Saturday, November 11, 2017

MAKAN SIRIH

"Dilarang meludah" adalah instruksi  yang biasa terdapat di kantor-kantor di Papua, termasuk di Kantor Regional Pos Papua. Rubi yang semula tidak paham arti pengumuman itu, semakin berkerut kening melihat bercak merah di dinding kantor bagian belakang.

"Masa iya sih, yang begitu saja harus diajarkan?" tanyanya kepada pendampingnya, selama kunjungan kerjanya ke Papua.

"Ya, ini hasil meludah" teman Rubi menerangkan sambil menunjuk dinding yang mereka lewati. Di dinding itu terdapat bercak merah kira-kira selebar telapak tangan orang dewasa. "Kalau tidak diingatkan, sebagian besar dinding kantor bisa jadi kanvas lukisan sirih itu".

"Sirih?"

"Ya, orang Papua, tua maupun. muda suka mengunyah sirih. Itu dilakukan ibarat makan permen: di mana saja, kapan saja".

Rubi memperhatikan tadi lapak penjual buah berwarna hijau, dalam perjalanannya dari bandara ke hotel. "Itu mungkin buah khas Papua. Apa namanya? Matoa?" Rubi membatin.

"Sirih, kapur dan pinang - buah hijau yang banyak dijual di pinggir jalan itu - dikunyah bersamaan. Warna air ludah dan mulut jadi merah. Nah, karena kurangnya edukasi, orang Papua sering sembarangan membuang ludah berwarna merah, hasil nyirih."

"Oo" Rubi hanya berkomentar sangat singkat sambil melihat pada seorang laki-laki muda yang sedang mengeluarkan isi mulutnya ke tanah di halaman kantor. Nah, yang satu ini kebetulan meludah bukan ke dinding.

"Rasanya gimana, koq kayaknya mereka menikmati banget?" Rubi menyampaikan kepenasarannya.

"Ada rasa manisnya" temannya tersenyum menggoda. "Mau nyoba? Bisa ketagihan lho...He he".

Rubi langsung menggeleng keras. Setahu Rubi, rasa sirih, kapur dan pinang itu sepet dan agak pedas. Dia tahu itu dari seorang perempuan tua di kampungya. Mendengar penjelasan rasa itu, suatu hari Rubi semakin tak mengerti dengan penampilan seorang tetua kampung yang nyirih dengan mencampurnya dengan tembakau. Gulungan kecil tembakau itu ditaruh di bawah bibir atas sehingga bibir itu terlihat jontor, seperti kena tinju.

Bandung, 20 09 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment