Sunday, February 12, 2017

DOA IBU

Masih ingatkah teman _ teman dengan cerita Malin Kundang? Ya, itu cerita dari Ranah Minang, tentang dahsyatnya doa seorang Ibu, walau doa itu jelek sekalipun. Singkatnya, seorang Ibu mendoakan anaknya agar mendapat azab, karena sang Ibu telah dihina di depan orang ramai, oleh Malin.

Cerita mirip Malin Kudang juga ada di dunia sekitarku dan itu masih dalam lingkup keluarga besarku. Sebutlah seseorang yang masih terhitung Oomku pernah menarik rambut Ibunya. Seseorang yang masuk dalam ketegori sepupuku, menyundut ibunya dengan rokok dan menarik rambut ibunya. Astaghfirullah.

 Kedua orang yang mendurhakai ibu itu, tidaklah menjadi batu sebagaimana Malin Kundang. Namun, mereka menurutku, menjalani kehidupan sulit sepanjang hayat. Ekonomi kedua orang itu, berikut keluarga intinya, cukup sulit; bekerja serabutan plus memiliiki istri yang tak pandai mengatur keuangan. Mereka juga punya kebiasaan meminta "bantuan"  ke sana kemari, dengan janji dibayar entah kapan.  Anak anak mereka  umumnya bersekolah "alakadarnya", bahkan ada yang tidak selesai SMU.  Ada anak  yang pernah menjadi pencadu narkoba. Ada juga yang "MBA" married by accident.

Secara emosional. kedua orang yang kuceritakan di atas adalah manusia yang temperamental. Pemarah dan sering berkata kasar. Automatically mereka hidup dalam lingkup sosial terbatas alias tak disukai  tetangga maupun keluarga besar. Kehidupan spiritual? Dapat dikatakan mereka tak punya. Setauku, orang yang kupanggil Oom dan Uda itu, tak pernah kulihat sholat.

Aku tak pernah bertanya langsung kepada kedua ibu dari lelaki kasar itu, apakah mereka pernah mendoakan anak mereka menjadi seperti sekarang. Aku pun tak ingin bertanya kepada Oom dan sepupuku itu tentang mengapa kehidupan mereka bisa seperti itu.

 Hanya aku bisa menyimpulkan, manusia bisa  gagal karena tak mampu  melihat kesalahan diri, akibatnya tak pula mampu untuk memperbaiki diri. Bagi mereka kesalahan hanya ada di luar diri mereka, dan mereka tumpukan terutama pada ibu mereka.

On train, 7 Oktober 2015
Lisa Tinaria

Saturday, February 11, 2017

ZAKAT

Aku berkenalan dengan praktik zakat, tidaklah  segera setelah aku mendapat pembelajaran tentang itu dari ustadz atau buku.  Entah apa yang menyebabkan aku masih ngeyel ketika itu. Nah, ketika aku diminta menjadi pengurus Lazis, cara pandangku berubah. Aku tidak saja harus membayar zakat tetapi juga mengajak orang lain membayar zakat.

"Bu Lisa, nanti ikut rapat Lazis ya", kuterima undangan rapat suatu sore, melalui telepon. Apa topik rapat aku tak tahu. Ternyata itu adalah rapat pembentukan pengurus baru. Dan aku ditunjuk sebagai salah satu pengurus. Tugasku? Menjadi penanggung jawab buletin Lazis yang terbit setiap dua bulan sekali.

 Entah apa yang menjadi dasar kuorum ketika itu memilih aku sebagai "tukang tulis menulis". Uniknya aku menerima jabatan itu dengan senang hati, tanpa berargumen sama sekali.

 "Gajiku" sebagai penulis, sekaligus editor, sekaligus mengurus  pencetakan, tidaklah sesuai dengan hiruk pikuk pekerjaan setiap dua bulan. Biasanya aku riweh dot com menjelang deadline. Mencari tulisan untuk di-copy paste (sesuai kaidah referensi),  mengedit tulisan yang masuk,  bahkan membuat tulisan sendiri. Oya, juga mencari foto foto kegiatan kami, untuk dimuat di buletin itu. Lelah, karena semua itu kukerjakan setelah jam kerja kantor. Tidak jarang aku harus  begadang. Dan reward yang kuterima Rp 50.000 satu tahun! Tetapi ternyata bukan itu yang kucari. Romantisme berorganisasi dengan saudara saudara seperjuangan, itulah yang membuat aku hidup  - punya sisi lain di samping dunia kerja.

Kami rutin berkumpul setiap bulan untuk membahas segala persoalan. Yang mengharukan  di setiap rapat  ada saja di antara di kami yang menyumbang makanan. Meskipun  dana penganan rapat juga tersedia.

Rapat, bahasannya segala rupa. Umumnya adalah membahas laporan penerimaan dan pengeluaran kas. Ada juga berbagi informasi tentang orang orang di sekitar kami,  pengurus,  yang membutuhkan bantuan. Permintaan bantuan ada juga yang datang secara resmi melalui surat, misalnya dari panti yatim. Di rapat itu diputuskan jumlah yang akan diberikan. Rapat juga membahas program kerja yang akan dilaksanakan.

Program kerja utama kami adalah kegiatan Ramadhan dan Idul Adha. Ada satu acara utama  di malam  Ramadhan yaitu buka puasa  bersama anak yatim. Namun yang hadir pada acara itu juga pegawai di Gedung Pos Ibukota yang bekerja sampai malam ketika hari diselenggarakannya acara itu. Di samping itu beberapa pejabat di Regional Jakarta juga  diundang.

Pengalaman yang selalu kuingat adalah bagaimana kami harus belanja sembako hingga tengah malam di Carefour Cempaka Mas Jakarta.  Saking banyaknya, jumlahnya satu mobil pick up. Keesokan harinya sepulang kerja, kami mengemas sembako ke dalam tas plastik. Maksudnya itu sebagai bingkisan lebaran untuk anak yatim yang diundang pada acara buka puasa bersama. Acara bungkus membungkus itu juga berlangsung hingga tengah malam. Total bingkisan seingatku mencapai 500 paket dengan berat minimal sekitar 5 kg (ada gula, margarin, minyak goreng, tepung, kue kaleng, dan sirup).  Dasar kami adalah pekerja sosial dalam lembaga Lazis, kegiatan melelahkan tersebut justru menjadi ajang bercanda ria.

Romantisme lain yang aku alami adalah mengikuti acara wisata rohani. Kami pergi ke daerah sekitar  Bogor, yang berhawa  sejuk dan menyewa villa murah (seingatku tanpa  air panas untuk mandi). Untuk menghemat pengeluaran kami membawa tukang masak dan bahan makanan dari Jakarta. Walau berlibur dengan dana seadanya, kami tetap gelak tertawa. Dan yang utama, acara wisata itu diisi dengan beberapa session tausiyah, sholat malam bersama dan muhasabah.

Sekarang aku sudah pindah ke Kantor Pusat di Bandung. Akupun menjadi pengurus Lazis. Tetapi ruh dan semangat berorganisasi  yang kurasa tidak sehangat ketika aku di Lazis Jakarta. Kemana saudara saudaraku yang dulu kami satu barisan? Aku kangen gelak tawa mereka. Terima kasih Allah. Dengan menjadi pengurus Lazis aku jadi mempraktikkan zakat.

Jakarta,  7 Oktober 2015, sambil menunggu rapat.
Lisa Tinaria
MENCARI KERJA

"Ibu bekerja di mana" adalah pertanyaan baku yang aku terima selama mencari rumah, dua bulan terakhir.  Tetapi seorang ibu pemilik rumah yang aku lihat rumahnya,  mengajukan pertanyaan unik " Bekerja atau berwiraswasta?". Aku salut dengan pertanyaan itu.

Mencari kerja vs menciptakan lapangan kerja, itulah isi utama tulisanku kali ini. Mari kita lihat analisis sederhana tentang kedua mainstream kegiatan mencari nafkah ini.

Ada korelasi positif antara tingkat entrepreneur dengan kemajuan ekonomi sebuah negara. Indonesia, jumlah wirausahawannya baru 1,65 persen dari total penduduk. Sementara Malaysia, Thailand dan Singapura, sudah mencapai 4 persen. Faktanya perekonomian ketiga negara tersebut memang lebih baik daripada perekonomian Indonesia. Di peringkat teratas dunia, terdapat Amerika Serikat yang entrepreneurnya  sebagian besar berasal dari bidang teknologi dari daerah Silikon Valley. Sebagian besar dari para wirausahawan itu berasal dari sekolah bisnis terkemuka di negeri Paman Sam itu. Jepang dan Korea Selatan juga termasuk dalam peringkat atas persentase wirausahawannya. Beberapa brand dunia berasal dari kedua negara tersebut.

Mengapa satu negara berbeda dengan negara lain soal persentase wirausahawan ini? Aku berusaha melakukan penelitian kecil-kecilan dan sampai pada satu kesimpulan bahwa budaya merupakan faktor utama. Di Indonesia, mungkin karena bekas jajahan, maka mencari kerja, jadi pegawai, merupakan perjuangan utama setiap orang yang lulus kuliah. Sangat jarang di antara mereka atau orang tua mereka yang menginginkan membuka usaha, menciptakan lapangan kerja. Menjadi pegawai, terutama pegawai pemerintah, dianggap lebih bergengsi karena adanya kehidupan yang nyaris nyaman sepanjang hayat.

Menjadi pegawai, jelas tingkat stressnya lebih rendah daripada menjadi pengusaha. Seorang pengusaha harus memikirkan desain produk, cara menjual, mencari dana, menghitung keuangan, bahkan memikirkan mafia ini itu. Sementara seorang pegawai relatif lebih fokus pada "diri sendiri" : menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Beberapa malah tidak perlu repot dengan tenggat pekerjaan, namun dengan karir yang lancar.

Apabila digali lebih dalam, maka cara berpikir tersebut disebabkan oleh daya juang yang rendah. Ada argumen yang menyatakan bahwa struggling-nya orang Melayu berada di bawah daya juang etnik yang bermata sipit. Coba perhatikan bahwa di tiga negara Asia di atas, etnik Cina, memang lebih mendominasi, ketimbang jumlahnya di Indonesia.

Lantas bagaimanalah negara awak yang sudah banyak "terlanjur" ini? Aku lihat, mulainya harus dari generasi seusiaku. Generasi yang saat ini mempunyai anak usia sekolah. Tuntutan orang tua, itulah yang akan membentuk cara berpikir anak. Beranikah orang tua seusiaku untuk mengatakan kepada anaknya yang sedang kuliah " Gimana kalo kamu bikin usaha?" Sanggupkah para orang tua bersabar melihat anaknya jatuh bangun memulai usaha, beberapa bahkan menghabiskan dana orang tua? Bisakah para orang tua menjadi teman kala sang anak sedang sangat down?

Para orang tua dapat memotivasi diri sendiri dan anak dengan teori motivasi yang diajarkan Rasulullah.  Dalam Islam, pekerjaan menjadi pedagang, ternyata mendapat nilai lebih di mata Allah. Hal ini disampaikan Rasulullah bahwa "Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada dalam perdagangan". Lantas berdasarkan sejarah, sebagian besar Nabi adalah pedagang. Mungkinkah karena tingkat stress yang tinggi itu lantas Allah memberi nilai khusus pada entrepreneur?

Bandung, 3 Oktober 2015
Lisa Tinaria
PENGAJIAN

Fifi temanku menawarkan kepadaku apakah aku mau ikut pengajian online. Nama komunitasnya BiAS. Aku langsung mengiyakan dan memdaftar via online. Lalu ada info lagi dari Fifi tentang kajian pra nikah, juga online. Tanpa banyak berpikir, aku juga langsung mendaftarkan diri.

Begitulah fenomena pengajian jaman sekarang. Setelah belanja online, berobat online (bertanya pada dokter via web), game online, biro jodoh  online, maka sekarang ada pengajian online.

Bagiku pengajian online ini sangat bermanfaat. Aku bisa mengakses informasinya kapan saja dan di mana saja. Cocok sekali untukku yang suka "mencuri-curi" ketika rapat, terutama pada rapat yang aku tak mengerti mengapa aku harus di situ. Keuntungan lain, aku seakan akan "disuapi", sehingga tidak perlu repot mencari sumber hukum baik buku hard copy maupun buku Mbah Google. Hal lain, aku tidak perlu mencatat materi. Jikapun aku ingin share sebuah judul pengajian aku tidak perlu pergi ke tukang fotokopi. Cukup mem- forward materi yang akan ku-share. Pengajian online yang kuikuti juga menyediakan forum diskusi. So far, diskusi sedikit sekali kuikuti karena keterbatasan waktuku.

Kekurangan dari pengajian online adalah para anggota kecil kemungkinan kenal satu sama lain. Ada beberapa yang saling kenal sehingga diskusi banyak terjadi di antara yang kenal itu. Yang lain mungkin merasa cukup jadi pengamat. Karena kurangnya atau tidak adanya tatap muka secara langsung, maka para anggota tidak merasa perlu berkenalan lebih jauh. Taaruf dilakukan secara online dengan bertukar info umum tentang diri anggota, seperti nama, umur, pekerjaan dan kota tempat tinggal.

Berbeda sekali dengan pengajian di lingkungan RT atau RW. Biasanya para anggota terlibat secara emosional karena seringnya bertemu muka dan karena berada dalam lingkungan yang sama. Tidak jarang ajang pengajian juga jadi ajang arisan dan tempat berjualan. Kegiatan akhirnya tidak sebatas pengajian dalam arti berkumpul membahas suatu hukum, tetapi berkembang menjadi kegiatan membantu anggota yang kemalangan.

Demikianlah perbandingan pengajian konvensional dan pengajian online. Keduanya pada dasarnya saling melengkapi. Namun memilih salah satu pun tak masalah. Yang masalah adalah jika tak ikut pengajian sama sekali yang berarti tak ada proses belajar. Sayang sekali.

Bandung, 27 Sept 2015
Lisa Tinaria
BADUT

Takut badut, itulah yang terjadi pada keponakanku. Alih alih minta berfoto bersama, dia malah menghindar kemudian menatap nanar pada wajah sang badut.

Sekitar dua tahun lalu aku berkesempatan jalan jalan ke Bukittinggi dengan keponakanku. Perjalanan itu atas permintaan keponakanku yang ingin melihat gajah. Di Padang tidak ada gajah karena tidak ada kebun binatang. Gajah baru bisa ditonton jika ada sirkus. Kalaupun ada, gajah yang dilihat keponakanku adalah gajah berwarna pink di buku cerita yang aku  bacakan untuknya. Itupun masih dipertanyakannya apakah gajah itu sama dengan eskavator. Ketika itu keponakanku berumur 4 tahun.

Singkat cerita kami akhirnya selesai melihat gajah asli. Kami kemudian jalan jalan di sekitar Jam Gadang.  Tempat itu adalah pusat keramaian seperti Alun Alun Bandung. Bedanya Walikota Bukittinggi belum berhasil menaklukkan pedagang kaki lima di sana sebagaimana Kang Emil di Bandung. Segala jualan ada di pelataran Jam Gadang. Termasuklah beberapa badut sedang "menjajakan diri". Ada yang berbentuk Mickey, "pacarnya" Minnie, Winnie the Pooh dan tokoh anak ayam berwarna kuning. Lupa aku namanya.

Bagiku, sebagai orang dewasa, melihat badut itu. cukup menjadi hiburan. Terutama melihat si Mickey yang dalam "dunia nyatanya" merupakan tikus yang "gentleman" lagi smart.

Tetapi tidak bagi keponakanku.
"Coba berdiri di sebelah si Mickey" kataku kepada keponakanku sambil mengeluarkan hpku yang berkamera.   Dia diam saja, berdiri tegap di tempatnya. Si badut yang aku sudah bertransaksi dengannya untuk beberapa shot, menghampirinya, berjongkok dan memgulurkan tangannya yang super besar. Demi melihat tangan super besar itu keponakanku langsung balik kanan berjalan cepat ke arahku yang sedang mengambil kuda kuda untuk memotonya. Si badut tahu diri, tidak mendekatinya.

"Kenapa" tanyaku padanya.
"Olin takut" jawabnya sambil melihat dari kejauhan si Mickey. Penglihatannya tampak fokus pada wajah Mickey yang selalu always, kapan saja di mana saja, tersenyum lebar.   Aku tak bertanya lebih jauh penyebab rasa takutnya. Apakah keponakanku takut pada senyum Mickey yang memang tampak tidak mempunyai ruh itu? Entahlah.

Bandung, 28 Sept 2015
Lisa Tinaria
SENDIRI

Terima kasih Atty dan Fifi, temanku pada grup Menulis Untuk Ibadah, yang telah menyadarkanku tentang aspek lain dari "sendiri". Bahwa sendiri itu tidak berarti negatif, yaitu kesepian karena belum menikah, atau diputus si doi,ketakutan karena ditinggal suami ke luar kota, sedikit punya teman atau disebut introvert. Hal utama yang disampaikan Atty adalah bahwa kondisi sendiri di sepertiga malam, bertaqarrub kepada Allah adalah bentuk kesendirian yang disukai Allah. Fifi, melihat lebih jauh lagi, yaitu bahwa di alam sana kita akan sendiri, tak punya teman selain amal ibadah kita.

Aku berusaha melihat sisi psikologis yang tentu saja positif dari "being alone". Kondisiku saat ini menuntutku lebih mandiri. Mengurus pemindahan barang kalau aku pindah dinas ke kota lain, ya sendiri. Ketika mengurus rumah kos milik adikku di Jakarta, beberapa tahun lalu, aku biasa mencari bahan bangunan, mengontak tukang sekaligus memandorinya, sendiri.  Sekarang, mencari rumah untuk kutinggali pun aku ngider sendiri. Karena sudah biasa menghadapi persoalan hidup sendiri, aku juga relatif tenang ketika Papa menyampaikan masalah keluarga di Padang, atau ketikan Oom dan Etek curhat tentang masalah keluarga besar di kampung.

Secara spiritual, aku melihat bahwa inilah "kekinianku". Ketika banyak wanita karir yang berumah tangga, pakepuk dengan dua urusan besar - domestik dan pekerjaan - aku cukup fokus pada pekerjaan (bukan karir) dan punya banyak "me time", terutama untuk mengembangkan diri dan melaksanakan hobi.  Manakah yang lebih baik dari dua kelompok wanita itu? Tak ada, kecuali tingkat keikhlasan dalam memanfaatkan detik demi detik kehidupan.

Tentang kesendirian yang  orang umumnya menganggap sebagai ketidakampuan membina pertemanan alias introvert, ternyata tidak benar. Introvert artinya "gaining energy by being alone". Artinya mampu berkiprah penuh justru ketika sedang sendiri. Profesi orang orang dengan karakter ini adalah penulis (nah lo...), peneliti, designer apa pun (interior, arsitektur, mode, dan banyak lagi). Seorang CEO terkenal, Steve Jobs yang notabene adalah perancang komputer dan strategi, termasuk kelompok "sendiri" ini. Apakah orang karakter ini tidak punya teman dan tidak gaul? Tampaknya tidak.

Kebalikan introvert yaitu ekstrovert adalah orang yang suka keramaian. Berprofesi yang berhubungan dengan bertemu dengan orang banyak. Itulah dia umumnya pemasar, politikus, pembawa acara termasuk news anchor.
Kesimpulannya tidak ada yang salah dengan "sendiri". So, untuk Nur, temanku, yang juga dari grup Menulis Untuk Ibadah, selamat menempuh "kesendirian". Kata itu memakai tanda kutip, yang artinya berbeda dengan makna harafiahnya. Mainkan peranmu!

Bandung, 27 Sept 2015
Lisa Tinaria
GAMBAR

Suhu menulis kami sedang dikarantina. Begitu istilah yang dipakai Kang Benny. Tak ada penjelasan beliau apa itu arti karantina. Beberapa hari tak muncul, grup jadi sepi, kehilangan ruh.

Namun sejak tadi malam, menjelang tidur, aku menyimak, grup menjadi agak hidup karena adanya diskusi. Pemulainya, entah Fifi entah Hendra. Salut kepada keduanya. Diskusi yang berisi. Diskusi berlangsung hingga dini hari. Masuk kemudian Cak Mo dan Awan kemudian Tidi, lalu Nur. Diskusi semakin hidup.

Aku hanya bisa membaca mencuri curi, sambil berdandan sebelum ke kantor dan di dalam ruang pelatihan. Karena materi yang "gimana gitu", aku jadi terinspirasi mengetik tulisan ini.

Diskusi panjang menimbulkan semangat untuk kopdar. Sungguh grup ini. menemukan ruhnya tersendiri sehingga para anggota ingin "makan nasi timbel bersama, duduk di tikar, di sebuah taman".  Belum ada kesepakatan kapan akan dilaksanakan tetapi aku sungguh menunggu acara itu.

Diskusi akhirnya diakhiri oleh Fifi dengan mengupload gambar berikut pesan agar memberi komentar atas gambar tersebut. Gambar Fifi menambah solid suasana hati dan pikiranku di ruang pelatihan ini: bosan, datar, akhirnya mengantuk. Oya, materi pelatihan adalah Surat Utang Negara.

Gambar itu menunjukkan pemandangan yang sejuk dengan background  biru pegunungan  dan latar depan hijau tosca danau serta hijau daun pepohonan dan rumput. Pegunungan, pohon dan danau itu ditingkah bungalow dengan jendela lebar menghadap  danau dan di depan bungalow   tertambat perahu.

Aku membayangkan sedang berada di salah satu ruang di bungalow itu. Jendela lebar memuaskan mataku untuk melihat ke danau dan pegunungan di kejauhan. Di depan bungalow ada padang rumput. Aku mencium bau kopi dari secangkir yang tersaji di meja di depanku sambil duduk pada sebuah easy chair. Di dekat cangkir kopi ada piring kecil berisi satu tart kecil dan seiris bika ambon. Di tengah meja terdapat vas bunga kristal agak tinggi yang  disesaki potongan sedap malam berwarna putih. Harumnya menambah suasana santai suasana.

Sesekali aku mendongak melihat slide. Sudah hampir sejam aku di ruangan pelatihan, slide berwarna abu abu itu belum berganti. Sang pemberi materi seorang anak muda dengan suara datar.

Aku kembali melihat gambar yg diupload Fifi. Mencari cari apa lagi yang bisa kuceritakan. Lama kelamaan gambar itu buram. Penyaji jadi "makhluk halus", kadang tampak kadang tidak, suaranya antara ada dan tiada. A ..ku....a...k....u.....

(Aku lupa tanggal berapa menulis ini).
SUKSES PADA PROSES

Kami di dunia akuntansi sangat tergila gila dengan dengan sebuah output yaitu opini  akuntan publik  "wajar untuk hal hal yang material" untuk laporan keuangan yang dihasilkan. Demi mencapai itu kami biasanya membuat tim yang solid untuk mendampingi auditor dalam melakukan proses audit.

Sepintas, proses audit tersebut dipersiapkan dengan baik. Temuan tahun lalu dibuka lagi, diidentifikasi mana yang belum ditindaklanjuti, orang orang terkait temuan tersebut dihubungi. Anggota tim saling mengingatkan tentang data yang harus dipersiapkan. Intinya semua orang sibuk ketika menghadapi audit.

Tetapi apakah menjadi baik itu hanya ketika audit? Mengapa kajian terhadap SOP ini dan itu hanya menjelang atau ketika audit berlangsung, yang ujung ujungnya menimbulkan stress tingkat tertentu? Bukankah temuan dan pertanyaan auditor sebenarnya bisa diantisipasi dengan memastikan bahwa SOP memang ada dan diterapkan.

Ya, mengantisipasi risiko, itulah topik hidupku hari ini dan empat hari ke depan, sebagai peserta pelatihan Risk Management. Betapa "padai berhitung" adalah ciri manajemen cerdas. Bisa memprediksi risiko bisnis, bahkan risiko terburuk adalah salah satu siasat bisnis yang bisa mengarah kepada efisiensi dan efektifitas.

Salah satu alat untuk mengantisipasi risiko adalah SOP yang handal, yang tentu saja diterapkan dan, jangan lupa, dievaluasi. Terlihat bahwa sukses sebuah bisnis adalah sebuah proses panjang. Kenaikan grafik laba bukanlah sim salabim.

Jika dibawakan ke kehidupan pribadi, maka konsep Risk Management itu sama saja. Orang yang tak pandai menghitung kelemahan dirinya, tak akan berproses menuju kebaikan. Perubahan, proses "menjadi", itulah kesuksesan sebenarnya.

Jika dikaji lebih dalam, kajian spiritual, bukankah Allah menghargai setiap upaya menuju perbaikan? Bukankah setiap amal sekecil apa pun ada balasannya? Dan berbuat kebaikan itu membutuhkan perjuangan,  penaklukan diri. Hasilnya bisa jadi tak sesuai harapan: uang tak berlimpah, karir biasa saja. Tetapi bahwa proses "being" lah yang mendapat reward, patutlah menjadi acuan utama. Bahwa sukses itu pada proses, bukan pada hasil.

Bandung, 7 Sept 2015
Lisa Tinaria