Sunday, November 12, 2017

DAUN PISANG

"Mengapa nasi padang yang dibungkus lebih enak daripada nasi padang yang dimakan di restorannya?" Rudi berbicara seperti berkumur-kumur. Di depannya terhampar sebungkus nasi padang yang sudah dibuka. Wanginya menyeruak di ruangan kerja yang ber-ac itu. Rudi memasukkan  nasi berlauk gulai ayam itu ke mulutnya dengan suapan besar.

"Katanya, katanya sih, karena pakai bumbu daun ganja". Seno menjawab dengan asal.

"Bukan itu yang kutanyakan". Rudi meneguk air di mug di depannya. "Yang kutanyakan, dibungkus dan tidak dibungkus. Mengapa beda rasanya".

"Aaa...hhh. Itu psikologis saja". Seno tetaplah Seno. Sekenanya. Dia sering membuat Rudi gusar, karena celutukannya. "Kalau dibungkus, butuh waktu lebih lama untuk menahan lapar, alias lebih menderita. Begitu bungkusan nasi dibuka, langsung selera diumbar".

"Bukan itu jawabannya".

"Koq ini saja dibahas sih...Cepat selesaikan makan itu. Nih, laporan ditunggu Pak Winar". Seno yang belum sempat makan siang segera membereskan seadanya kertas berserakan di mejanya. Temannya satu tim, Rudi, yang sedang menganalisis rasa nasi rames padang, sekarang sudah selesai dengan suapan terakhirnya. Sekarang gilirannya untuk makan siang. Keduanya bekerja di bagian sekretariat kantor, yang terkenal sibuk dengan remeh temeh. Untuk istirahat saja mereka harus bergiliran.

Tiba-tiba Pak Winar, kepala kantor,  keluar dari ruangannya. Wajah beliau sedang berlipat demi menunggu laporan dari kedua anak muda yang sedang membahas  nasi bungkus itu.
"Seno, tolong pesankan saya nasi padang yang di sebelah kantor. Pakai lauk rendang". Cepat, Pak Winar langsung memunggungi mereka setelah memberikan istruksi. "Jangan lupa, bungkusnya diberi alas daun pisang di dalamnya". Pak Winar cepat pula membalikkan badan lagi, merequest lagi.

"Ya Pak" Seno langsung menghambur ke luar.

Tak sampai lima belas menit dia sudah kembali dengan dua bungkus nasi padang, untuk Pak Winar dan untuk dirinya. Nasi bungkus untuk Pak Winar disajikannya di atas piring makan ceper warna putih, dan dibawanya dengan takzim ke ruangan sang bos.

Sekarang gilirannya. Seno baru menyuap ketika Pak Winar muncul lagi di ambang pintu.

"Kenapa koq tidak dialas dengan daun pisang?" Tiba-tiba suara Pak Winar memecah ketenangan makan Seno. "Nggak enak kalau tidak ada harum daun pisang".

"Ng...ng Pak" Seno serta merta berdiri dari duduknya. Gagal paham.

"Saya kan tadi sudah pesan. Dialasi daun pisang. Agar wangi". Pak Winar tampak gusar. Mungkin karena telepon dari kantor pusat, yang meminta laporan dan karena nasi padang yang tidak dibungkus dengan alas daun pisang.

Meskipun terkenal temperamental, Pak Winar juga dikenal sebagai pemimpin yang cepat reda kemarahannya. Selesai menyampaikan uneg unegnya tentang daun pisang itu, dia langsung balik kanan, masuk ke ruangannya.

"Jadi bukan ganja yang bikin nasi bungkus jadi enak. Tetapi aroma daun pisang!" Rudi sudah berdiri di belakang Seno, tanpa Seno sadari. "Ingat itu agar tidak kena marah lagi".

"Aa...khhh, teori dari mana itu!" Seno mendengus, melanjutkan makannya.

Bandung, 23 03 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment