Saturday, November 11, 2017

KECAP VS SAMBAL

"Aku nggak bisa hidup tanpa kecap" kata temanku di sela sela kunyahannya. Mulutnya penuh, sehingga bicaranya seperti berkumur kumur. Di depan piringnya ada sebotol kecap ukuran meja. Kecap tersebut menjadi barang wajib yang disimpan temanku di lemari kantor, bersanding dengan kertas kertas pekerjannya.

Aku perhatikan setiap temanku makan, dia selalu menuangkan kecap ke makanannya. Tidak peduli wujudnya menjadi aneh. Dia memberi kecap pada nasi padang, Indomie rebus, nasi warteg, baso, mie goreng. Patut diingat, walaupun nasi goreng, mie goreng, baso, umumnya sudah berasa kecap, temanku tetap menambahkan kecap ketika memakannya.

Bertolak belakang dengan temanku yang sangat suka manis kecap, aku sungguh tak bisa lepas dari sambal. Umumnya aku menambahkan cabe  ke makananku seperti, capcai, tumis bayam, atau tumis sayuran lainnya, acar, sop, soto. Aku juga merasa harus makan tempe, tahu goreng dengan cabe rawit. Aku juga sangat menikmati lalap dimakan dengan sambal terasi.

Tentang tingkat kepedasannya, teman kosku pernah bilang "Lisa, sudah putus kayaknya saraf pedas Lisa ya." Aku mengangguk angguk saja sambil menikmati  pempek berkuah pedas, sambil ber hah huh hah huh. Sambal yang kusuka adalah sambal segar, bukan sambal botol. Walau demikian aku tidak perlu mengulek sambal setiap hari kemudian menyimpannya di kantor seperti temanku pencandu kecap. Aku sudah melakukan survey kecil kecilan ke kantin dan tempat makan di sekitar kantor, mana yang menyediakan sambal yang cespleng.

Demikian kisah tentang dua kecanduan yang ekstrim, kecap dan sambal, antara temanku dan diriku ini.

Bandung, 14 Nov 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment