papa memecah keheningan pagi itu. Kami memang berencana pulang ke kampung pada hari lebaran ke tiga. Tetapi kan...?

 "Jam berapa ini? " adikku bergumam tak jelas, sambil turun tempat tidur. Mataku mulai terbuka. Dia membuka pintu kamar dan di pintu berdiri Papa sudah dengan pakaian rapi.

"Ayo siap siap" Papa dengan perintahnya. Papa selalu always on time.

"Tetapi kita kan rencananya berangkat jam setengah delapan?" komplain Imon pada Papa.

"Jangan terlambat" kalimat Papa memang biasa kayak kalimat panitia Opspek.

Imon kembali ke tempat tidur, duduk ditepinya. "Apa artinya uang, kalau waktu bangun kita sama aja ketika di Jakarta dengan ketika liburan di Padang" sungutnya. Aku mengiyakannya sambil malas mendudukkan badan.

"Iya, kita sudah keluar uang banyak untuk membeli tidur siang ini" kataku mengompori.

"Emangnya Papa ngejar apa sih" Imon masih kesal. "Rumah gadang gak akan lari" Imon mengerutu sesukanya.

"Hhmm...."  aku mengiyakan sekenanya. Entah dari mana dia dapat argumen tentang rumah gadang itu. Ada ada saja.

"Nanti kubilang ke Papa" katanya bangkit, berdiri.

Benar, kami semua berdiri di teras rumah, akan berangkat, ketika Imon mulai angkat suara.

"Pa, besok kami jangan dibangunkan pagi pagi ya, walaupun besok kita juga mau jalan jalan". Imon langsung to the point. "Tidur larut malam, bangun siang. kan mahal bagi kami. Masak sama aja, jadwal bangun di Jakarta dengan jadwal di Padang. Alangkah nggak berharganya uang".

"Hayo kita berangkat"

"Ha!? Papa denger nggak siiiih....." gerutu Imon sambil tersandung batu di jalan setapak menuju pintu pagar. Untung dia tidak jatuh. Papa melenggang santai, duluan.

Begitulah, beda generasi. beda pandang tentang bangun siang.

Bandung, 16 Okt 2015
Lisa Tinaria