Sunday, August 20, 2017

BAHASA BANGSAKU

Bangsaku dengan umur 72 tahun adalah bangsa dengan kemampuan berbahasa level tertentu. Masih sulit membedakan mana bus pariwisata, mana pula pariwisata.  Lalu apa pula beda rumah makan dan restoran? Pernah melihat kata `security` di punggung baju seseorang bukan? Apa artinya itu? Para pemasar properti, sering memakai kata `dikontrakan` ketimbang `dikontrakkan`. Keduanya ternyata jauh beda artinya. Beda antara yang tersirat dengan yang tersurat juga terdapat pada kata `marketing`.

Mari kita bergeser ke isi tulisan. Kadang bangsaku kerepotan dalam memilih koma atau titik, dalam menulis, sehingga bisa menimbulkan salah pengertian. Bisa juga mengakibatkan "kehabisan nafas". Nanti, akan diterangkan tentang hal ini. Lantas, lebih dalam lagi, yaitu tentang pokok pikiran. Apa pula itu? Paragraf?

"Aakhkhhh... Pening palak awak ditanya macam itu!" kata Abang yang dari Medan.

Marilah kita urai beberapa kecenderungan berbahasa di atas.

Pariwisata adalah sebuah  kotak ukuran sangat besar, berjendela banyak, beroda minimal empat. Kotak tersebut bisa "menggelinding" cepat, karena memiliki mesin dan mesin tersebut dikendalikan oleh seseorang yang disebut sopir. Beberapa merek terkenal dari kotak beroda tersebut berasal dari Eropa.

Demikianlah pengertian pariwisata, jika diartikan secara membabi buta dikaitkan dengan keberadaan kata itu di bagian atas depan sebuah bis besar. Seharusnya kotak besar beroda tersebut diberi judul `Bis Pariwisata`.

Restoran diambil dari bahasa Inggris `restaurant`. Artinya rumah makan. Kalau ada di billboard sebuah bangunan, tulisan `restoran dan rumah makan` kemungkinan ada dua usaha di sana, atau satu usaha dimiliki dua orang. Atau...atau... Menurutku, satu kata saja cukup : rumah makan atau restoran (bukan pakai kata `dan`).

Security adalah seseorang dengan baju model safari berwarna biru tua atau hitam. Biasanya baju itu berlengan panjang. Tugas orang tersebut adalah menjaga keamanan di sebuah lingkungan biasanya kantor atau mall. Orang ini mudah dikenali dari tulisan `security` di bagian punggung bajunya.

Security juga berarti tempat mangkal atau tempat istirahat orang yang menjaga keamanan tersebut (bingung nggak sih, pembaca?).

Istilah yang tepat adalah `security personnel`. Security artinya sebuah kondisi di mana terdapat keamanan. Security bukan orang, bukan pula pos jaga satpam.

Marketing adalah kata yang sering disandingkan dengan kata `dicari`. Biasanya paduan dua kata itu ada di iklan lowongan kerja. Berarti `marketing` artinya orang? Bukan. Markerting adalah kegiatan untuk mempromosikan suatu barang atau jasa. Orangnya disebut `marketer`. Nah, sekarang kata ini berjodoh dengan kata `dicari`. Yang dibutuhkan adalah seorang marketer untuk melakujan kegiatan marketing.
Bagaimana pula dengan iklan "Dikontrakan sebuah rumah"?

Coba resapi arti kalimat berikut,  "Pendapat A dikontrakan dengan pendapat si B pada acara debat yang dihadiri para petinggi partai itu".

Coba pula rasakan kalimat ini,  "Di kontrakannya yang sempit dia memelihara ayam, burung merpati, kelinci dan kucing".

Pada akhirnya, "Rumahnya di Bekasi dikontrakkan, kemudian dia menyewa apartemen di daerah Pramuka".

Manakah yang di antara ketiga contoh di atas yang cocok artinya dengan `menyewakan rumah`?  Perhatikan kata dasarnya. Secara berurut,  pada ketiga kalimat di atas, kata dasar adalah : kontra, kontrakan dan kontrak. Tiga kata dengan arti yang berbeda.

Sekarang kita beralih ke konten tulisan. Pernahkah teman-teman menemukan meme seperti ini,  "Menurut kabar burung, kamu sakit. Menurut kabar, burung kamu sakit". Sebuah tanda koma bisa mengubah segalanya, pengertian kalimat secara keseluruhan.

Di sebuah perusahaan, konon terjadi kericuhan gara-gara kalimat  ini, "Kewajiban Pajak Penghasilan  25 1 milyar". Ini adalah message via WA dari Bagian Keuangan. Direksi sampai  harus menanyakan ulang ke beberapa pihak kebenaran angka 251 milyar tersebut. Usut punya usut, ternyata kewajiban Pajak Penghasilan (pasal) 25, (adalah) 1 milyar. Hanya 1 milyar, bukan 251 milyar.

 Masih tentang koma, penulis pernah menemukan satu paragraf yang berisi beberapa kalimat tunggal, tetapi kalimat tersebut dipisahkan dengan tanda koma. Mungkinkah penulisnya berpikir bahwa satu paragraf hanya boleh ada satu kalimat? Akibatnya kalimat tersebut menjadi sangat panjang. Pembacanya kehabisan nafas ketika membacanya dengan bersuara.

Satu paragraf, semestinya dibatasi oleh satu pokok pikiran, bukan oleh satu kalimat (yang kepanjangan). Satu pokok pikiran atau satu ide, dapat diuraikan dengan beberapa kalimat tunggal, atau beberapa kalimat majemuk. Contohnya,  pada paragraf ini.

Ngomong-ngomong, apakah pokok pikiran pada paragraf di atas? Alamak, semakin ke sini, semakin susah tampaknya diskusi tentang menulis. Bisa-bisa orang yang awalnya bersemangat 45 untuk menulis, jadi mundur teratur ketika diberi pertanyaan itu.

Akhirnya, untuk menjawab semua "kegalauan" di atas itulah, salah satu sebab KMO hadir. Beberapa tugas tersebut  di antaranya adalah membuat orang yang sudah berniat belajar menulis, mau mempraktikkan `menulis` itu setiap hari. Mungkin KMO juga punya tugas untuk menjadi mentor "one by one" agar benar-benar dapat memperbaiki kemampuan menulis anggotanya. Betapa beratnya tugas KMO.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan berbahasa tulis, bangsaku tetaplah  bangsa dengan segala keindahan yang disematkan pada negerinya. Keindahan yang membekas  pada banyak foto dan tulisan. Kecantikan pada warna warna. Bahkan seorang Syahrir dalam bukunya "Out of Exile" menyatakan "I thought nothing, even felt nothing", ketika menyaksikan keindahan alam dari atas kapal, dalam perjalanan pengasingannya ke Banda Neira.

Kepada para anggota KMO, tetaplah menulis dengan manis, tentang banyak hal. Tentang anak bangsa,  juga tentang negeri yang penuh warna.

Bandung, 20 08 2017
Lisa Tinaria

Wednesday, August 16, 2017

DELMAN PULANG KANTOR

DELMAN PULANG KANTOR

"Make a wish", batinku. Aku memandangi dengan masygul benda bising yang bergerak cepat menjauhi tempatku berdiri. Derik roda kereta yang bergulir, berpadu dengan ketukan ladam di jalanan beton, bunyi pecut dan yang paling dominan, bunyi klenengan, kalung  sang kuda. Bunyi itu mengalahkan suara motor dan mobil yang lalu lalang di sekitarku. Suara indah itu mengingatkanku pada masa kecilku : naik delman di Padang.

Aku mendengar bunyi neng nong neng nong itu menjauh. "Insyaallah lain kali", kataku pada diri sendiri sambil melambaikan tangan kepada tukang ojek di seberang tempatku berdiri.

"Jam berapa biasanya delman itu lewat", kataku agak berteriak kepada si bapak tukang ojek yang mulai menginjak gas motornya.

"Sekitar jam lima lewat".

Ah, jam segitu aku baru keluar kantor. Tetapi, just make a wish.

----

Aku mengeluarkan gulungan uang kecil dari kantung depan tasku.

"Berapa, Pak?", tanyaku sambil memandang puas pada dua gelas kosong bekas tempat air kelapa muda, di meja di hadapanku.

Tiba-tiba "neng nong neng nong", berisik yang indah, menjelang dari jalan di bagian arah kananku. Dia menuju ke bagian arah kiriku. Refleks, aku balik kanan dan menyambut si delman dengan lambaian tangan, menghentikan.

"Saya ikut", teriakku girang bukan alang kepalang. Dalam hitungan detik aku kembali ke si penjual air kelapa muda, menyerahkan uang, kemudian meloncat ke atas delman diiringi tuter dari mobil yang terhenti sejenak di belakang sang delman. Cahaya lampu suasana maghrib, menyinari wajahku yang sumringah. Hendaknya pak sopir mengerti itu sehingga tak membunyikan klakson mobilnya. Aahh...

Sore tadi adalah sekitar sebulan sejak aku berkata "insyaallah" tentang delman itu.

Aku tersenyum puas pada sang kusir, seorang pemuda awal dua puluhan. Dia berani menghentikan kudanya untuk penumpang tak biasa seperti aku, yang menghentikannya di pertigaan yang sibuk.

Entah dari soal apa percakapan dimulai hingga sampailah pada soal jual beli kuda. Perjalananku singkat saja, tetapi sesuatu yang baru kutemukan.

"Ada kuda poni", katanya. "Beberapa hari yang lalu baru datang dua ekor dari Jawa Tengah. Harganya sekitar 17 juta dua ekor".

"Ha?!" aku ternganga.

"Semuanya, saya punya enam ekor sekarang".

"Untuk apa kuda itu?" tanyaku lugu.

"Untuk disewa di tempat wisata".

O, aku ingat di dekat kantorku ada kuda sewaan yang ditunggangi anak-anak. Si pawang kuda mengiringi kudanya dengan berjalan terbirit birit, di samping sang kuda yang berjalan santai.

"Ini saya juga sering mangkal di Gazibu. Besok juga ada karnaval. Ini delman, dihias".  Ya, besok adalah tanggal 17 Agustus 2017.

Aku mendengarkan dengan takzim ceritanya. Di belakangku sekarang ada sorot lampu. Baru aku sadar. Mobil itu mengiri kami dengan sabar. Jalan hanya pas untuk dua mobil sementara kendaraan cukup ramai. Aku - entahlah karena apa - tersenyum kepada sang sopir yang tak terlihat. Sekian menit berlalu, sampai akhirnya mobil itu menyalip kami.

Beberapa ruko, rumah penduduk, warung, gang, tempat cucian mobil, tempat pembuangan runtuhan bangunan, kulewati dengan delman itu.

"Saya, punya dua kereta ini", tambah  pemuda kusir, ketika aku melewati sepetak dua hamparan sawah.

Hamparan hijau  dan delman yang kutumpangi, bagiku, adalah paduan yang sesunguhnya. Bukankah begini kira-kira suasana berkendara di kampungku seabad yang lalu? Aku meluaskan pandang pada latar belakang sawah tersebut. Kerlip lampu di lereng perbukitan Kabupaten Bandung, dan bayangan pegunungan nun jauh di sana - dalam remang maghrib - membuatku terdiam sejenak. Tak lama aku bisa bermenung seperti itu.

"Saya turun di sini", kataku segera sadar. Delman hampir melewati jembatan kecil tempat aku biasa menyeberang kanal menuju perumahan tempatku tinggal.

Perjalanan itu tak jauh, kurang dari satu kilometer dari simpang Jalan Kuningan - Jalan Cibodas, menuju arah Parakan Saat. Namun memori yang tersimpan, akan sama langgengnya dengan memori naik delman di masa kecilku.

Akankah  tahun depan, aku masih bisa menikmati hamparan sawah berlatar pebukitan itu, dari atas delman? Entahlah. Mungkin sawah itu sudah berubah jadi perumahan. Mungkin kuda poni sudah semakin jarang. Mungkin juga kereta yang ditarik kuda, sudah tak ada orang yang membuatnya. Mungkin...

Bandung, 16 08 2017
Lisa Tinaria