Saturday, September 30, 2017

SURYA

I take it so serious. "Jahadu" sebuah istilah yang aku suka, yang artinya jihad, berjuang.

Rasanya tak mungkin aku berangkat naik kereta jam 5 pagi dari Bandung.  Sampai di Gambir, jam 8.30? Hhmm...Naik mobil travel, dengan kondisi jalanan yang unpredictable? Akhirnya kuputuskan menginap semalam di Jakarta, di sekitar tempat acara. The whole day, Jumat, aku excited bukan main. Hei, bahkan sejak Kamis malam aku sudah merasakan hormon endhorphinku meningkat. Makan banyak, bercerita banyak, tersenyum banyak. Ya Allah, inilah sebuah kekuatan dari kata "mimpi".

Pagi ini, oh, aku tidak bisa tidur lagi setelah sholat shubuh (ups, sebuah kebiasaan jelekku). Tempat acara tepat di seberang jalan dari tempat aku menginap. Aku mencari penginapan sedekat mungkin dengan "target". Alhasil aku tiba on time. Bahkan satpam belum mengijinkan aku masuk.

O, ternyata aku tidak sendiri. Mereka lebih duluan datang. Empat orang wanita muda mengerubungi sebuah meja bundar berdaun meja dari marmer putih. Aku mendekat ke mereka.

"Mba, peserta seminar juga?" sapaku.

"Iya" jawab mereka hampir serentak. Sama denganku tampaknya, semuanya berwajah sumringah. Kami berkenalan, bersalaman.

"Lia".

"Lisa".

Kekuranganku, selesai mereka menyebutkan nama, kata nama mereka langsung menguap dari kepalaku. Kecuali satu.

"Surya".

Seorang perempuan muda, usia mahasiswi, menyalamiku. Dia sedang berlutut di lantai di samping meja bundar. Dia menjulurkan tangannya dengan mantap, dari kerendahan, ke arahku yang berdiri. Aku tidak mempermasalahkan mengapa dia tidak berdiri menyambut tanganku, tangan perempuan "jelita" (jelang lima puluh tahun). Mungkin dia sedang membenahi isi tasnya.

Selesai chit chat singkat aku mengundurkan diri dari kelompok sumringah itu.

"Silakan, masuk ke ruang acara, di lantai tujuh", tiba-tiba satpam memgumumkan. Kami berjalan beriringan, berlima. Eh, berenam, ada satu gadis lagi. Aku berjalan agak duluan. Kumasuki lift yang dioperasikan seorang satpam (betapa mewahnya hidup di negeriku; naik lift saja ada petugas tukang pencet tombol lift). Empat orang rombongan sumringah, menyusul di belakangku.

Begitu aku membalikkan badan menunggu rombongan itu, aku merasa tercekat. Salah satu anggota dari kelompok empat itu berjalan mantap. Dengan posisi tetap berlutut? Bukan. Dia bisa berjalan normal, tidak menggunakan tangan sebagai penyangga tubuhnya. Dia memakai sepatu, terlihat mengintip dari balik baju "gamis"nya yang hanya sepanjang lututku. Dia tak punya tulang tungkai. Berdiri di sampingku, tingginya hanya sepinggangku.

Dia berjalan di depanku, sekarang. Kami menuju meja pendaftaran.

"Nama Mba, siapa?" tanya panitia.

"Surya".

Ibu panitia membantu mencari namanya di daftar hadir, kemudian menyodorkan lembar kertas ke hadapan mukanya. Kertas itu sekarang ada tepat di bawah dagunya, yang menyentuh tepi meja. Dia menandatanganinya dengan ceria.

Aku hanya bisa memandang terpana. Malu.  Aku lirik dia yang berjalan gagah, ketika menuju meja minuman, sementara aku menandatangani daftar absen. Kupikir aku adalah manusia paling jaya pagi ini. Ternyata tidak. Dia lebih perkasa daripada aku. Mimpi kami mungkin sama besar, tetapi dia melakukannya dengan resource yang lebih hemat. Bukankah dia lebih "beruntung" daripada aku? Semoga Surya benar-benar menjadi pelita bagi orang-orang di sekitarnya.

Jakarta, Gedung Kompas Gramedia,
1 Oktober 2016
Lisa Tinaria