Saturday, November 11, 2017

SEBATANG ROKOK

"Dia sedang duduk di sudut halaman depan", jawab sepupuku ketika kutanya di mana Uum.

"Ngapain dia di sana". Aku tahu, Uum lebih sering menghabiskan harinya di kamar tidur dengan nonton TV atau tidur.

"Merokok".

Aku menarik nafas dalam mendengar penjelasan singkatnya. Kuletakkan barang bawaanku, karena aku baru pulang dari belanja. Apa yang harus kulakukan? Memarahinya? Kondisiku sangat lelah, fisik dan mental. Keadaan dia?

Imon dan aku membiayai pengobatannya. Khususnya aku, menemaninya hampir 24 jam tujuh hari dalam seminggu, selama masa kemonya.  Aku tidak berada di depan hidungnya hanya jika aku berkegiatan di kamar mandi atau atas ijinnya aku belanja untuk keperluannya. Aku pun harus cuti, dari pekerjaan di Bandung, pulang ke Padang, khusus untuk menemaninya, menghadapi monster kemo.

Uum, memikirkan mau makan apa, baginya sudah susah. Apalah lagi memakan makanan sekedar untuk memenuhi energi minimal. Yang dia paling suka adalah sirup perasan jeruk nipis, dengan es yang banyak yang diminum di tengah hari udara Padang. Ini semua gara-gara kemo. O, dia masih suka beberapa buah seperti semangka, jeruk dan mangga muda.

Kebalikan dari seleranya terhadap makanan, maka keinginannya terhadap rokok tetaplah ada. Akulah yang mempersiapkan segala keperluan pribadinya jika akan menginap di rumah sakit. Namun aku kaget suatu hari menemukan sebungkus rokok dalam ransel yang kupersiapkan, lengkap dengan pemantik gas. Dia ternyata berhasil menyelipkannya. Yang lebih ajaib, dia bisa merokok dengan mencari tempat di lorong RS, tempat lewat jenazah.

"Ita, ayo kita jalan ke ujung teras ini. Di sana ada tempat duduk". Aku melayangkan pandang ke arah yang dia tunjuk. Di ujung teras itu ada jalan menurun, khusus untuk tempat lewat tempat tidur beroda atau kursi roda. Daerah itu sepi, jarang di lewati suster dan dokter.

"Hayo" kataku. Tampak tenang, kupikir, cocok untuk tempat ngobrol, tanpa ditingkahi hilir mudik petugas kesehatan.

Sampai di ujung teras lantai tiga itu, Uum lama berdiri membelakangiku. Wajahnya menghadap di kejauhan. Tiba-tiba meruak bau asap rokok. Aku langsung sadar. Kudekati Uum, beranjak dari tempat dudukku. Dengan wajah takut-takut, di depanku,  dia menurunkan rokoknya dari mulutnya. Dia tertangkap tangan, sebagai tersangka!

"Uum masih sempat mencuri-curi!?" Aku tak tahu itu ungkapan sayang, maklum, ataukah ancaman, atau kesal plus kemarahan. Suaraku datar saja. Mata Uum tepat menatap mataku. Kutangkap rasa sesal dan malu di matanya. Sejurus kemudian dia membuang keluar teras, batang rokok menyala yang masih panjang. Puntung roko berapi itu kuharap tak mengenai seorang pun di bawah sana.

******
Aku hampiri Uum yang sedang duduk berjongkok di pelataran rumah, di sudut halaman, di bawah kerindangan pohon belimbing. Aku tiba, rokoknya tetap  dibiarkannya menyala di tangannya. Aku tahu bahwa dia sungkan merokok di hadapanku. Namun kali ini tidak. Tampaknya, sebatang,  yang dia mencuri-curi dariku, sangatlah jadi pengobat kondisi jiwanya saat ini. Rokok itu jelas tidaklah pas untuk paru-parunya yang sudah terkena sebaran kanker usus besar.

Aku pegang kepalanya, lantas aku usap rambutnya yang hitam tebal berikal. Rambutnya tak rontok karena Imon dan aku membelikan obat kemo teknologi terakhir yang ditawarkan dokter. Tak ada kata-kata di antara kami. Tak juga kami bertatapan. Aku tahu Uum takut melihat ke mataku. Dia takut mengecewakan aku. Namun, pada kondisi seperti ini, kami seperti tahu sama tahu. Sepakat, bahwa biarlah sebatang ini saja. Sebatang rokok terakhir yang pernah kulihat dia menikmatinya.

Kali terakhir Uum meninggalkan rumah sakit, tempat tidur yang membawanya dan aku, melewati teras dan lorong tempat Uum,  aku temukan merokok. Lorong jenazah.

Jakarta, 2 Oktober 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment