Sunday, November 12, 2017

KUGAPAI BINTANG

Akhirnya kugapai bintang. Demikianlah kejadian hari ini. Sebuah pencapaian, dengan perjuangan, disertai teman, lengkap dengan tawa, canda dan senyuman, plus narsisme, itulah yang kulalui hari ini.

"Kalau akan menyengaja ke sini, rasanya tidak mungkin", sejujurnya demikianlah kataku. Beberapa teman juga mengaminkan ucapanku. Alhasil, terima kasih kepada keluarga besar Akuntansi yang telah merancang tamasya hari ini.

Aku menuliskan cerita ini sambil mengangkat kakiku ke dinding. Inilah  hasil lain dari perjuanganku hari ini. Kakiku yang bekerja berat mendaki Puncak Bintang sesungguhnya butuh perlakuan ekstra sore ini. Sayang Teh Lina Pijat (demikian dia kuberi nama di phonebook-ku) memberikan jawaban "nomor di luar jangkauan", ketika kutelepon dia.Tetapi sakitnya kaki ini terbayar lunas.

Mendengar kata "hutan pinus" ketika akan berangkat sudah membuatku excited. Hutan pinus seperti di film Korea? Lantas terbayang pula ciri khas suasana pegunungan, hijau dan sejuk. Dan memang itu yang kudapat.

Menjelang ke sana, perjalanan mobil meliuk-liuk menaiki jalan terjal mendaki. Di beberapa titik, jalan menyempit dengan jurang di satu sisi jalan, membuat kami penumpang ikut "merasa mengerem". Namun, hey, di bawah sana, di kejauhan, ribuan rumah beratap merah, tampak buram, di balik kabut pagi. Inilah Bandung, tampak dari ketinggian. Di kiri kanan jalan mulai tampak ladang sayur mayur. Punggung bukit yang dibuat petakan dan ditanami beragam sayur dengan berderet rapi, seperti menampilkan pola batik. Kubuka kaca mobil. Hhmm, udara terasa segar.

Akhirnya kami sampai di tempat pemberhentian terakhir untuk mobil. Perjalanan dari sana, dengan berjalan kaki, tak sampai lima belas menit ke Puncak Bintang. Itu pun menapaki jalan yang sudah diberi paving blok. Jalan kaki santai bersama teman-teman, sambil berfoto ria, diselingi gelak tawa dan bercanda, itulah esensi kebersamaan hari ini.

Teman-teman dan aku berfoto di depan ikon Puncak Bintang, yaitu sebuah bentuk bintang besar yang tampak mengilat karena dibuat dari stainless steel. Kami para ibu (ah...para bapak juga) tak lupa narsis - berfoto sendiri sendiri - di depan sang bintang. Adakah yang langsung meng-update statusnya dengan foto itu?

Masih di sekitar Puncak Bintang, inilah dia, objek yang kucari: hutan pinus. Pepohonannya cukup rapat sehingga tanah di bawahnya tak ditumbuhi rumput. Matahari menjelang siang, berusaha menembus kerapatan dedaunan sehingga udara terasa tetap sejuk bagai udara pagi. Di tengah hutan pinus membentang jalan setapak menuju spot berikutnya, Patahan Lembang. Melewati jalan itu seperti melewati beberapa scene film Korea. Tak lupa aku juga selfie di jalan itu.

Perjalanan ke Patahan Lembang  lebih sulit. Jalannya berupa jalan tanah tanpa pengerasan. dan lebih terasa tanjakannya. Di beberapa tempat, jalan itu becek sehingga licin. Uniknya jalan seperti itu dijadikan track oleh pencinta motor trail. Ketika kami sedang hiking tersebut, lewatlah beberapa rombongan pemotor itu. Suara mesin motor memecah ketenangan hutan. Kehadiran mereka sesekali mengharuskan kami, pejalan kaki untuk menepi. Ups! Beberapa di antara kami juga terkena cipratan lumpur dari roda motor trail. O, ada juga motor trail yang terjebak lumpur yang dalam sehingga tidak bisa maju lagi. Motor itu harus diangkat.

Dalam perjalanan ke Patahan Lembang, kami melewati satu satunya warung yang menjual  gorengan dan makanan kecil serta minuman. Begitu sampai di warung itu kami langsung menyerbu makanan yang dijajalan termasuk pisang goreng panas yang ditaburi gula semut. Aku, seperti biasa, memesan teh manis panas sebagai teman pisang goreng. Kami duduk di beberapa bangku panjang yang terbuat dari bambu. Kepala kami ternaungi dengan dedaunan pinus, di puncak batang yang tinggi. Canda, tawa, potret sana sini mewarnai acara minum kopi dan teh panas itu.

"Aku belum kebagian pisang goreng!" seru seorang teman. Dia sedang berdiri mengawasi Abah si pemilik warung yang sedang mempersiapkan gorengan berikutnya. Beberapa teman lain, nyengir, sambil ikut antri bersamanya. Aku ikut juga. Satu pisang  goreng, tidak cukup!

Kami akhirnya sampai di Patahan Lembang. "Yang mana yang patah?" kataku membatin. Yang ada di depanku adalah sebuah jurang yang di tepinya ada tulisan "Patahan Lembang 1.515 m dpl".  Di belakang papan bertulisan itu, kami bergantian berfoto.

Hhmm...yang ada di bayanganku adalah adanya sejenis tebing batu, tegak lurus 90 derajat di spot itu. Tetapi itu tak tampak di sana. Di mana? Pertanyaan di kepalaku terjawab setelah googling. Patahan Lembang akan tampak dari jauh sebagai sebuah bukit berdinding batu, sebagai akibat dari amblas atau naiknya permukaan tanah.

Begitulah travelingku kali ini. Terima kasih teman teman Akuntansi yang sudah menyelenggarakan tamasya indah ini.

Bandung, May Day 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment