Saturday, November 11, 2017

I AM PERSISTENT


"Would you please explain yourself using three adjective words" adalah salah satu pertanyaan dalam latihan interview pekerjaan, yang pernah aku ikuti. Dan aku menjawab " I am a kind person, I am analitical and persistent". Dalam dunia barat, karyawan yang memakai kata persisten, termasuk orang yang dicari.

Alhamdulillah aku tidak perlu mencari arti kata persistent ( adjective) atau persistence (noun) di kamus karena persisten merupakan karakterku. Sederhananya, persisten artinya teguh berusaha, tidak mudah give up dalam melakukan sesuatu. Patut diingat bahwa  di samping mempunyai konotasi positif   ( istilah kamusnya "approved") persisten juga mempunyai konotasi negatif ("disapproved"), contohnya persistent back pain.

Sejujurnya perlu ekstra upaya bagiku yang persisten  untuk bergaul dalam budaya Indonesia yang "take everyhing easy" (tetapi belum tentu menyelesaikan masalah).  Di kantor aku hobi menulis nota teguran, menikmati membuat laporan resmi, suka menulis MoM, serta rajin membaca dan mengomentari email dinas. Soal tulis menulis itu, bukanlah kebiasaan orang Indonesia umumnya, akibat dari tidak adanya budaya membaca. Dalam kehidupan pribadi aku persisten untuk menjadikan sayur dan buah sebagai makanan pokokku, pengganti nasi. Lagi_lagi aku berbeda dari khalayak ramai. Teman kos ku bilang "Kalau gak makan nasi berarti belum makan". Teman lain yang tahu tentang my persistence dalam makan sayur dan buah bisa tercengang sambil bertanya "Koq bisa sudah lima tahun jarang sekali makan nasi?"

Karena sifatku yang persisten itu, beberapa teman kantor mengomentari "Sudahlah Lisa, jangan terlalu serius". Aku kadang bingung apakah serius melakukan sesuatu dalam arti berulang ulang mengupayakan solusi merupakan suatu dosa? Seakan akan orang yang serius adalah manusia dengan penyakit jiwa tertentu sementara orang yang nyantai adalah orang yang cerdas yang  bisa menyelesaikan masalah dengan style cueknya. Seorang temanku pernah juga berkomentar "Orang yang serius belum tentu koq bisa menyelesaikan masalah".

Terus terang aku merasa "kalah" dalam soal serius dan persisten. Merasa bodoh karena tidak bisa bersikap santai. Ada upayaku untuk "menurunkan standar"  yang aku sendiri tidak paham bagaimana teknisnya. Apakah aku tidak perlu lagi banyak menulis nota teguran? Kalau ada SOP, lebih baik aku tidak membacanya agar aku tidak mengkritisinya? Kalau ada report anak PKL aku tidak perlu membacanya? Langsung saja menandatanganinya kalau perlu sambil tutup mata. Lama lama memikirkan perubahan itu, aku pening sendiri. Sampai akhirnya aku menemukan jawabannya di pengajian.

Persisten, bahasa al Quran_nya adalah istiqomah. Tetap berbuat baik dalam segala "cuaca", termasuk ketika diri ini merasa berat atau malas melakukannya. Termasuk ketika ada orang menilai baik atau menilai buruk. Kalau sudah diterpa setan malas maka di sinilah doa anti malas berperan. Termasuk dalam kelompok arti persisten adalah kata sabar, artinya menahan diri untuk tetap melakukan kebaikan atau tetap menghindar dari perbuatan buruk. Konsekwensi dari persisten adalah serius dalam bertindak untuk kebaikan. Nah, untuk padanan serius aku menemukan kata jahadu artinya bersungguh sungguh. Dari sinilah kata jihad berasal. Lantas bagaimana dengan cap tidak pernah santai? Aku pun menemukan jawabannya, yaitu tawakal. Setelah menyempurnakan ikhtiar maka serahkan hasilnya kepada Allah. Hasilnya bisa jadi bikin gedubrak. Tetapi kan sudah diupayakan? Hasilnya mungkin bikin orang lain berkomentar bla bla bla. Terapi bukankah upaya itu bukan dipersembahkan kepada mereka. So mengapa harus repot dengan komentar mereka?

Setelah menemukan jawaban itu semua, aku menjadi pribadi yang justru lebih santai. Aku  lebih siap menghadapi skenario terburuk dalam keseharian maupun dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan. Ada hal aneh lagi. Aku jadi lebih banyak tersenyum! Semoga ini pertanda baik ya. Akhirnya aku menyimpulkan, biarlah aku persisten dengan persistensiku.

Bandung, 13 Okt 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment