Monday, November 13, 2017

AGEN RAHASIA di Bis Kota

"Ayo cepat" Tini menarik tangan Elin dengan kencang sehingga Elin terseok seok mengikuti langkah sohibnya itu. Mereka berdua sedang berada di tengah kemacetan di Jl. Rasuna Said Jakarta. Ini pelajaran baru bagi Elin: naik bis kota di Jakarta. Dia sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan nasional yang  bonafid. Besok hari pertamanya bekerja dan hari ini, Minggu, Tini mengajari teman satu kampusnya itu naik bis kota. Hup!! Akhirnya kaki Elin menjejak di pintu bis kota.

"Masuk, masuk! Ke tengah ke tengah. Kosong!" kernet bis kota menekan punggung Elin dengan tanggannya yang sedang menggenggam segepok  rupiah lusuh. Terpaksa kedua wanita muda itu merangsek ke tengah. Bukan untuk mencari tempat duduk tetapi untuk mencari tempat berdiri!

Apa boleh buat yang diketahui Tini saat ini barulah jalur bis kota non AC. Entah dari mana ke mana jalur bis kota AC dari tempat kos Elin saat ini. Jika oada akhirnya perjalanan naik bis kota ini lebih banyak ruginya dari segi biaya dan waktu, lebih baik Elin kos di sekitar Jalan Rasuna Said saja. Tetapi biaya kos di daerah segitiga emas itu kan selangit? Jauh panggang dari api untuk ukuran fresh graduate seperti mereka berdua.

"Harta tidak dibawa mati! Seribu dua ribu, apalah artinya bagi Anda!". Tiba tiba ada suara cepreng yang dibuat serak serak becek eh, basah meneriakkan kalimat motivasi itu.  Kalimat itu betul adanya hanya cara menyampaikan dan penyampainya membuat Elin ternganga.

Tepat di depannya berdiri seorang laki laki tinggi besar, berkulit hitam, berbibir hitam,  berkaca mata hitam, bertopi hitam, dan ini, ini, yang paling membuat Elin bingung, dia memakai baju musim dingin, coat, warna hitam! Dan ini siang hari di Jakarta Bung! Di atas bis kota non AC. Eh, dia mengantisipasinya dengan hanya memakai singlet kumal warna putih tak jelas.

Di belakangnya berdiri seorang laki laki agak kurus, dengan penampilan hampir mirip. Bedanya kacamatanya, ya kacanya,  berwarna kuning dan dia memakai jaket pendek - bukan coat -  berbulu di leher, yang ada penutup kepalanya. Dia menutupi kepalanya yang sudah bertopi dengan hood jaket itu.

Setiap kalimat si kacamata hitam diiyakan oleh si kacamata kuning.
"Ya betul. Ya betul". Perbedaan lain,  suaranya tidak cempreng. Justru bariton.

"Jangan pura pura nggak dengar. Pura pura tuli! Jangan pura pura tidur!" Elin melihat ke penumpang yang duduk di kiri dan kanannya. Hampir semuanya menunduk dalam, dengan kepala lemas. Seorang malah terangguk angguk sesuai dengan irama injakan rem sopir bis kota. Mereka memang benar benar tidur!

"Daripada saya mencopet, lebih baik meminta minta". Si cempreng berteriak lagi.

"Ya betul! Ya betul!" Si bariton menimpali.

Allah Maha Adil, batin Elin. Preman yang berbadan besar berisi diberi suara kecil, cempreng dan melengking. Si kerempeng diberi suara besar, ngebas. Keduanya berkolaborasi dengan fokus utama menampilkan ukuran fisik, bukan kewibawaan suara. Manajemen yang salah, protes  Elin di benaknya.

Bis kota melaju dengan tersendat sendat. Sebaliknya kata kata kedua "morivator" semakin lancar.  Semakin lama, kalimat yang dikeluarkan semakin tajam. "Untuk apa pergi haji. Untuk apa sholat!" Juga banyak pengulangan kata kata. Weleh, tidak kreatif!

"Kiri. Kiri!" tiba tiba Tini berteriak kencang. Lho kok turun di sini? Elin bingung. Bukan begini kesepakatan mereka berdua.

Tini mendorong Elin agar maju, melewati dua peminta minta yang serta merta berhenti berceloteh. Ee...malah si cempreng ikut berkomentar. "Kiri pak sopir!"

Akhirnya keduanya sekarang menginjak trotoar.

"Kenapa kita turun di sini?" Elin mengibaskan jilbabnya, mencari angin untuk lehernya yang sudah basah oleh keringat.

"Itu gara gara agen rahasia CIA". Tini bersungut sungut.

"Siapa?"

"Dua preman tadi. Kan kayak agen rahasia yang di film itu tampilannya. Pakai coat". Ekspresi Tini antara kesal, tetapi juga sedang melucu.

"Jauh banget lah dengan tampilan agen rahasia yang di film. Ha, ha, ha". Serta merta Elin tertawa sambil memegang perutnya. Dia ingat dengan idola Tini, seorang pemain film barat, yang memerankan agen rahasia, yang tampilan pakaiannya  persis dengan si cempreng. Bedanya sang agen rahasia berkulit putih, berpenampilan resik dan tentu saja tampan.

"Hayo kita cari agen rahasia beneran" Keduanya tergelak di siang bolong Jakarta.

Bandung, 05 03 2016
Lisa Tinaria
BEMO POS

"Teman teman, aku share ya. Ada lomba merancang tas pengantar". Itulah chat dari seorang teman di grup angkatan di PT Pos tempat Arum bekerja. Sumber resmi lomba itu belum disebut. Beberapa hari kemudian di meja kerja Arum terdapat sebuah surat yang memuat pengumuman resmi tentang lomba tersebut.

Lagi lagi ini adalah sebuah gebrakan dari Pak Gilarsi, Dirut PT Pos Indonesia. Lomba tersebut berlatar belakang bahwa kiriman yang diterima PT Pos sudah berkembang dari surat ke small parcell. Sehingga fasilitas untuk delivery perlu dimodifikasi. Saat ini tas pengantar adalah berupa  tas terpal yang disampirkan di kanan kiri jok motor pengantar. Muatannya terbatas hanya untuk surat. Jika harus mengangkut paket, maka tas itu tidak memadai. Akhirnya paket kecil besar diantar dengan mobil mini box.

"Bagaimana kalau mobil untuk mengantar paket dimodifikasi menjadi seperti ini?" Teman Arum yang kaya ide ini kemudian meng-upload sketsa sebuah kendaraan kecil. Ini adalah chat berikutnya soal pernak pernik pengantaran. Belum ada tanda tanda dari manajemen bahwa disain  kendaraan pengantar paket akan diperlombakan pula.

"Man teman, kendaraan pengantar paket yang dipakai saat ini adalah mini van atau mini box. Sebenarnya kendaraan ini banyak idle space-nya, jika yang diantar adalah small parcel. Ingat sasaran kita adalah pedagang online yang berat barang kirimannya antara dua sampai lima kilo. Dengan ukuran paket seperti kotak sepatu, bukan sebesar kardus rokok." Analisis temanku yang malang melintang di area operasi ini, benar adanya. "Untuk apa kita pakai mobil seperti Grand Max atau T120.  Lebih baik memakai kendaraan kecil."

Kendaraan yang dia maksud adalah seperti bemo. "Aku punya ide, Pos memakai kendaraan sejenis bemo atau bajaj untuk mengantar small parcel. Lebih efisien karena pemakaian space,  optimal. Mudah masuk ke gang yang tidak bisa dimasuki mobil. Banyak gang tidak bisa dimasuki bahkan oleh city car. Harga kendaraan ini jauh lebih murah daripada kendaraan roda empat. Kendaraan ini juga mudah bermanuver di gang sempit."

"Boleh juga tuh idemu. Sudah disampaikan kah ke Direksi?" tanggapan seorang anggota grup.

Arum menyimak antusias diskusi tentang kendaraan itu. Dia agak setuju dengan bemo atau bajaj itu. Tetapi dia ingat suatu kejadian di Jakarta beberapa tahun lalu. Ceritanya dia dapat dari seorang teman lain, bukan dari temannya langsung yang mengalami kejadian ini.

"Eh, tahu nggak kalau beberapa hari lalu Bu Eni kecelakan ketika naik bajaj."

"Kecelakaan bagaimana?" Arum kaget.

"Bajaj yang ditumpanginya miring dan tergolek ketika berbelok dengan kencang di daerah Sabang."

"Ha!?" Arum ternganga.

Kembali kepada analisis teman di grup tadi, tentang keunggulan bemo atau bajaj dalam bermanuver. Arum jadi ragu dengan efektifitas dan efisiensi kendaraan roda tiga itu. Bukankah bemo atau bajaj itu akan dimuati banyak paket, sehingga spacenya tak bersisa? Mungkin sampai ke langit langit atapnya.  Dalam kondisi penuh dan berat seperti itu, masihkah si bemo bisa melaju kencang? Lebih khusus lagi bagaimana ketika dia berbelok. Jangan jangan akan semakin banyak komplain kepada PT Pos gara gara kiriman rusak akibat si bemo terjengkang. Arum hanya menyimpan argumen itu di kepalanya. Tidak berani berkomentar di grup.

Bandung, 07 03 2016
Lisa Tinaria
KIPAS ANGIN

"Nik, tolong hidupkan dong kipas angin". Zainal yang baru saja selesai makan malam terduduk kekenyangan di lantai. Pasangan muda beranak satu itu baru saja menyelesaikan makan malam dengan menu  yang membuat Zainal lupa diri: goreng balado ikan asin sepat.
Lauk yang pedas dan nasi panas mengepul benar benar membuat Zainal bersimbah peluh. "Seperti habis mbecak" kata Karto, sohib yang sering mengenyek Zainal kalau sedang makan bersama. Rumah petak yang memang  hanya berupa sepetak kamar dan cuaca Jakarta yang pengap tak berangin, semakin membuat gerah suasana. Sekarang Zainal bertelanjang dada. Kaos oblong yang dipakainya dilempar-kannya sembarangan ke sudut kamar petakan berukuran 3x4 meter itu.

"Coba Nik, kipas anginnya dipercepat". Kipas angin berbentuk baling baling helikopter yang digantung di langit langit kamar belum mampu mendingin-kan Zainal. Nunik menambah kecepatan kipas angin yang berwarna hijau dan terbuat dari plastik tipis itu. Pada kecepatan 1, kipas angin itu mengeluarkan bunyi yang wajar. Pada kecepatan dua, kipas angin itu mulai mengeluarkan bunyi "ngik, ngik".

"Udah nangis tuh Bang, kipas anginnya", Nunik nyelutuk sambil melihat pada anak mereka yang baru berumur satu tahun. Sang anak tertidur di atas kasur tipis tepat di bawah kipas angin helikopter. "Jangan sampai Rio masuk angin Bang".

"Panas banget. Mau hujan mungkin". Zainal memperkuat usahanya dengan mengipaskan koran bekas bungkus belanja Nunik. Sedangkan Nunik mengipasi dirinya dengan kipas tukang sate.

Yang kepanasan tidak hanya Zainal. Lingkungan rumah petak yang padat itu sekarang seperti dikerubungi laron. Para penghuninya tidak bisa bertahan di dalam rumah. Kebanyakan mereka duduk duduk di emperan depan petak masing masing. Celoteh terdengar di setiap sudut. Sesekali terdengar tawa ngakak. Di petak ujung terdengar lagu dangdut "Sakitnya tu di sini". Suasana belum bisa mengantar para penghuni untuk tidur. Panas sekaligus berisik.

Hari semakin malam. Zainal yang sedari tadi hanya di dalam rumah, sebenarnya ingin tidur lebih cepat. Dia tak ingin bergabung dengan penghuni petak lain. Tetapi udara yang panas dan suara di luar membuatnya tak bisa tidur.

"Nik, tambah lagi kecepatan kipas anginnya". Zainal mulai bergolek di dekat anaknya.

"Bang, ingat anak kita. Kalau dia sakit gara gara kipas angin, kita juga yang repot". Nunik mulai tidak setuju. Dirinya sendiri kepanasan. Tetapi dia tak ingin kipas diperkencang dengan konsek-wensi anaknya semakin terkena angin. Sementara kipas angin di kamar tidur itu tidak bisa disetel arahnya. Nunik tak mau beranjak dari duduknya.

Zainal tak ingin menjadikan malam panas itu tambah panas karena pertengkaran dengan istrinya. Dengan malas dia akhirnya berdiri dan menyetel sendiri knob kipas di dinding. Panah di knob itu mengarah angka 3 sekarang.
Angin semakin kencang keluar dari kipas angin itu. Zainal tampak puas, kemudian melanjutkan berbaring. Nunik yang masih duduk, melengos, bersungut "Dasar egois".

Angin kencang itu sekarang diiringi dengan bungi "ngik, ngik" yang lebih kencang. Nunik bingung. Suara kipas angin  itu jelas membuat suana tambah berisik tetapi koq suaminya malah mulai menguap lebar, dan mulai menutup mata.Suara "ngik ngik" sekarang bertambah dengan suara "krek krek" seperti bunyi roda yang tak diminyaki. Nunik masih terduduk demi "menikmati" segala bunyi itu. Ada rasa kesal bercampur iri di hatinya ketika sekarang dia mendengar suaminya mulai mendengkur.

"Kumatikan saja lah kipas angin berisik ini" batinnya. Tetapi sungguh, tanpa kipas angin, panas tak akan tertahankan di rumah petak yang sumpek itu. "Dijadikan satu saja lah kecepatannya agar tidak terlalu ribut". Nunik melihat pada suaminya yang memang tahan angin karena berkerja sebagai sopir metromini. Dilihatnya anaknya Rio yang rambutnya tampak melayang tertiup kipas angin. "Dia mulai merasa dingin", hati Nunik bergumam. Ketika terjadi perdebatan batin tersebut, tiba tiba sebuah benda hijau jatuh dan menimpa muka suaminya.

"Aa..kh..kh",  Zainal bangun  sambil mengerang. Nunik kaget mendengar keluh suaminya itu. Tetapi yang membuat dia lebih terkejut lagi adalah melihat bahwa barang yang jatuh itu adalah kipas angin. Dan jatuhnya tepat di muka Zainal!

Bandung, 08 03 2016
Lisa Tinaria
INGIN LIBURAN

Hari-hari lelah kami akhirnya berakhir juga dengan diterimanya secara resmi hasil audit laporan keuangan oleh Direksi. Penerimaan secara resmi tidak terjadi dengan mulus, melainkan melalui debat yang panjang.  Diskusi yang alot pada dasarnya terjadi mulai dari tingkat pelaksana atau penyaji data, manajer, kepala divisi, sampai ke level direksi. Rapat-rapat tidak jarang diwarnai suasana tegang. Intinya, proses audit, melelahkan.

"Risa, suamiku tadi menelepon. Katanya Ferdi anakku, demam". Eva kelihatan menerawang. Untuk sementara Eva tinggal  berjauhan dari suami dan anak-anaknya yang masih di Surabaya. Kepindahan Eva ke kantor di Bandung, tidaklah tepat dengan masa liburan anak sekolah. Agar tidak mengganggu sekolah anak anaknya Eva dan  suami memutuskan berkumpul serumah lagi ketika liburan sekolah nanti. "Anehnya aku telepon, dia tidak mau bicara". Mata Eva tampak berkaca kaca. "Dia pasti kangen sekali denganku".

Aku mengomentari dalam hati "Kamu pasti kangen juga". Aku sudah mendapat beberapa cerita. Seorang anak sakit bukan hanya karena dia kangen berat dengan orang tuanya tetapi juga karena orang tua sama kagennya.

"Aku sudah mengajukan cuti. Tetapi bossku bilang tunda dulu sampai audit selesai. Tetapi rencana cutiku itu kan setelah audit selesai". Kami berjalan beriringan di lorong kantor, sambil bercerita tentang rencana liburan setelah audit. "Kamu mau ke mana, Risa? Minggu ke dua Maret ada libur di tengah minggu".

"Aku belum punya rencana. Itu pas hari gerhana bukan?" Aku tak berniat memburu gerhana ke Belitung atau tempat lain yang terkena efek gelap. "Di rumah saja". Aku akhirnya menyimpulkan.

"Maksudku, kalau bossku sdh setuju dengan cutiku, aku akan segera membeli tiket. Harganya masih wajar karena dibeli tidak dadakan". Benar juga argumen Eva.

Butuh sekitar empat hari bagi Eva untuk menunggu keputusan bossnya. Walau audit sudah selesai bossnya tetap ragu untuk menyetujui.  Selama hari hari penantian itu tampak olehku Eva lebih banyak diam. Dia sadar, walau pekerjaan besar sudah selesai, dirinya tak cukup berani untuk meminta bossnya mengambil keputusan lebih cepat. Dia ingat beberapa kalimat pedas bossnya  terkait pekerjaan. Dalam suasana gundah, Eva lebih memilih untuk diam.

"Hari ini Ferdi ulang tahun. Dia sudah mau bicara tadi". Eva mulai menampakkan senyum di wajahnya.

"He, he, dia minta apa?" Aku penasaran dengan Ferdi yang masih di kelas satu SD.

"Lego. Di mana aku bisa beli di Bandung ini?" Eva tampak langsung antusias. "Aku beli dulu lah Lego itu walau sampai sore ini belum ada kepastian cutiku".

Esok hari aku tak melihat Eva di mejanya. Biasanya dia adalah orang yang aku beri salam setiap pagi. Duduknya dekat pintu masuk ruang besar kami.  Aku melewati begitu saja meja Eva yang kosong. "Ke mana Eva. Beranikah dia bolos karena kangen dengan Ferdi?" Aku bertanya dalam hati. Kuletakkan tasku di meja. Ketika sedang membuka filing cabinetku, tiba tiba Lani stafku sudah berdiri di dekatku.

"Bu Risa sudah mendengar tentang Bu Eva?"

"Nggak bolos kan?" Aku tahu Eva bukan tipe itu.

"Anaknya, Ferdi meninggal tadi shubuh karena demam berdarah".

"Ha!!??" Aku terduduk lemas. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun".

"Bu Eva akhirnya berangkat ke Surabaya shubuh tadi pakai bis". Lani meneruskan. Hanya itu yang bisa dia sampaikan.

Aku termenung. Sudah beberapa hari ini Eva tampak muram, gara gara belum diperbolehkan cuti. Terlepas dari skenario Allah bahwa Eva tak bertemu anaknya di saat saat terakhir, aku mempertanyakan penundaan cuti oleh boss Eva.

Bandung, 09 03 2016
Lisa Tinaria
AFRIKA

Kantor Pos Jakarta Pusat, di awal bulan.

Semua tempat duduk di vestibul (loby) sudah terisi penuh. Banyak pengunjung yang menunggu panggilan, berdiri di sembarang tempat. Di beberapa counter yang tidak memakai nomor antrian, tampak pengunjung antri mengular. Suara TV bercampur dengan dengung para pengunjung. Ditingkah pula dengan panggilan "nomor 72, di loket 10" dan panggilan nomor nomor lainnya.

Di sebuah counter terdapat tulisan "Western Union" tergantung di langit langit counter. Di depan counter terdapat beberapa kursi tunggu. Seorang berkulit hitam, tinggi besar sedang duduk di sana. Di counter, sedang berdiri seorang laki laki, juga warga asing, yang tampaknya berhidung timur tengah. Counter itu untuk melayani penerimaan dan pengiriman uang dari dan ke luar negeri.
Sang Afrika sekarang di depan counter.

"Mba Rumi, maksud dia apa? Aku nggak ngerti?" Anti akhirnya harus ke supervisornya karena kewalahan melayani pelanggan yang satu ini.  "Dia nggak bisa speak English".

"Sudah disodorkan form pengiriman uang?" Pengalaman Rumi, kalau pelanggan sulit berkomunikasi karena masalah bahasa, biasanya dengan diperlihatkan form form tertentu, pelanggan akan mengerti.

"Dia menolak". Anti mengelap keringat di keningnya. Hari Senin yang panjang!
"Dia juga gak mau memperlihatkan ID nya, kalau sekiranya dia akan mengambil uang".

"Sebentar ya, aku menerima telepon dulu. Dari Kantor Regional". Rumi mendekatkan androidnya ke telinga kirinya, menjepitkannya ke bahunya, sambil tetap menandatangani berkas berkas di mejanya.

Anti tak beranjak dari meja Mba Rumi. Dia tak sabar menunggu bossnya bercakap di telepon. Waduh, suara Mba Rumi mulai tinggi, berdebat alot dengan seseorang. Tampaknya pejabat Kantor Regional. Ada rasa tak enak pada Anti. Seharusnya dia bisa sendiri mengatasi si Afrika. Tidak perlu melempar masalah ini pada bossnya. Lihatlah sekarang Mba Rumi sedang berkerut kening.

Yang membuat Anti merasa tak mampu adalah bahwa pelanggan Afrika itu tersenyum senyum sejak dia datang tadi, sejak dia duduk menunggu giliran. Sejujurnya Anti takut. Itulah yang menjadi sebab dia tetap berada di meja Rumi sekarang. Memunggungi counter pula!

Rumi selesai bertelepon dengan muka masygul. Ditarik dan dihembuskannya nafas  panjang, dihenyakkannya punggungnya ke sandaran kursi.
"Lupa aku, apa tadi masalahnya?" Rumi sudah bisa berpindah channel, masalah berikutnya.

"Mba, sebenarnya aku takut.  Dari tadi sejak datang, dia nyengir terus". Anti menaikkan alis matanya, membuat mata besarnya tambah besar.

"Ha!?" Rumi tak kalah membelalak. Hari gini masih ada orang yang berani bertindak ceroboh di tengah ramai seperti ini. Rumi membatin.

"Apa baiknya kita panggil satpam saja?" Anti langsung punya ide.

"Tetapi dia kan tidak melalukan apa apa?" Rumi mulai melihat ke counter. Benar, gigi orang itu tanpak dominan di wajahnya yang panjang. Dia tersenyum pada Rumi!  "Hayo mari kita hadapi. Setidaknya ada pembatas, meja counter yang seringgi dada yang memisahkan dia dan kita".

Keduanya berjalan mendekati counter. Anti berlindung di balik punggung Rumi.
Setelah Rumi mendekati counter, tanpa ba atau bu, tiba tiba laki laki bergigi cemerlang itu menyerahkan sebuah bungkusan ke hadapan Rumi. Kaget, Rumi mundur selangkah. Dengan cepat laki laki itu membuka bungkusan itu. Sebuah benda berwarna hitam persegi panjang dikeluarkannya, diangkatnya dan tangannya yang panjang berhasil mendekatkan  barang itu ke muka Rumi.  Giginya semakin tampak banyak karena senyumnya semakin lebar. Hampir saja Rumi berteriak "Toloooonngg!" kalau tidak segera menangkap pesan bahwa terdapat energi positif yang disampaikan si tinggi besar di depannya.

Sebuah clutch, warna hitam, mengilat, dan bermotif kulit buaya tampak di bawah hidung Rumi. "Take it". Hanya itu yang keluar dari mulutnya yang bergusi merah terang. "Take it" katanya lagi, masih dengan senyum lebar.

Rumi mengambil dompet itu, membungkukkan badan atasnya dan berkata "Thank You". Dia sekarang berani menatap mata sang pemberi. Sang mata jenaka  kemudian  membungkukkan badan sambil meletakkan tangan kanannya di dada kiri. Penghormatan. Setelah itu membalik punggung dan berlalu dengan langkah lebar meninggalkan counter.

Rumi dan Anti berpandangan bingung sekaligus takjub  atas kejadian barusan. "Mba, ternyata orangnya baik". Anti tertunduk malu.

Bandung, 11 03 2016
Lisa Tinaria
EMPING MELINJO

"Aku pesan empat bungkus ya Mba" Ririn berbicara di telepon sambil membaca list.  Apa boleh buat, pemesanan dilakukannya di sela sela tumpukan kertas di meja kerjanya. Entah kemana pergi hari sabtu dan minggunya. Lupa lebih tepatnya. "Ya, rangginang empat bungkus. Lalu emping melinjo dua kilo".

"Wah banyak juga pesanan Mba Ririn. Untuk apa? Satu kilo saja sudah banyak. Kan ringan". Teh Yayah mengomentari pesanan Ririn, sambil tergelak senang, dagangannya laku. "Kalau buat teman makan ketupat sih nggak perlu banyak". Teh Yayah masih berceloteh.

Aneh juga ini pedagang, batin Ririn. Aku mau beli banyak malah dicegah. "Itu untuk ganti kue Teh. Akan kusajikan nanti bersama rangginang. Unik kan, ketimbang kue kering manis yang banyak dijual itu". Namun, Ririn masih berencana membeli nastar dan kastengel, kue favoritnya sepanjang jaman.

Ramadhan baru seminggu tetapi Ririn sudah mempunyai daftar barang apa yang akan dibawanya ketika pulang nanti. Oleh oleh untuk orang orang terdekat: Ayah, Ibu, adik laki laki, adik perempuan dan dua keponakan. Makanan pun tak luput jadi barang bawaan.

Waktu libur Ririn lebih banyak setelah lebaran. Tak banyak waktu untuk belanja persiapan lebaran. Tambah lagi pasar semakin sesak. Akhirnya dia memutuskan belanja di Bandung. Belanja makanannya termasuk sederhana. Ririn lebih suka menyajikan rangginang dan emping melinjo kepada tamunya. Dijamin tamunya suka.

"Biar aku yang menggorengnya" Ririn mendahului mempersiapkan peralatan di dapur di rumah orang tuanya di Medan. "Sudah dijemur kan emping ini?"

"Sudaaa...hh. Sudaaaa...h. Ya   mari kita persilakan  Bu Ririn menggoreng makanan kesayangannya". Adik Ririn, meledek semangat kakaknya. Sebenarnya Ririn tahu akal bulus adik laki lakinya itu. Jika dia yang menggoreng maka sebagian besar emping matang akan disimpan di kamarnya. Tentu saja dia habiskan sendirian.

"Jangan ngenyek. Awas ya kalau makan melinjoku", Ririn mengacungkan sendok penggorengan ke arah adiknya.

Minyak di wajan sudah panas mengepul. Kebiasaan Ririn, minyak untuk menggoreng emping melinjo, dicampurnya  dengan sedikit margarin, agar emping  ada rasa gurih  dan sedikit asin. Ririn memasukkan segenggam emping melinjo yang mentah ke penggorengan dan mengaduknya cepat. Dalam sekejap emping melinjo sudah mengembang. Cepat Ririn menangguk emping yang mengapung dan meniriskannya di saringan stainless steel. Ronde kedua dan seterusnya berlangsung cepat.

Emping yang sudah matang dan masih sedikit hangat kemudian ditaburi sedikit garam halus untuk penambah rasa. Emping kemudian dimasukkan ke toples dan siap disimpan.

"Yaaaa...siap disimpan. Siap disimpan agar tidak termakan akal bulus". Ririn bersuara agak keras sambil mencibir ke arah adiknya yang sedang menggaruk kepala yang tidak gatal, di pintu dapur.

Bandung, 13 03 2016
Lisa Tinaria
MATOA GAMES

"Olin, hayo sholat magrib dulu". Bunda keluar dari kamar mandi, selesai mengambil wudhu.

"Ya Bunda". Olin masih melotot di depan komputer. Adzan magrib baru saja berkumandang tetapi tak ada tanda tanda dia akan beranjak dari duduknya.

Bunda masuk ke kamar dan keluar lagi dengan mukena dan sarung sudah terpasang. "Oliiiiin, nanti gamesnya dilanjutkan lagi". Sekarang bunda berdiri di depan kamar. Suaranya lebih tinggi dari suara perintah pertama.

"Tanggung Bunda. Nilai Olin sekarang sudah hampir melewati nilai yang kemarin". Tak sempat Olin melihat pada Bundanya, tahu tahu  Bunda sudah berdiri di samping Olin. Tiba-tiba layar monitor blep, gelap. Bunda mencabut kabel listrik CPU komputer. "Aa..gghh Bunda". Mulut monyong Olin mulai nampak. Tak ada pilihan, dia akhirnya ke kamar mandi.

Sudah telat untuk ke surau, akhirnya Olin sholat di rumah berdua saja dengan Bunda. Ayah masih belum pulang dari acara kenduri di desa tetangga. Sholat kilat khusus ditunaikan Olin. Bunda belum selesai sholat ketika Olin kembali menatap layar komputer.

"Nah, masih ada". Olin berteriak senang, skornya masih terpampang di layar.

Tiba tiba Bunda yang usil sudah berdiri di samping Olin. "Lagi lagi Bunda, lagi lagi Bunda". Bunda bukannya pergi setelah diomeli Olin. Sekarang Bunda malah mencari kursi dan duduk di sebelah Olin.

"Coba terangkan ke Bunda cara main games ini. Apa namanya?" Suara Bunda tidak marah tetapi terkesan menyelidik dan menantang.

"Kenapa? Bunda mau ikut main?" Olin tampak curiga sekaligus tertarik apakah Bundanya bisa main games. Dia menghentikan gerakan mouse di tangan kanannya, menatap mata Bunda. Permainan entah sudah sampai di mana.

"Nggak. Bunda ingin tahu saja cara mainnya". Games ini dibelikan Ayah Olin hari Minggu kemarin di kota. Sejujurnya Bunda tak setuju Ayah membelikan games untuk Olin yang sedang semangat semangatnya menyandang ransel ke sekolah kelas satu SD. Bunda lebih suka Olin dibelikan buku cerita bergambar. Sekarang Bunda ingin tahu adakah gambar atau nilai tak pantas pada games itu.

"Namanya Matoa Games, Bunda".

"Apa?" Bunda berkerut kening. "Mertua?"

"Matoa, bukan mertua" Olin melambatkan ejaannya. "Bunda tahu nggak buah Matoa?"

"Buah?" Bunda semakin penasaran. Ini buah beneran atau rekaan pembuat games?

"Nih Bunda gambarnya". Olin memulai games dari awal. Dia mengklik tombol "mulai". Lantas muncullah di layar gambar pohon besar dengan kelompok buah bergelantungan berwarna merah tua. Di bawah pohon tampak berdiri seorang laki laki berkulit gelap, berambut keriting dan berdada telanjang, memakai celana pendek, memanggul keranjang di punggungnya. Sejauh ini gambar orang itu cukup sopan, batin Bunda.

"Jadi itu buah apa?" Bunda tampak tertarik.

"Nanti, nanti, Olin lihatkan". Olin mulai mengklik gambar orang kemudian memindahkan orang tersebut ke dekat buah yang bergelantungan. Orang tersebut membuat gerakan memetik buah dan memasukkannya ke dalam keranjang di punggungnya. Olin memindahkan gambar orang itu ke beberapa tempat gelantungan buah.
"Nah sekarang keranjangnya sudah penuh. Dia harus turun. Kalau nggak turun, nanti buahnya melimpah dari keranjang, jatuh dan rusak. Itu mengurangi nilai Olin".

"Hhmm..." Betul juga logika permainan ini, pikir Bunda.

"Kalau keranjang belum penuh, nilai Olin kurang. Harus sering bolak balik naik pohon. Orangnya capek". Bunda manggut-manggut menahan senyum. Olin memindahkan gambar orang di atas pohon itu ke tanah.

"Lalu, orang ini harus memakan buah ini sampai habis". Olin mengklik gambar buah matoa yang ditumpahkan dari keranjang. Buah jadi tampil close up. Olin kemudian mengklik buah merah itu satu per satu, tepat di tengah buah lalu buah membuka."Buahnya seperti rambutan isinya, Bunda. Kalau dia bisa menghabiskan buah ini dengan cepat, Olin dapat nilai". Olin mengklik buah, satu satu dengan jitu.

Bunda mulai berpikir kritis. Tahapan inilah yang tidak sesuai dengan nilai Islam, concern Bunda dalam mendidik Olin.
MATOA GAMES - Bag 2

"Memangnya semua buah harus dihabiskan. Kalau sudah kenyang, kan berhenti. Terus, kalau bersisa, kan bisa dibagikan ke tetangga atau dijual" Bunda mulai berceloteh. Olin meng-hentikan mengklik buah satu per satu.

"Tetapi orang ini bisa menghabiskan sekeranjang ini. Tandanya orangnya kuat makan matoa banyak-banyak". Olin menatap wajah Bunda yang mulai tampak aneh.

"Kalau dia sudah selesai makan satu keranjang, lalu dia memetik lagi, trus memakannya semua. Begitu berkali kali? Sudah berapa skor Olin?"

"Tiga puluh dua, Bunda"

"Apa?" Bunda melotot. Olin tersenyum menang pada Bunda. Ini baru namanya prestasi, begitu pikir Olin.

"Olin, coba dengar kata Bunda. Lihat Bunda". Olin patuh. Dia menurunkan tangannya dari keyboard dan meletakkan di pangkuannya. "Kalau Bunda suruh Olin menghabiskan mangga besar besar 10 buah, sanggup nggak? Olin suka kan, mangga?"

"Hehe..." Olin menyeringai. "Nggak bisa. Olin kekenyangsn. Bisa muntah".

"Bisa sakit perut nggak?" Bunda melanjutkan bertanya.

"Bisa mencret, Bunda".

"Lalu, kata Ustadzah Laili, boleh nggak makan berlebihan?"

"Nggak boleh. Jadi kawan setan". Olin masih nyengir. Bunda nggak marah koq, Olin mengira-ngira.

Bunda mulai tersenyum melihat tingkah anak sulungnya itu, memelintirkan jari jarinya, sambil memperlihatkan gigi depannya yang ompong.

"Sekarang kita mengaji dulu ya. Setelah itu makan. Ada PR dari Bu Aisyah?"

"Nggak ada". Olin mematikan komputernya dan mengiringi Bunda ke meja makan.

Bandung, 14 03 2016
Lisa Tinaria
SUBLIMATION

Kata itu baru sekali ini didengar dan dibaca oleh Arum. Kata yang ditugaskan oleh guru menulisnya untuk dijadikan tema menulis. Tak ayal dia harus bertanya kepada Mbah Google. Begitu kata "sublimation" dan "meaning" diketikkan maka muncul beberapa referensi utama. Apalagi kalau bukan Wikipedia yang paling atas. Namun Arum lebih suka memilih kamus Merriam_Webster atau Oxford, yang sejak dulu menjadi referensi utamanya ketika belajar bahasa Inggris.  Kedua kamus itu memberikan contoh pemakaian kata itu.

Secara umum kata sublimate (verb atau kata kerja) dan sublimation (noun atau kata benda), mempunyai dua arti. Arti yang pertama dapat disebut arti harafiah atau arti secara fisik. Pengertian yang kedua adalah dari sudut psikologi.

Secara harafiah, sublimate atau sublimation berhubungan dengan proses  berubahnya benda padat menjadi gas tanpa melalui proses menjadi cairan. Terus terang Arum tak mengerti apa ini. Jelas jelas ini proses di dunia kimia atau fisika. Dia berusaha mencari contoh dan akhirnya menemukan sebuah  produk di www.alibaba.com dengan penjelasan  "sublimation cellphone case". Masih tak mengerti, Arum kembali membolak balik halaman milik Mbah Google. Produk apa itu? Itu adalah case atau pelindung handphone, bergambar, dengan mutu printing premium. Nah, mungkin itu sejenis produk yang tidak mudah luntur warnanya. Ada penjelasan di laman lain bahwa "sublimation printing is printing with vivid color, no clogging, no fading".

Sekarang, pengertian lain, yaitu dari sisi psikologi. Sublimate atau sublimation berhubungan dengan perubahan cara mengekpresikan emosi dengan cara yang lebih baik, elegan, santun, atau socially acceptable.  Ekspresi emosi tersebut bisa jadi awalnya  destruktif (membahayakan) atau tidak sopan. Contoh yang Arum temukan adalah bagaimana seseorang mensublimasi rasa sedihnya karena kehilangan orang yang dicintai dengan menjadi seorang penulis, pelukis  atau pekerja seni lainnya. Ada juga contoh bahwa seseorang yang menjadi workaholic gara gara ditinggal pasangan.  Mungkin ini dinilai lebih "acceptable" ketimbang jadi pencandu obat tidur.

Demikianlah, bertambah sudah vocabulary Arum hari ini. Ini berkat tugas menulis dari guru menulisnya. Terima kasih Kang Benny.

Bandung, 17 03 2016
Lisa Tinaria

Sunday, November 12, 2017

BUAH KWENI BUAH BACANG

"Lain buah bacang, lain buah kweni.
Kalau tidak bacang, jangan dibeli".

"Maksudmu buah yang mana?"

Nora dan Mona mulai saling menaikkan suara. Nora sedang berlepotan dengan cabe dan  cobek di dapur rumah gadang. Sementara Mona baru pulang dari pasar pekanan di kampung.  Mereka sudah sepakat untuk membuat makanan spesial hari ini. Bagi Mona, salah satu tujuan liburan adalah menikmati kuliner antik. Tersebutlah salah satunya yaitu sambal bacang.

"Bacang itu mirip kweni. Begitu kan penjelasanmu tadi? Kupikir, kalau tidak ada bacang, ya kubeli kweni. Nggak ada yang ngerti apa itu bacang". Mona menjelaskan kegagalannya belanja kali ini.

"Ya, tetapi bau keduanya berbeda. Bacang lebih tajam baunya ketimbang kweni. Kulitnya lebih tebal dan dagingnya lebih berserat, kasar. Bentuknya lebih bulat".

"Lantas kalau tidak ada, mau bagaimana?" Mona menyerah, tidak tahu lagi harus bagaimana menanggapi omelan Nora yang sudah selesai mengulek cabe keriting dicampur cabe rawit. Tampaknya paduan itu sudah diberi ikan asin bakar dan bawang merah. Wanginya melingkungi dapur. Hh....mm, tinggal tambahan rasa asam yang segar.

"Ya sudahlah, pakai kweni itu saja", Nora berkacak pinggang sambil melapkan tangannya yang agak basah dan berasa panas ke celemek lusuh yang tergantung di badannya. "Tolong dikupas dan disayat tipis tipis".

Mona mengambil pisau dan mulai mengupas, dengan bibir agak meruncing. Sebel. Sambel yang dibayang bayangkannya sejak dari Jakarta, sudah hampir jadi. Nora, yang jarang mau mengulek sambel, tumben mau berpayah payah kali ini. Sedikit lagi. Ya mengalah saja lah, kalau diomeli Nora.

Akhirnya sambal mentah bacang, eh sambal kweni tersaji juga. Warnanya merah menyala ditingkah irisan halus kweni berwarna kuning. Baunya sekarang menjadi lebih kaya. Sulit dijelaskan, bau kweni yang khas berpadu dengan bau terasi, bawang dan cabe.

"Yach...mari kita coba!" Mona yang antusias mengambil duluan sambel itu. Di piringnya ada nasi panas mengebul, kacang panjang dan terong kukus, ikan mujair goreng dan...sambal kweni.
Sementara Nora masih belum beraksi. Dia tak merasa yakin dengan rasa campuran buah kweni ke dalam sambel itu.

"Enak nggak?" Nora bertanya penasaran.

"Hh..mm hh..mm" Mona hanya mengangguk angguk dengan mulut yang penuh. Ini sudah suapan yang ke sekian.

Nora mulai berani mencoba. Mulanya dia mencium bau keras kweni. Namun lama kelamaan bau itu sudah bercampur dengan wangi terasi, bawang dan cabe. "Enak juga ya..." katanya sambil kepedasan.

"Makanya tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada bacang kweni pun jadi". Dua beradik itu tak bersuara sampai kekenyangan.

Bandung, 19 03 2016
Lisa Tinaria
TANDA TANGAN (versi koreksi)

Apakah secara hukum, cap jempol bisa menggantikan tanda tangan? Sudah sejak pertama bekerja pertanyaan itu bergelantung di kepala Roro. Yang melatarbelakanginya adalah peristiwa sederhana di sebuah kantor pos tempatnya bekerja.

"Bu Roro, orang itu tidak bisa tanda tangan" Anin staf Roro sekarang duduk menghadap Roro. "Katanya tidak bisa nulis. Bagaimana Bu?"

Anin adalah pegawai baru yang baru bekerja dua bulan dan Roro adalah supervisor culun yang berada dalam tahun pertama bekerja. Belum pernah sebelumnya  Roro membaca SOP tentang tidak mampunya seseorang membubuhkan tanda tangan.

"Menghadap Ibu saja ya". Anin seperti memohon bantuan Roro. Antrian mengular di depan counter weselpos yang menjadi tanggung jawabnya.

"Ya, ke saya saja",  Roro akhirnya memutuskan. Ketika itu tugas customer service masih menyatu pada masing masing supervisor. Belum ada petugas khusus.

Seorang Bapak setengah umur duduk di depan Roro sekarang. Pakaiannya sederhana. Dia memakai sandal jepit. Di kepalanya bertengger topi pet dengan warna tak jelas, putih atau kuning.

Di tangan Roro sekarang ada blanko weselpos yang harus dtanda tangani olehnya, sebagai penerima uang.

"Bapak bisa tanda tangan di sini?" Roro menunjuk sebuah kotak di form weselpos tersebut.

"Tidak bisa Bu. Saya tidak bisa nulis". Wajahnya dihiasi senyum lugu. "Saya perlu uangnya Bu".

"Kalau Bapak coba, bagaimana?" Entah ide dari mana, Roro berusaha memotivasi si Bapak.

"Waduh, susah Bu" senyumnya tambah lebar, meunjukkan giginya yang ompong.

"Begini. Coba Bapak pegang pena ini". Roro menyodorkan sebuah pena. Sang calon penerima uang meletakkan tangannya di meja. Tangan itu berjari besar besar, dengan buku tangan yang menonjol. Kuku di tangan itu berwarna dasar kuning dan di ujung beberapa kuku tampak hitam.

"Bagaimana caranya Bu?" Bapak tersebut ternyata mau mencoba. Roro menolong menempatkan  pena di antara jari jarinya yang kaku.

"Coba Bapak coret di sini". Roro menyodorkan kertas bekas. Tergurat juga akhirnya sebuah lengkungan tak beraturan. Bagi Roro, itu bisa  disebut "tanda tangan". Dia kemudian meletakkan form weselpos di dekat tangan besar yang sedang memegang pena dengan erat. "Nah, sekarang tulis di kotak ini".

Roro memandang puas hasil karya tamunya. Mirip tulisan hasil karya keponakannya yang belum masuk TK. "Ya ini sudah ditandatangani. Bapak bisa balik ke loket untuk mengambil uang". Sang tamu membungkuk dengan senyum terima kasih yang lebar.

Bertahun tahun kemudian barulah Roro tahu bahwa cap jempol bisa menggantikan tanda tangan jika seseorang tidak bisa membubuhkan tanda tangan. Hal ini bisa terjadi karena buta huruf atau karena sakit, stroke misalnya. Sepanjang alasan ketidakmampuan itu dijelaskan pada dokumen, maka dokumen bercap jempol tetap sah.

Bandung, 20 03  2016
Lisa Tinaria
LURUS DAN BERGELOMBANG

"Maunya apa sih?" Roni masuk ruang kerjanya dengan bersungut sungut, pagi itu.

"Siapa?" Andi otomatis menghentikan ketikannya di komputer.

"Aaa..kh, gak tau lah" Roni gusar mengacak acak rambutnya yang cocok jadi iklan shampo cowok. Wajah tampannya juga menunjang, jika dia mau.

Pagi ini Roni bertemu lagi dengan dia, di tangga naik ke lantai dua kantornya. Hampir bertumburan malah di belokan tangga. Rasanya Roni cukup hati hati menaiki tangga itu. Dia mengambil jalur agak ke kiri mendekati railing tangga.

Tiba tiba, "Eh, Mas Roni". Di depan Roni berdiri dia dengan jarak hanya sejengkal. Roni hampir terjengkang -bisa terguling ke bagian bawah tangga- jika tidak refleks memegang railing tangga. Badannya otomatis terdesak ke tepi tangga, dengan wajah kaget sekaligus bingung. Sebaliknya wajah di depannya tersipu malu. Tidak. Itu  senyum menggoda. "Iiihhh...Mas Roni, jangan numbur saya dong. Hati hati!" Suara itu dibuat semendayu mungkin. Roni cepat mengambil langkah ke kanan tangga dan berlalu tanpa sepatah kata pun. Dia ingin  muntah!

Sepanjang pagi itu Roni lebih banyak diam. Andi sohibnya melihat gelagat itu. "Ron, sudah adzan tuh. Ayo kita ke mushalla di bawah. Selesai sholat kita makan di kantin. Kamu gak puasa kan?"

Beriringan keduanya menuruni tangga kantor. Dan kejadian bertumburan seperti tadi pagi hampir terjadi. Kali ini sang penyerang merangsek dari tangga bagian bawah. Untungnya Roni bisa berlindung di belakang badan Andi.

"Itulah yang membuat aku muak tadi pagi. Tampak banget, sengaja menumburku". Akhirnya keluar juga curhat Roni.

"Seharusnya kamu bersyukur ada yang mau menumbur kamu". Andi tertawa ngakak. Wajah Roni merah padam mengingat peristiwa hampir bertumburan yang terjadi beberapa kali, juga karena ledekan sahabatnya.

Selesai sholat, Andi mencoba mengungkit "kecelakaan" yang beberapa kali dialami Roni.

"Nggak ada salahnya kamu pedekate. Dia udah ngebet gitu, masa nggak diterima". Kali ini Andi tidak berani menggoda temannya yang terkenal di antara  para gadis di kantor itu sebagai si tampan yang dingin. "Cantik, ceria, apalagi...hhmm". Andi tidak melanjutkan.

"Cantik?" kening Roni berkerut. "Tidak berhijab?" Roni melengos. Dikunyahnya suapan terakhirnya dengan geraham beradu, berbunyi. Geram. "Ceria? Lebih tepatnya centil mungkin!" Roni mencibir.

"Lantas kriteriamu seperti apa?"

"Tiga bulan ini, seingatku sudah tiga kali dia ganti model rambut. Pernah dipotong model bob, dengan poni. Lalu direbonding.  Rambutnya jadi lurus, kelihatan tipis. Persis kayak orang sakit tipus!"

"Haha..." Andi geli melihat mimik Roni dalam bercerita. "Jangan mencela. Nanti kebalikannya. Bisa jatuh cintrong. Haha...".

"Terakhir tadi. Ini yang membuat aku benar-benar kaget. Dia membuat rambutnya bergelombang, model shaggy, lalu diwarnai pirang!" Suara Roni agak meninggi. Untunglah tak banyak orang di kantin kantor itu.

Andi berusaha menahan tawanya, tetapi akhirnya meledak juga ketika kebencian Roni terungkap senyatanya dengan kalimat "Koyo londo ireng!"

"Jadi maunya apa sih dengan rambutnya itu !!??" Roni memegang keningnya yang senut-senut.

Bandung, 22 03 2016
Lisa Tinaria
DAUN PISANG

"Mengapa nasi padang yang dibungkus lebih enak daripada nasi padang yang dimakan di restorannya?" Rudi berbicara seperti berkumur-kumur. Di depannya terhampar sebungkus nasi padang yang sudah dibuka. Wanginya menyeruak di ruangan kerja yang ber-ac itu. Rudi memasukkan  nasi berlauk gulai ayam itu ke mulutnya dengan suapan besar.

"Katanya, katanya sih, karena pakai bumbu daun ganja". Seno menjawab dengan asal.

"Bukan itu yang kutanyakan". Rudi meneguk air di mug di depannya. "Yang kutanyakan, dibungkus dan tidak dibungkus. Mengapa beda rasanya".

"Aaa...hhh. Itu psikologis saja". Seno tetaplah Seno. Sekenanya. Dia sering membuat Rudi gusar, karena celutukannya. "Kalau dibungkus, butuh waktu lebih lama untuk menahan lapar, alias lebih menderita. Begitu bungkusan nasi dibuka, langsung selera diumbar".

"Bukan itu jawabannya".

"Koq ini saja dibahas sih...Cepat selesaikan makan itu. Nih, laporan ditunggu Pak Winar". Seno yang belum sempat makan siang segera membereskan seadanya kertas berserakan di mejanya. Temannya satu tim, Rudi, yang sedang menganalisis rasa nasi rames padang, sekarang sudah selesai dengan suapan terakhirnya. Sekarang gilirannya untuk makan siang. Keduanya bekerja di bagian sekretariat kantor, yang terkenal sibuk dengan remeh temeh. Untuk istirahat saja mereka harus bergiliran.

Tiba-tiba Pak Winar, kepala kantor,  keluar dari ruangannya. Wajah beliau sedang berlipat demi menunggu laporan dari kedua anak muda yang sedang membahas  nasi bungkus itu.
"Seno, tolong pesankan saya nasi padang yang di sebelah kantor. Pakai lauk rendang". Cepat, Pak Winar langsung memunggungi mereka setelah memberikan istruksi. "Jangan lupa, bungkusnya diberi alas daun pisang di dalamnya". Pak Winar cepat pula membalikkan badan lagi, merequest lagi.

"Ya Pak" Seno langsung menghambur ke luar.

Tak sampai lima belas menit dia sudah kembali dengan dua bungkus nasi padang, untuk Pak Winar dan untuk dirinya. Nasi bungkus untuk Pak Winar disajikannya di atas piring makan ceper warna putih, dan dibawanya dengan takzim ke ruangan sang bos.

Sekarang gilirannya. Seno baru menyuap ketika Pak Winar muncul lagi di ambang pintu.

"Kenapa koq tidak dialas dengan daun pisang?" Tiba-tiba suara Pak Winar memecah ketenangan makan Seno. "Nggak enak kalau tidak ada harum daun pisang".

"Ng...ng Pak" Seno serta merta berdiri dari duduknya. Gagal paham.

"Saya kan tadi sudah pesan. Dialasi daun pisang. Agar wangi". Pak Winar tampak gusar. Mungkin karena telepon dari kantor pusat, yang meminta laporan dan karena nasi padang yang tidak dibungkus dengan alas daun pisang.

Meskipun terkenal temperamental, Pak Winar juga dikenal sebagai pemimpin yang cepat reda kemarahannya. Selesai menyampaikan uneg unegnya tentang daun pisang itu, dia langsung balik kanan, masuk ke ruangannya.

"Jadi bukan ganja yang bikin nasi bungkus jadi enak. Tetapi aroma daun pisang!" Rudi sudah berdiri di belakang Seno, tanpa Seno sadari. "Ingat itu agar tidak kena marah lagi".

"Aa...khhh, teori dari mana itu!" Seno mendengus, melanjutkan makannya.

Bandung, 23 03 2016
Lisa Tinaria
LELAKI DI UJUNG JALAN FATMAWATI

Aku beri dia nama Fatmawati. Fatmawati selalu tersenyum kepadaku  setiap aku lewat di dekatnya. Giginya agak besar besar berwarna putih bersih. Senyumnya lebar, menampakkan susunan giginya hingga hampir ke gerahamnya. Roman mukanya selalu cerah setiap bertemu aku.

Aku selalu bertemu dengan Fatmawati setiap berangkat ke kantor. Berarti setiap pagi aku akan disajikan senyum lebarnya. Sore hari aku tak bertemu dia. Tampaknya dia sudah mempunyai jadwal yang ketat.

Fatmawati dan aku selalu bertemu di sudut jalan, menjelang ke kantorku. Aku akan selalu turun dari angkot di sudut jalan itu. Setelah melihat melewatinya aku akan berjalan sedikit untuk sampai ke gerbang kantor.

Aku sering menemui Fatmawati, ketika dia sedang duduk di becaknya. Becak itu diparkirnya tepat di sudut belokan jalan yang kulewati itu. Kadang dia sedang berkacak pinggang - tentu saja dengan senyum lebar - bertelekan pada becaknya, ketika aku melewatinya.

Sesungguhnya aku tidak kenal Fatmawati. Aku pun tak tahu namanya.
Aku pun selalu tidak menjawab senyumnya. Aku juga selalu berusaha berjalan menjauh darinya, ketika menikung di belokan itu. Kadang aku merasa khawatir ketika dia berdiri, tidak sedang duduk di becaknya. Dia adalah lelaki yang tersenyum kepada segala sesuatu. Kepada kendaraan yang lewat, kepada pohon pohon dan tanaman lain di sekitarnya. Juga kepada roda becaknya.

Bandung, 24 03 2016
Lisa Tinaria
DELIMA Saingan Pos

Masih ingatkah Anda dengan weselpos? Kartu berwarna coklat, kira kira selebar telapak tangan laki laki dewasa,  yang benar benar dikirimkan fisiknya sebagai bukti pengiriman uang. Barang tersebut dikenal cukup akrab di kalangan mahasiswa perantauan di era 90an. "Wesel belum datang" adalah ungkapan yang langsung  menunjuk pada produk Pos yang sudah berumur ratusan tahun itu.

Sekarang, Pos sudah memiliki aplikasi online sehingga bukan lagi form coklat  weselpos yang dikirimkan melainkan data uang yang akan dipindahtangankan. Penerimaan uang oleh orang yang dituju tidak lagi menunggu hari, melainkan menunggu detik, alias real time. Apakah dengan kemajuan teknologi tersebut, Pos menjadi market leader dalam non-account money transfer? Tampaknya persaingan justru semakin ketat.

Siapa menyangka bahwa operator telepon selular pun sekarang merambah ke bisnis remittance. Regulasi telah membukakan peluang kepada dua operator  besar - Telkom dan Indosat - untuk merasakan manisnya pasar layanan remittance. Tersebutlah layanan Delima milik Telkom dan Dompetku milik Indosat.

Pengiriman uang tanpa melalui rekening  bank atau pengiriman cash to cash yang dijalankan oleh  Telkom, dapat dilakukan di Plasa Telkom atau di agen-agen Delima. Indosat tampaknya lebih jeli dalam memilih tempat layanan Dompetku. Indosat menggandeng Alfamart sebagai agen. Seperti diketahui bersama,  gerai Alfamart tumbuh bak jamur di musim hujan. Tambah lagi gerai Almart tertentu, buka 24 jam.

Bagaimana Pos harus menyikapi peta persaingan bisnis remittance ini? Kunci keberhasilan bisnis remittance adalah kecepatan yang dipersyaratkan dengan adanya teknologi dan keterjangkauan oleh masyarakat. Semua pelaku bisnis ini memiliki kemampuan teknologi namun dari sisi akses oleh masyarakat, Dompetku dengan Alfamart sebagai gerainya, tampak berada di atas angin.

Namun ada teori tentang the first mover, di mana brand pertama sebuah produk atau layanan, lebih mudah dikenal masyarakat. Di sinilah kemudian aspek emosional bermain yang menghasilkan sekelompok pelanggan yang loyal. Tampaknya Pos memiliki kekuatan ini. Tambah lagi layanan Pos menjangkau pelosok negeri yang notabene di beberapa daerah gerai retailer seperti Alfamart tidak diberi ijin bisnis.

Akankah Pos bisa bertahan dalam persaingan ketat dengan Delima dan Dompetku?

(Dari berbagai sumber)

Bandung, 28 03 2016
Lisa Tinaria
BUAH DELIMA

Buah itu tergeletak di atas meja kecil. Meja itu terbuat dari kayu yang dibuat dengan sentuhan kelas satu. Permukaannya mengilat oleh pelitur, sekaligus menonjolkan  pola kayu yang alami. Warnanya coklat terang, kekuningan. Kontras dengan warna delima di atasnya.

Hanya satu buah delima di atas meja itu. Buah itu diletakkan dengan mahkota mengarah ke atas.  Sepertiga bagiannya sudah dipisahkan dan  tergolek di sebelah bagian buah yang besar. Kedua bagian yang terbuka mengarah ke depan, menunjukkan isinya.

Isi buah delima berupa butiran seperti butiran kacang hijau. Bedanya warnanya merah menyala, serta bening menampakkan bijinya.   Beberapa butiran bulat itu berserakan di depan potongan delima.

Tampilan sang buah sangatlah menggiurkan, menyiratkan keceriaan sekaligus vitalitas, mengundang setiap yang lewat untuk melihatnya. Namun sayang, buah itu tak bisa dicicipi. Dia  berada dalam sebuah kotak kaca tebal anti pecah dan anti peluru. Kulit buah terbuat dari sejenis pualam yang ditipiskan. Bagian luarnya merah sedangkan bagian dalamnya putih dengan tampilan mirip tekstur busa, sebagaimana delima asli. Butiran merah terbuat dari permata merah delima. Butiran tersebut berkilauan karena sudah diasah dengan halus. Di tambah lagi permainan lampu menambah kemewahan delima.

Sang delima tidak sedang berada di pasar buah melainkan dipamerkan pada sebuah pameran perhiasan. Dia memang tidak untuk dimakan tetapi dipamerkan sebagai appresiasi atas pengrajin permata.

Bandung, 28 03 2016
Lisa Tinaria
KOPERASI

"Aku sudah menanyakan ke pengurus koperasi, berapa minimal seorang anggota menerima SHU. Misal dengan masa jadi anggota, satu tahun. Katanya, nilainya sekitar Rp 100.000". Temanku Ayang berhenti sebentar menyelesaikan kunyahannya. "Lalu kalau dapat THR berapa. Jawabnya, ya berupa hadiah, masing sekilo minyak goreng, sekilo tepung terigu, sekilo gula dan  sebotol sirup. Mendengar itu, aku jadi malas mau jadi anggota operasi".

Ayang baru sekitar tiga bulan bekerja di Kantor Pusat. Sebelumnya dia bekerja di Kantor Wilayah Medan. Salah satu perbedaan antara tempat kerjanya sebelumnya dan tempat kerjanya sekarang adalah soal koperasi.

"Koperasi di Kantor Wilayah Medan bisa memberikan SHU sekitar empat juta rupiah. Di tengah tahun ada pemberian disebut uang bantuan sekolah. Belum lagi hadiah lebaran dengan nilai sekitar Rp 500.000".

"Wah, makmur ya koperasi di sana" Aku tertarik juga dengan cerita Ayang. "Usahanya apa?"

"Yang utama simpan pinjam".

"Metode syariah?"

"Enggak, konvensional". Ayang kemudian melanjutkan. "Usaha lain adalah penjualan barang barang kebutuhan sehari hari, rumah tangga dan barang barang rumah tangga. Konsepnya begini. Umumnya para anggota ingin belanja secara kredit. Tetapi tidak semua anggota mau meng-apply kartu kredit. Tidak mau terlihat di BI checking. Itu alasan pertama.  Alasan kedua, bunga kartu kredit cukup tinggi,itupun untuk bank. Anggota koperasi akhirnya berinisiatif menyejahterakan koperasi mereka. Barang dibeli tunai oleh koperasi, kemudian dijual dengan angsuran ke anggota". Ayang berhenti sebentar.

"Barang apa saja yang sering dikredit anggota?"  Aku melihat bahwa bahwa praktik kredit barang ini bisa dikembangkan di koperasi Kantor Pusat.

"Membeli motor secara kredit pun bisa lewat koperasi. Kebanyakan memang barang elektronik. Uniknya, koperasi tidak men-stok barang itu. Koperasi menghubungi toko, kemudian toko langsung mengantar barang tersebut ke rumah anggota. Jadi koperasi belanja berdasarkan pesanan".

"Jadi sebenarnya, keuntungan yang besar itu dari bisnis mana? Pemberian pinjaman atau dagang?"

"Ya, dari simpan pinjam. Anggota bisa meminjam sampai 50 juta lho. Aku tanya ke koperasi Kantor Pusat, masa maksimal pinjaman hanya 10 juta?" Ayang tampak kurang puas. "Ah, malas lah jadi anggota. Kamu, Tyas,  kenapa koq tidak mendaftar sebagai anggota koperasi?" Setelah menjelaskan panjang lebar, Ayang akhirnya bertanya kepadaku.

"Aku tidak jadi anggota koperasi, bukan karena SHUnya kecil, tetapi karena mempertanyakan  bisnisnya. Aku setuju jika koperasi menjalankan bisnis dagang. Ada barang yang diperjualbelikan. Sesuai dengan konsep syariah. Tetapi kalau simpan pinjam? Aku masih ragu".

"Ah, bagiku yang penting SHUnya besar. Pertanda koperasi itu sejahtera".

Aku diam saja. Beda konsep, akan beda praktik.

Bandung, 01 04 3016
Lisa Tinaria
BARANG LAMA

Ibu penjual kue itu menjumput kain baju di bagian lengan kirinya dengan tangan kanannya, kemudian menggoyangkan jumputannya itu. Wajahnya sumringah melihat kepadaku. Gerakan itu ditujukan untukku, ketika aku berjalan cepat di depannya, menuju kantor. Pesan tersirat dari gerakan dan senyum itu "Terima kasih ya. Baju pemberianmu sekarang kupakai". Aku membalas senyum itu dengan senyum tak kalah lebar, sambil mengacungkan jempol kananku.

"Rumi, sedang apa?" Tiba - tiba Vivi sudah melongok di pintu kamarku. "Seperti kapal pecah" katanya sekenanya mengomentari kamarku sambil tersenyum.

"Sudah tidak muat di lemari". Aku berkacak pinggang di depan lemari pakaian yang terbuka. Lemari itu padat terisi lipatan baju yang rapi. Ada juga lipatan seprei, sarung dan  mukena. Tak ketinggalan lipatan jilbab. Sebagian lemari dipakai untuk menggantung baju. Itu pun sudah sesak, sehingga susah untuk menggeser baju yang tergantung itu.

"Lalu yang ini akan dikemanakan?" Vivi menunjuk pada baju yang terletak sembarangan di lantai.

"Mau disedekahkan", jawabku sambil mengusap peluh di keningku. "Kepada siapa baiknya ya?"

Vivi diam saja. Dia baru sebulan bergabung satu kos denganku. Belum kenal lingkungan. Aku maklum kondisi Vivi. Sampailah aku ingat pada ibu penjual kue, yang mangkal di depan gang rumah kos kami.

Setiap hari Vivi dan aku melewati meja pajangnya. Setiap hari pula dia akan menyapa kami. "Lho...agak kesiangan?" suaranya agak tinggi mengomentari jalan kami yang terbirit birit menuju kantor. Lain hari dia akan beretorika "Berangkat ya?" Minimal dia akan melempar senyum lebar kepada kami, sambil mengangguk dan kami jawab dengan senyum juga. Ibu penjual kue - sampai saat ini aku tak tahu namanya - ada kalanya berjualan didampingi anak perempuannya.

Teringat anak perempuannya itulah, pertanyaan Vivi bisa kujawab. Badannya tampaknya sebesar badanku. Baju - bajuku yang sekantong besar bisa diserahkan kepadanya. Beberapa bajuku ada yang kebesaran dan di antaranya ada yang berbahan kaos dan strech. Ini tampaknya bisa untuk sang ibu, yang berbadan lebih berisi.

Suatu pagi, ketika berangkat ke kantor, sampai juga akhirnya kantong kresek berisi baju ke tangan si ibu. Kantong itu sudah sebulan terletak di bawah meja di kamarku.  Seperti biasa ibu penjual kue memamerkan senyum lebar kepadaku dengan ucapan terima kasih yang takzim. Baju lama yang menyesaki lemariku, sekarang menjadi bermakna baginya.

Bansung, 03 04 2016
Lisa Tinaria
MIE AYAM

"Kalau mie ayam bagaimana?" Andi menawarkan makanan favoritnya dengan senyum manis. Jika makan di luar rumah, Andi tak bosan bosannya mencari makanan ini. Gadis yang jadi  sasaran pertanyaannya membalas tersenyum pula.

"Hhmm...ada lagi makanan lain di sana?" Ratih masih berharap, ada pilihan lain. Sejujurnya dia tidak suka mie ayam. Namun, demi memperjuangkan hubungan, ya memperjuangkan hubungan, dengan laki laki yang di fb-nya disebut teman istimewa, Ratih mengiyakan pilihan tempat makan yang ditunjuk Andi. Sampailah mereka di tempat yang disebut Andi.

Ini kencan pertama, setelah keduanya melanglang buana di dunia maya. Ratih dan Andi mempunyai komitmen yang sama untuk mencari sosok yang bisa dipamerkan di fb sebagai teman spesial untuk berfoto bareng. TTM, teman tapi mesra.

Tempat makan itu berlokasi di atas trotoar. Sebuah gerobak berwarna hijau, tempat meramu mie ayam, seakan  dikerubungi pembeli. Penjual mie ayam, dua orang laki laki muda, kewalahan melayani pembeli. Sesekali sang "cheff" mengusap keringat di keningnya dengan handuk belel yang tersampir di pundaknya. Tampaknya lebih banyak yang ingin membeli untuk dimakan di rumah. Untuk yang ingin makan di tempat, terdapat sebuah meja panjang yang hanya cukup untuk makan kurang dari sepuluh orang. Di sana beberapa orang sedang serius menghadapi mangkok masing masing. Ratih dan Andi akhirnya mendapatkan tempat duduk setelah menunggu kepanasan di dekat lampu yang tergantung rendah.

"Mie, dua". Andi sumringah memesan makanan kesukaannya. Dirinya patut berbangga, karena sekarang, ketika makan mie ayam dia tak sendirian lagi. Setelah jadi bahan bulan bulanan teman kuliahnya karena belum juga punya pacar, sekarang Andi bisa memamerkan Ratih di fb-nya. Juga di tempat makan mie ayam itu.

Ratih berusaha tersenyum. Tak ada makanan lain. Mie baso pun, yang biasanya sering dijual bersamaan dengan mie ayam, tak tampak di gerobak itu. Ratih melihat sang koki cekatan mengaduk aduk mie di mangkok bergambar ayam jago. Sesekali dia menuangkan cairan kuning dari botol, ke adukan mie itu. Minyak ayam. Inilah yang membuat Ratih mual. Terakhir ditaburkan potongan daging ayam di atas mie.

Sebuah mangkok mie ayam sekarang  tersaji masing-masing di hadapan Andi dan Ratih.

"Enak, coba saja" Andi langsung memasukkan segulungan mie ke mulutnya dengan sumpit, membiarkan Ratih tak berdaya.

Semerbak wangi bumbu mie ayam,  tidak mampu menimbulkan selera makan Ratih. Andi yang sibuk dengan mie ayamnya, semakin membuat Ratih merasa terabaikan. Di tengah kebingungan itu, dia memperhatikan sesuatu. Ha?! Daging apa ini? Ratih melihat curiga pada sepotong daging yang berbentuk aneh. Berbentuk segitiga dan ada bulunya! Pantat ayam. Ratih tak bisa menahan gerakan isi lambungnya demi melihat itu.

"Wuueek...!!!" Ratih mengagetkan orang orang di sekelilingnya. Tanpa ba bu Ratih meloncat dari kursinya, meninggalkan Andi yang sedang mengunyah suapan pertamanya. Untunglah isi perutnya bisa dikeluarkan setelah berjalan agak jauh dari warung itu.

"Hadeeuu... yang kencan pertama" Ani, menyambut Ratih dengan ceria di pintu depan  rumah kos mereka. Ratih, masuk rumah tanpa bicara lalu menghempaskan diri di kursi tamu yang sudah jeblok busanya. Wajahnya berlipat.

"Nggak lagi deh" katanya dengan mencibir.

"Kenapa?" Ani melotot, kepo.

"Masa aku diajak makan mie ayam. Gak pakai nanya, aku sukanya apa. Lalu di warung kaki lima pula. Dasar kere!" Jawaban Ratih, memberondong dengan suara tinggi.

Ani diam saja, antara kasihan tetapi juga bersyukur. Ratih, mudah-mudahan kapok, mencari teman kencan yang hanya demi disebut sudah punya pacar.

Bandung, 05 04 2016
Lisa Tinaria
SAHABAT SEJATI

Panduanku tetaplah ini: seorang sahabat sejati akan bertanya kepada Allah nanti, di mana sahabatnya yang sama sama berjuang dalam ketakwaan. Kriteria itu bisa aku lihat pada sahabatku, dan tentu saja bisa dipertanyakan kepada diriku sendiri.

Betapa sulitnya menerapkan kriteria itu dalam kehidupan sehari hari dapat dilihat dalam praktik kecil pertemanan. Apakah aku berani memberikan masukan kepada sohibku terhadap sesuatu yang tidak disukai Allah? Jangan jangan aku ini hanya sebagai tempat dia curhat plus sebagai "kompor" yang memanas manasi kejengkelannya terhadap seseorang.

Sedangkan dari sisi para sahabatku,  aku bersyukur dipertemukan dengan manusia sekwalitas mereka.  Para sahabatku umumnya orang orang yang aku sudah berteman dengan mereka dalam hitungan minimal dua puluh tahun. Mereka merupakan teman SMA. teman kuliah dan teman sesama angkatan di Pos. Mereka tinggal menyebar di Padang, Jakarta, Bekasi dan Bandung. Walau jarang bertemu. kami tetap saling curhat. Khusus untuk seorang teman yang tinggal di Padang, dia biasa menemaniku hingga larut malam, bercerita.

Soal topik pembicaraan kami, nah ini yang menarik, berubah seiring merambat naiknya usia. Kami beberapa tahun belakangan mulai menyadari,  "Ternyata kita ini sudah tua ya, Lisa". Aku nyengir saja ketika seorang temanku menyebut itu beberapa tahun lalu.

"Kakiku sudah mulai sakit sakit" katanya menambahkan. Aku pun akhirnya menyadari "kurangnya pelumas di lutut" tiga tahun belakangan.

"Rasanya singkat sekali ya , Sa, hidup ini" kata sohibku yang di Bekasi. "Baru kemarin rasanya si Dedek masuk TK. Ee....sekarang dia sedang nyari tempat kuliah yang cocok".

"Lisa, bagaimana kabar Papa?" seorang bertanya di telepon. " Yang sabar ya Sa, menghadapi orang tua". Begitulah nasehatnya.

"Lisa, gimana si doi?" Aku tak pernah marah jika mereka menanyakan itu.  "Tetap berprasangka baik kepada Allah, ya." Itu selalu doa mereka.

Ada yang unik dari salah satu sahabatku. "Lisa, kayaknya aku nggak perlu merasa kehilangan seorang kawan di kantorku yang kerjanya tukang mark up, bikin laporan proyek palsu, dan penjilat". Dia memakai bahasa yang lugas saking kesalnya pada seorang koleganya.

"Jangan sampai aku jadi saksi di KPK, atau apalah, gara gara nomor teleponku ada di hp_nya". Katanya dengan suara tinggi.

"Bagiku, sahabat yang sedikit, lebih bermakna" katanya mantap.

Itulah mereka para sahabatku yang akan bertanya kepada Allah nanti, di mana aku.

(Kukirim khusus sebagai hadiah bagi salah seorang sahabatku: Ibu Penas Tuti)

Bandung, 19 September 2015
Lisa Tinaria
ARISAN

"Berapa banyaknya setiap orang dapat uang arisan?". Sari menghentikan menghitung uang warna merah dan biru yang bersusun beberapa gepok di meja kerjanya. Dia mengangkat wajahnya, melihat ke Tinar, sambil tersenyum.

"Lima belas juta".

"Huiiiihh...Hebat. Berapa iuran sebulan?" Suara Tinar meninggi, takjub.

"Sejuta sebulan. Ada lima belas peserta". Sari kembali melanjutkan hitungannya. Tetapi sudah dipotong lagi oleh celotehan Tinar.

"Wah enak ya. Kalau ada keperluan, pas dapat giliran mengambil uang arisan".

"Ya, bahkan bisa dipakai untuk mendaftarkan anak masuk sekolah. Yang terdesak kebutuhan, bisa meminta duluan. Jadi semacam bank kecil kecilan tanpa bunga. Coba kalau meminjam ke koperasi, sudah kena bunga berapa?

"Hhmm", Tinar mengangguk angguk tanda setuju.

Dia ingat dengan arisan yang dia ikuti di kantor. Anggotanya teman teman angkatannya ketika masuk perusahaan tempatnya bekerja. Dua belas orang semuanya. Iurannya relatif kecil, hanya Rp 200.000. Jadi uang arisan ketika diambil, jumlahnya Rp 2.400.000.

"Tinar, tadi kami arisan. Sibuk ya sehingga gak bisa datang?" Ria, koordinator arisan mengirim pesan singkat.

"Utangku berapa?" Tinar sadar diri. Sudahlah tidak nongol di acara arisan, uang iurannya menunggak pula. " Nanti aku transfer ya..."

"Oke. Yang menang Atun". Biasanya tanpa diberitahu pun, Tinar akan tahu siapa yang mendapat undian arisan pada suatu putaran. Grup arisan itu memiliki grup di WA. Setiap kali seorang peserta mendapat arisan, penerima akan menyusun uang kertas merah menjadi seperti kipas, lalu memamerkannya sambil tersenyum lebar. Seorang teman lalu akan mengambil foto teman dengan kipas uang itu kemudian meng-uploadnya di grup WA.

 Begitulah Tinar dengan arisan teman angkatannya. Jumlahnya kecil, jarang dihadirinya jika ada acara kumpul kumpul dan menunggak pula menyetorkan iurannya. Berbeda sekali dengan arisan yang dikelola Sari.

Bandung, 14 04 2016
Lisa Tinaria
DENGKUL

Lila sedang duduk di kendaraan favoritnya, angkot, pada suatu siang yang terik. Sekarang sang angkot sedang melaju sangat pelan. Namun lebih tepatnya bukan melaju. Ini macet.
Ada apa di depan sana? Tak ada tanda keramaian. Ada kecelakaan? Di jalan utama yang padat ini?

"Macet euy. Panjang amat antrian lampu merah ini". Pak sopir membunyikan tuter mobil angkot tuanya. Bunyinya cempreng, menjerit- jerit.  Entah apa manfaatnya, dia berkali kali memencet tombol di dekat kaca depan.

Hanya ada tiga penumpang di bagian belakang angkot. Lila leluasa mengatur posisi duduknya.  Dibukanya maksimal jendela angkot, di dekat dia duduk. Sekarang Lila bisa melongokkan kepala menghirup udara luar. Lumayan. Mengurangi panas.

Di sekitar jarak  dua mobil di depan angkotnya,  berdiri di tepi jalan, seorang laki laki lusuh. Dia separuh baya dengan hiasan uban di rambut  dan kerut di muka. Bajunya kemeja putih. Kata teman Lila, warnanya lebih tepat disebut putih tua, alias sudah kumal. Paduan kemeja "putih" itu adalah sarung motif kotak-kotak. Dulu warna aslinya mungkin merah. Sekarang warnanya tak jelas.

Yang menarik, dia berdiri dengan bertopang pada kruk. Kruk itu dijepitkan di ketiak kirinya. Apa yang salah pada kakinya? O, tampaknya kaki kirinya buntung sampai ke lutut. Di tengah kruk ada kayu melintang. Di sanalah dengkulnya diletakkan. Dengkul itu kelihatan membulat, dibungkus rapi dengan sarungnya.

Tangan kirinya memegang kruk, untuk menjaga keseimbangan. Tangan kananya bebas bergerak. Di tangan kanan itu terdapat sebuah wadah, kobokan berwarna hijau menyala. Dia menjulurkan wadah itu ke setiap mobil yang lewat.

"Assalamualaikum, Pak Haji, Bu Haji". Suaranya lemas dengan mimik memelas. Kalimat itu diucapkan berulang, setiap kali mobil yang lewat di depannya bertukar. Sekarang Lila tepat berada di depannya. Lila diam saja, bergeming. Keduanya saling menatap. "Bu Haji" katanya sambil menyodorkan mangkok hijau menyala ke hadapan Lila.

Tiba-tiba sang pengemis balik kanan, dengan cepat. Kruknya dilepas dalam sekejap dan ditenteng dengan tangan kirinya. Dia berjalan cepat melangkahi marka jalan. Ha!? Dia bisa berjalan tanpa kruk! Sekarang malah dia berlari di sela-sela mobil macet di jalur berlawanan.

"Hayo, hayo, siapa berani mengemis lagi. Di sini, di sekitar daerah sini?". Tiba tiba di depan Lila berdiri seorang laki laki muda, berkulit hitam, berbaju seragam satpol PP. Suaranya lantang. Dia berteriak sambil mengancungkan pentungannya ke angkasa.

"Pakai pura-pura berkaki buntung. Coba kalau buntung sekalian!" Pengemis yang jadi biang kemarahannya sudah pergi. Lantas kepada siapa sasaran teriaknya? Lila yang berada tepat di dekatnya, dapat merasakan kekesalannya. Pentungannya sekarang diketuk-ketukkan ke badan angkot. Waduh!

Ternyata pengemis tadi bukan berkaki buntung. Dengkul yang terbungkus sarung, yang tampak terlalu besar, adalah lutut yang ditekuk, dibalut kain agar tidak lecet ketika bertelekan di kayu tengah kruk. Ada-ada saja "kreasi" si pengemis.

Bandung, 18 04 2016
Lisa Tinaria
WARUNG TEGAL

Apakah sebuah nama makanan, harus diberi tambahan nama daerah, agar penjualannya sukses? Tampaknya demikian. Cobalah perhatikan nama makanan berikut: nasi Padang, dawet ayu Banjarnegara, lontong Medan, warung Tegal, mpek mpek Palembang.

Mengapa harus diberi tambahan nama tempat, tak jelas alasannya. Yang lebih ironis lagi, kata-kata "nasi Padang" tidak ada di Padang. Yang ada adalah "Rumah Makan Palapa" atau nama sejenis itu yang tidak memakai kata tempat. Sama halnya dengan lontong Medan. Yang ada di Medan sana adalah "Lontong Lisa" misalnya, untuk menyebut nama pemiliknya. Di Palembang pun yang paling terkenal adalah mpek mpek Candy.

Apakah menyebutkan nama tempat itu, terkesan lebih prestisius? Mungkin juga. Ada kesan bahwa makanan itu datang dari jauh, bukan asli daerah setempat. Jika seseorang mengkonsumsi makanan dari daerah lain, besar kemungkinan dia sudah mengunjungi daerah itu. Maklumlah mengunjungi suatu tempat di luar tempat domisili, dalam arti melakukan traveling, termasuk hal yang bergengsi. Coblah lihat foto-fota di fb atau di display picture BBM atau WA.

Kembali ke nama tadi, warung Tegal dan nasi Padang adalah dua nama yang bersaing ketat. Hampir di setiap sudut jalan kota-kota besar di negeri ini, bisa ditemukan nama itu. Apa sebab kedua nama itu begitu populer? Konon kabarnya karena kedua kelompok etnik pencipta makanan itu yaitu orang awak dan orang Tegal, adalah para perantau tangguh. Di mana mereka menempati tempat baru, kemungkinan besar mereka akan membuka warung nasi atau rumah makan dengan selera mereka.

Pasar yang disasar kedua brand itu agak berbeda. Warung nasi Padang umumnya mempunyai target market, masyarakat kelas menengah. Sedangkan warung Tegal, menyasar kelas menengah bawah.

Karena konsumennya kelas bawah, maka umumnya tampilan warteg, singkatan warung Tegal, biasanya berupa warung sempit, dengan bangunan non permanen. Perabotnya seadanya. Paling sering adalah meja panjang dengan bangku panjang yang terbuat dari kayu. Menu makanannya sederhana. Kebanyakan menunya adalah menu rumahan yang pembuatannya simpel. Tumis ini itu, sering disajikan. Berbeda dengan rendang dan gulai, yang menjadi menu utama rumah makan Padang, yang nota bene memasaknya susah dan lama.

Namun ada sebuah warteg di daerah Tebet Jakarta Selatan yang terkenal dengan mahalnya. Yang makan di sana pun konon para artis. Apa penyebabnya? Kemungkinan karena warung ini buka 24 jam. Dengan shift yang panjang, biaya tenaga kerja malam hari, biasanya lebih mahal. Nah, warung ini sangat menolong para pencinta dugem - konon juga `pekerja malam` - yang pulang dini hari. Begitu kabarnya.

Bandung, 21 04 2016
Lisa Tinaria
BUNGA KAMBOJA

Siapa menyangka bunga kamboja ternyata mempunyai image yang sudah berubah. Tidak lagi identik dengan kuburan. Terima kasih kepada majalah interior. Terima kasih kepada konsep rumah minimalis (tetapi harga maksimalis).

Rumah gaya minimalis  ditandai dengan desain sederhana dan memaksimalkan lahan. Sederhana, bisa dilihat pada desain jendela, yang umumnya berbentuk petak dari bahan aluminium. Bentuk bangunan secara sepintas seperti kotak, karena atapnya tersembunyi. Bentuk kotak ini pula yang memberi kesan pemanfaatan lahan secara maksimal. Lahan untuk tanaman nyaris tak ada. Jika ingin juga maka kebanyakan pemilik bangunan menamam tanaman dalam pot. Beberapa pemilik menyisakan lahan tanah sangat minimalis, misalnya hanya berukuran dua meter kali lima puluh sentimeter.

Apa yang bisa ditanam pada lahan super irit atau dalam pot? Jelaslah bukan pohon rambutan, pohon kelapa,  atau pohon jengkol seperti yang ditanam kakek atau nenek di kampung. Tanaman yang ditanam pun harus minimalis dalam arti tidak akan tumbuh tinggi besar, agar tak menyaingi besarnya bangunan.  Cabangnya sedikit, agar tak mengganggu penghuninya ketika melewatinya, juga agar tak merambah ke tanah tetangga.  Daunnya juga sedikit, supaya irit tenaga ketika membersihkan halaman. Bunganya cukup satu dua sebagai syarat bahwa dia berbunga.  Pilihan kemudian jatuh kepada bunga kamboja.

Dengan penampakannya yang terkesan "kurang gizi", pohon bunga kamboja  tetap tampil keren. Dia banyak ditemukan di kompleks perumahan baru. Di dalam hotel atau mall pun, dia bisa hadir cantik. Biasanya dia ditanam di dalam pot, atau ditanam di tengah ruangan dengan void yang memberikan kesempatan sinar matahari masuk menyinarinya.  Bunganya yang hanya beberapa kuntum, memberi kesan elegan. Demikianlah pohon bunga kamboja.

Bandung, 22 04 2016
Lisa Tinaria
NAIK OJEK

"Ada Betadine nggak Nun?" Begitu memasuki pintu kantor, Nia langsung bertanya, kepada orang yang paling dekat dengan pintu itu , yaitu aku. Aku sedang memelototi mesin absen yang ngadat.

"Untuk apa?"

"Ini" Nia meringis menunjukkan jari tangannya, lebih tepat jari kelinglingnya, ke mukaku.

"Ha?!" Perhatianku terloncat dari mesin absen itu. Kuku pada jari kelingking itu itu seperti terdongkrak dari tempat menempelnya. Hampir lepas. Darah mengucur di sela jari kelingking itu. "Koq bisa begini?!" Suaraku langsung tinggi, nyaris memekik, mengakibatkan teman teman lain di ruangan besar kamI, mengarah kepada Nuni dan Nia.

"Coba cari ke ruang sekretariat". Tiba-tiba bos Nuni dan Nia sudah berdiri di antara mereka. Suara berwibawa itu otomatis menggerakkan seorang di antara kerumunan itu berjalan cepat ke lantai bawah. "Duduk dulu Nia", Pak Untung mencoba menenangkan Nia juga para penonton. "Kenapa ini?"

"Tangan saya...eh, kelingking saya tersenggol, entah stang motor lain, entah mobil. Saya duduk model cowok, dan tangan saya taruh di lutut. Tiba-tiba kelingking kiri saya sakit bukan main. Sudah berdarah. Luka ternyata". Nia menunduk lesu setelah menyelesaikan ceritanya. Tangannya yang satu lagi mengeluarkan tisu dari tasnya dan mengusap butiran keringat di keningnya.

"Sebaiknya dibawa ke IGD saja". Pak Untung berubah pikiran begitu Betadine datang. "Tampaknya harus disayat. Kuku itu harus dicopot".

Nia menatap Pak Untung, pasrah. Betul, kuku yang menggantung tak beres itu harus dilepaskan. Jika tidak, sakitnya yang berdenyut sampai ke kepalanya, tak akan hilang. Tambah pula kuku itu tak mungkin "ditanam" lagi.

"Hayo, Pak Oman, antar Nia ke rumah sakit terdekat. Siapa yang akan menemani?" Pak Untung memerintahkan sopirnya.

"Saya ikut ke rumah sakit". Nuni berinisiatif terlebih dahulu. Diikuti oleh Cherry. Berempat dengan Pak Oman, mereka ke rumah sakit.

"Biasanya kamu kan naik bajaj dari stasiun kota". Nuni memulai pembicaraan ketika mereka sudah di mobil.

"Aku naik ojek hari ini, biar tidak telat ke kantor. Tadi aku berangkat agak siang". Nia menjelaskan. Suaranya lirih, dengan kepala bersender pada bahu Nuni. Matanya terpejam, bukan karena mengantuk. Sesekali wajahnya meringis.

"Ya Allah, ampuni Nia, dan berikan kesabaran kepadanya dalam menghadapi musibah ini. Dia sudah berusaha datang ke kantor tepat waktu, dengan naik ojek,  namun Engkau berkendak lain". Nuni melantunkan doa untuk sahabatnya.

Bandung, 16 04 2016
Lisa Tinaria
SEPEDA KUMBANG PAK POS

Pada t-shirt yg banyak dijual di Bandung sebagai souvenir, dia diberi nama "Sepeda Ontel".  Kata itu ditempatkan di atas atau di bawah gambar sepeda kuno. Biasanya gambarnya berupa sketsa.

Lain arti sepeda ontel atau sepeda kumbang bagi wisatawan Bandung, lain pula artinya bagi orang Pos seperti diriku ini. Masih ingatkah teman teman dengan sebuah lagu jaman dulu dengan penggalan syairnya "kring kring pos"? Aku lupa judul bahkan syair lengkapnya. Namun aku tak pernah lupa akan image bahwa "kring kring" memang lekat dengan Pak Pos. Pak Pos dengan sepeda kumbang, yang memiliki sejenis tuter berbunyi "kring kring".

Lihatlah sebuah patung di halaman Gedung Pos Ibukota di Jalan Lapangan Banten, Jakarta Pusat. Pada halaman yang berseberangan dengan Lapangan Bandeng eh . . . Banteng, berdiri gagah sebuah sosok berwarna coklat kehitaman. Tampaknya dia terbuat dari metal. Actionnya adalah dia berdiri di sebelah sepeda kumbang, dengan tas yang tersampir di tempat duduk belakang. Tangannya memegang sepucuk surat yang akan diserahkan. Inilah dia Pak Pos jaman dulu.

Tentang Pak Pos, aku pernah membaca artikel bahwa sebelum Pak Pos bersepeda kumbang, ada jaman di mana Pak Pos menunggang kuda. Ini sekitar jaman Deandels. Pikiranku mulai agak nakal. Kemajuan jaman - ketika itu - dari kendaraan kuda ke sepeda kumbang, koq malah tidak membuat proses menjadi efisien. Coba bayangkan betapa beratnya Pak Pos harus mengayuh sepedanya keliling Batavia yang panas, ketimbang berkuda. Pak Pos bisa pingsan kepanasan.

Jaman sekarang sepeda kumbang Pak Pos hanya jadi pengisi museum. Sudah tidak mungkin memakainya mengingat jarak tempuh dan jumlah titik antar. Pak Pos sekarang memakai motor. Motornya juga semakin irit. Mulai dari motor "cowok" yang bongsor (dulu mereknya hanya Suzuki). Lalu ada motor dengan ukuran lebih kecil. Akhirnya sekarang motor matic.

Begitulah cerita tentang sepeda kumbang yang identik dengan kendaraan Pak Pos.

Bandung, 06 05 2016
Lisa Tinaria
SEPEDA KUMBANG PAK POS

Pada t-shirt yg banyak dijual di Bandung sebagai souvenir, dia diberi nama "Sepeda Ontel".  Kata itu ditempatkan di atas atau di bawah gambar sepeda kuno. Biasanya gambarnya berupa sketsa.

Lain arti sepeda ontel atau sepeda kumbang bagi wisatawan Bandung, lain pula artinya bagi orang Pos seperti diriku ini. Masih ingatkah teman teman dengan sebuah lagu jaman dulu dengan penggalan syairnya "kring kring pos"? Aku lupa judul bahkan syair lengkapnya. Namun aku tak pernah lupa akan image bahwa "kring kring" memang lekat dengan Pak Pos. Pak Pos dengan sepeda kumbang, yang memiliki sejenis tuter berbunyi "kring kring".

Lihatlah sebuah patung di halaman Gedung Pos Ibukota di Jalan Lapangan Banten, Jakarta Pusat. Pada halaman yang berseberangan dengan Lapangan Bandeng eh . . . Banteng, berdiri gagah sebuah sosok berwarna coklat kehitaman. Tampaknya dia terbuat dari metal. Actionnya adalah dia berdiri di sebelah sepeda kumbang, dengan tas yang tersampir di tempat duduk belakang. Tangannya memegang sepucuk surat yang akan diserahkan. Inilah dia Pak Pos jaman dulu.

Tentang Pak Pos, aku pernah membaca artikel bahwa sebelum Pak Pos bersepeda kumbang, ada jaman di mana Pak Pos menunggang kuda. Ini sekitar jaman Deandels. Pikiranku mulai agak nakal. Kemajuan jaman - ketika itu - dari kendaraan kuda ke sepeda kumbang, koq malah tidak membuat proses menjadi efisien. Coba bayangkan betapa beratnya Pak Pos harus mengayuh sepedanya keliling Batavia yang panas, ketimbang berkuda. Pak Pos bisa pingsan kepanasan.

Jaman sekarang sepeda kumbang Pak Pos hanya jadi pengisi museum. Sudah tidak mungkin memakainya mengingat jarak tempuh dan jumlah titik antar. Pak Pos sekarang memakai motor. Motornya juga semakin irit. Mulai dari motor "cowok" yang bongsor (dulu mereknya hanya Suzuki). Lalu ada motor dengan ukuran lebih kecil. Akhirnya sekarang motor matic.

Begitulah cerita tentang sepeda kumbang yang identik dengan kendaraan Pak Pos.

Bandung, 06 05 2016
Lisa Tinariag
JAJANAN SEKOLAH

Lain dulu lain sekarang. Aku mulai rutin jajan di sekolah ketika sudah masuk SMA. Ketika di SMP, jajanku masih sesekali. Sekarang, keponakanku yang sekolah PAUD, sudah punya uang jajan.

Cara mendapat uang jajan, dulu dan kini,  ibarat bumi dan langit. Aku mendapatkan info dari seorang teman bahwa anaknya yang di SMP diberi uang plastik, alias kartu atm, untuk keperluan jajannya selama sebulan. Termasuk untuk kegiatan entertainment. Dengan begitu, jumlahnya cukup besar, bahkan bagiku yang sudah bekerja. Sementara aku dulu diberi uang receh untuk jajan di sekolah. Jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jumlah yang diterima anak SMP di atas. Lalu, aku diberi uang jajan secara harian.

Masih tentang cara mendapatkan uang jajan. Mamaku punya cara yang unik dalam memberikan uang jajan dan uang tranport kepada anak-anaknya. Terdapatlah sebuah kaleng - bekas apa, aku lupa - yang ditaruh di atas TV. Dalam kaleng itu terdapat uang receh dalam jumlah tetap setiap hari. Totalnya adalah jumlah keseluruhan masing-masing uang untuk kami yang sudah sekolah ketika itu. Untukku sebagai anak paling tua, tentu saja paling banyak. Sebelum berangkat sekolah kami mengambil hak kami masing-masing dari kaleng itu. Tak pernah ada yang komplain tidak kebagian atau kekurangan ketika itu.

Aku melihat beberapa pelajaran dari cara Mama tersebut. Pertama, soal kejujuran. Setiap anak berpikir bahwa yang boleh diambil hanya sesuai haknya. Kedua, kami harus merasa cukup dengan jumlah yang ditetapkan. Adakah ibu jaman sekarang yang memakai metode Mamaku?

Kembali ke jajanan sekolah. Mari kita lihat jenis makanan yang dijual di sekolah.Jaman aku dulu jajanan keluaran pabrik masih jarang. Kebanyakan jajanan adalah penganan tradisional seperti pisang dan ubi goreng, berbagai macam lepet, kue bolu yang murah sehingga terasa seret di tenggorokan ketika ditelan. Sekarang, hampir sebagian besar jajanan adalah snack keluaran pabrik, bahkan dari produsen yang mereknya mendunia. Segala zat aditif dipakai demi membuat penganan itu tahan lama. Tentang food additives, tukang cilok pun tak ketinggalan memakainya. Ada pula zat aditif yang membuat aku bergidik: narkoba yang dicampurkan ke permen atau coklat.

Demikianlah sekilas cerita tentang jajanan sekolah dulu dan kini. Jajanan sekolah adalah sebuah kebutuhan. Semoga anak-anak kita masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan jajanan sehat yang umumnya adalah makanan tradisional. Di samping itu, semoga mereka tidak kehilangan salah satu budaya - makanan - sehingga jangan sampai bertanya "Mama, lepet itu apa?"

Bandung, 08 05 2016
Lisa Tinaria
KUGAPAI BINTANG

Akhirnya kugapai bintang. Demikianlah kejadian hari ini. Sebuah pencapaian, dengan perjuangan, disertai teman, lengkap dengan tawa, canda dan senyuman, plus narsisme, itulah yang kulalui hari ini.

"Kalau akan menyengaja ke sini, rasanya tidak mungkin", sejujurnya demikianlah kataku. Beberapa teman juga mengaminkan ucapanku. Alhasil, terima kasih kepada keluarga besar Akuntansi yang telah merancang tamasya hari ini.

Aku menuliskan cerita ini sambil mengangkat kakiku ke dinding. Inilah  hasil lain dari perjuanganku hari ini. Kakiku yang bekerja berat mendaki Puncak Bintang sesungguhnya butuh perlakuan ekstra sore ini. Sayang Teh Lina Pijat (demikian dia kuberi nama di phonebook-ku) memberikan jawaban "nomor di luar jangkauan", ketika kutelepon dia.Tetapi sakitnya kaki ini terbayar lunas.

Mendengar kata "hutan pinus" ketika akan berangkat sudah membuatku excited. Hutan pinus seperti di film Korea? Lantas terbayang pula ciri khas suasana pegunungan, hijau dan sejuk. Dan memang itu yang kudapat.

Menjelang ke sana, perjalanan mobil meliuk-liuk menaiki jalan terjal mendaki. Di beberapa titik, jalan menyempit dengan jurang di satu sisi jalan, membuat kami penumpang ikut "merasa mengerem". Namun, hey, di bawah sana, di kejauhan, ribuan rumah beratap merah, tampak buram, di balik kabut pagi. Inilah Bandung, tampak dari ketinggian. Di kiri kanan jalan mulai tampak ladang sayur mayur. Punggung bukit yang dibuat petakan dan ditanami beragam sayur dengan berderet rapi, seperti menampilkan pola batik. Kubuka kaca mobil. Hhmm, udara terasa segar.

Akhirnya kami sampai di tempat pemberhentian terakhir untuk mobil. Perjalanan dari sana, dengan berjalan kaki, tak sampai lima belas menit ke Puncak Bintang. Itu pun menapaki jalan yang sudah diberi paving blok. Jalan kaki santai bersama teman-teman, sambil berfoto ria, diselingi gelak tawa dan bercanda, itulah esensi kebersamaan hari ini.

Teman-teman dan aku berfoto di depan ikon Puncak Bintang, yaitu sebuah bentuk bintang besar yang tampak mengilat karena dibuat dari stainless steel. Kami para ibu (ah...para bapak juga) tak lupa narsis - berfoto sendiri sendiri - di depan sang bintang. Adakah yang langsung meng-update statusnya dengan foto itu?

Masih di sekitar Puncak Bintang, inilah dia, objek yang kucari: hutan pinus. Pepohonannya cukup rapat sehingga tanah di bawahnya tak ditumbuhi rumput. Matahari menjelang siang, berusaha menembus kerapatan dedaunan sehingga udara terasa tetap sejuk bagai udara pagi. Di tengah hutan pinus membentang jalan setapak menuju spot berikutnya, Patahan Lembang. Melewati jalan itu seperti melewati beberapa scene film Korea. Tak lupa aku juga selfie di jalan itu.

Perjalanan ke Patahan Lembang  lebih sulit. Jalannya berupa jalan tanah tanpa pengerasan. dan lebih terasa tanjakannya. Di beberapa tempat, jalan itu becek sehingga licin. Uniknya jalan seperti itu dijadikan track oleh pencinta motor trail. Ketika kami sedang hiking tersebut, lewatlah beberapa rombongan pemotor itu. Suara mesin motor memecah ketenangan hutan. Kehadiran mereka sesekali mengharuskan kami, pejalan kaki untuk menepi. Ups! Beberapa di antara kami juga terkena cipratan lumpur dari roda motor trail. O, ada juga motor trail yang terjebak lumpur yang dalam sehingga tidak bisa maju lagi. Motor itu harus diangkat.

Dalam perjalanan ke Patahan Lembang, kami melewati satu satunya warung yang menjual  gorengan dan makanan kecil serta minuman. Begitu sampai di warung itu kami langsung menyerbu makanan yang dijajalan termasuk pisang goreng panas yang ditaburi gula semut. Aku, seperti biasa, memesan teh manis panas sebagai teman pisang goreng. Kami duduk di beberapa bangku panjang yang terbuat dari bambu. Kepala kami ternaungi dengan dedaunan pinus, di puncak batang yang tinggi. Canda, tawa, potret sana sini mewarnai acara minum kopi dan teh panas itu.

"Aku belum kebagian pisang goreng!" seru seorang teman. Dia sedang berdiri mengawasi Abah si pemilik warung yang sedang mempersiapkan gorengan berikutnya. Beberapa teman lain, nyengir, sambil ikut antri bersamanya. Aku ikut juga. Satu pisang  goreng, tidak cukup!

Kami akhirnya sampai di Patahan Lembang. "Yang mana yang patah?" kataku membatin. Yang ada di depanku adalah sebuah jurang yang di tepinya ada tulisan "Patahan Lembang 1.515 m dpl".  Di belakang papan bertulisan itu, kami bergantian berfoto.

Hhmm...yang ada di bayanganku adalah adanya sejenis tebing batu, tegak lurus 90 derajat di spot itu. Tetapi itu tak tampak di sana. Di mana? Pertanyaan di kepalaku terjawab setelah googling. Patahan Lembang akan tampak dari jauh sebagai sebuah bukit berdinding batu, sebagai akibat dari amblas atau naiknya permukaan tanah.

Begitulah travelingku kali ini. Terima kasih teman teman Akuntansi yang sudah menyelenggarakan tamasya indah ini.

Bandung, May Day 2016
Lisa Tinaria

Saturday, November 11, 2017

SANG KEKASIH

"Bagaimana dengan usaha Uni?" tanya seorang teman di grup sebelah. Itu adalah pertanyaan ke sekian setelah pertanyaan umum tentang diriku. Pasangan seperti apa yang aku inginkan.

"Saya sih, terbuka untuk berkenalan, dengan siapa saja" jawabku cepat.  "ng......kecuali baru baru ini, sebuah nomor kucatat, tidak untuk kuangkat, karena perbedaan yang terlalu jauh" jawabku, dalam hati. Ya, dalam hati saja.

"Sebenarnya Uni terima  saja tawaran si Bapak itu" kata adik dari sohibku yang tinggal si Bekasi. Mereka bertiga beradik kakak, perempuan semua. Di antara mereka bertiga, baru si kakak yang menikah, tahun lalu, dalam usia mendekati setengah abad, 47 tahun.  Tawaran yang dimaksud adalah poligami.

"Lisa, punya suami perlu, tetapi tidak perlu sampai harus memaksakan diri dalam sebuah pernikahan. Kalau memang harus bercerai, ya itu realita yang harus dihadapi. Jangan sampai menikah demi omongan orang, demi status". Teman kosku yang sudah punya dua anak dewasa muda, memberi wejangan. Dia melanjutkan "Satu lagi, ini pesan Mamaku, jangan merebut suami orang!" Aku mengangguk angguk saja, sambil menyuap makananku.

"Lisa, ini ada cerita, seorang dosen, tampaknya sudah professor, menikah dengan supirnya". Etekku, sudah memberikan wejangan melalui cerita ini, untuk yang ke sekian kali. Setiap aku pulang lebaran. Aku sudah bekerja 20 tahun. Berarti sebanyak itu kira kira dia menasehati dengan cerita itu. Aku biasanya diam saja, sambil tersenyum, mendengar cerita itu. Tak perlu didebat. Kalau sang professor cinta hampir mati pada sopirnya, baiknya menikah saja.

Sms Mak Tuo "Mak Tuo kasih nomor Lisa ke dia. Jadi silakan berkenalan. Orangnya gagah, usia 40an. Terakhir dia jadi sopir. Tetapi induk semangnya pindah, jadinya dia berusaha bekerja mandiri. Masih bujangan dia. Pesan Mak Tuo, jangan remehkan orang lain".

Aku membaca sms itu berulang ulang. Di mana lah inti pesannya? Setelah merenung, aku berkesimpulan, kalimat motivasi yang disampaikan lewat sms itu adalah : jangan meremehkan orang lain. Sedemikiankah diriku ini?

"Lisa, kalau nyari suami, pertimbangkan umurnya. Jangan yang lebih muda dari Lisa. Kalau Lisa sudah `tidak mampu`, gimana? Dia akan mencari yang baru." Seorang Etek di kampung memberiku nasehat sambil melihat khawatir kepadaku.  Ketika itu aku sedang cuti panjang di rumah gadang.

"Lisa, soal umur itu gak jadi masalah. Coba lihat si Anu di kantor. Usianya 40an, suaminya 20an. Teknologi sudah maju. Jangan khawatir soal menopause".  Terapi hormon tampaknya yang ada di kepala teman kosku yang juga menasehati "jangan merebut suami orang". Mengapa harus kugadaikan tubuhku pada obat biang kanker itu?

"Kalau kita sudah berumur segini, ya jangan pilih pilih" si ibu mak comblang to the point. Dia tampak menelitiku. Aku tersenyum. Ini tetangga Etek yang memberi wejangan tentang ibu professor.

"Lisa, kita nggak usah ke dia lagi" Etek tampak kesal dengan kalimat si Mak Comblang tadi. Kasihan Etek, dikasih kalimat "Jangan pilih pilih". Untungnya aku sudah biasa dengan kalimat itu.

"Lisa, yang penting dia sholat. Nah cara ngetesnya begini. Ajak dia pergi, dari rumah, mendekati waktu sholat. Atau pergi jalan jalan dengan dia, melewati waktu sholat. Lihat reaksinya." Lagi lagi aku manggut manggut. Tetapi terselip bantahan di hatiku: koruptor juga sholat.

"Lisa, yang penting, dia Islam". Ini nasehat dari Papa. Lagi lagi, aku bisa saja mendebat Papa, tetapi itu tak perlu. Kami berada pada mainstream yang berbeda dalam soal ini.

Wahai Sang Maha Kekasih, wahai Sang Pembolak Balik Hati, bukakan hatiku untuk seorang kekasih pilihan Engkau. Untuk perasaan yang menggelayut ini, bolehkah aku meminta wahai Allah? Hilangkan perasaan ini, karena aku tak pernah menindaklanjutinya, tidak juga dia. Titip salamku untuk dia, seorang laki laki yang baik, juga seorang suami yang baik.

Bandung, 22 11 2015
Lisa Tinaria
KEAJAIBAN HARIAN

Baru saja terjadi keajaiban. Begitu Arum mengartikan, walau itu peristiwa kecil. Mungkin sering hal seperti ini terjadi. Sayang selama ini dia lewati sebagai hal yang biasa. Namun sekarang, dengan semakin bertambahnya pahamannya tentang kehidupan, dia mulai menyadari apa arti kebahagiaan. Ya. kebahagiaan itu ada bahkan pada hal hal kecil. "Make a little wish, then wait and see". Arum duduk menyudut di atas angkot. Dia merasa ciut karena merasakan sebuah kekuatan.

Sudah menjadi kebiasaan Arum untuk berencana walau untuk berbelanja sekalipun. Rencana itu lebih dimantapkan lagi dengan menyebutkannya dalam sholat dhuhanya. "Ya Allah aku memohon keridhoaan Engkau atas kegiatanku hari ini." Entah itu doa dicomotnya dari hadist mana. Atau malah tak ada hadistnya. Tetapi demi menyadari betapa personalnya dan confidentialnya hubungannya dengan Sang Maha Pengatur, maka kalimat itulah salah satunya yang terucap dalam doa dhuhanya. Barulah belakangan ini Arum sadar, bahwa hampir semua keinginannya diijabah secara harian. Termasuk yang terjadi hari ini.

"Ah, sayang, angkot itu sudah berangkat". Arum membatin. Dia sudah berusaha melambaikan tangan kepada angkot yang mulai bergerak. Angkot itu berjarak sekitar dua puluh meter dari tempatnya sekarang sedang berjalan cepat.  Sudah cukup jauh dia berjalan, dari tikungan yang memang bukan tempat berhenti yang benar untuk angkot.

Arum tercenung melihat angkot itu menjauh. Berarti dia harus menunggu agak lama. Angkot jurusan Pondok Kopi itu termasuk angkot yang jarang, trayeknya panjang dan hobi ngetem.  "Sudah jam berapa sekarang?" Arum otomatis melihat ke pergelangan tangan kirinya. "Aku ada janji jam 10. Satu jam lagi". Arum sibuk berdialog dengan dirinya sambil memikirkan kemungkinan telatnya  ke pertemuan pengelola PAUD sekecamatan. "Sudah kuupayakan agar tidak terlambat, wahai Sang Maha Pengatur". Arum sengaja bangun lebih pagi untuk ukuran hari Sabtu, hari liburnya.

Lima menit berlalu. Kalau tidak sedang terikat janji, jangka waktu itu tak berarti. Tetapi sekarang? Arum mulai membayangkan tajamnya kata kata Bu Nina, kepala PAUD tempatnya mengajar, kalau sedang "memberikan masukan" kepada para gadis, anggota timnya.  Dia heran mengapa Bu Nina hobi memakai kata kata yang peruntukannya tidak pas."Ya, sudahlah". Arum mulai mempersiapkan mental untuk keterlambatannya. Dalam kegelisahan itu, tiba tiba di depannya  bergerak benda kotak warna telor asin.

"Kopi Mbak. Kopi. Kopi" sopir dengan aksen Batak meneriakinya dari dalam mobil.

"Bismillah" Arum mendesis sambil melangkahkan kakinya ke atas angkot itu.  Dia memilih duduk di sudut belakang mobil kijang itu. Penumpang hanya separuh, tetapi sopir angkot melaju terus melewati beberapa persimpangan, tanpa ngetem.
Arum terdiam.  Bingung. Terharu. "Terima kasih ya Allah atas keajaiban hari ini."


Bandung, 31 01 2016
Lisa Tinaria
ORANG BINGUNG ala Covey - Bag 2

Keesokan harinya di auditorium kantor.

"Betapa sering emosi kita terpengaruh oleh sikap atau cara bicara orang lain". Trainer dari Dunamis memberikan inti masalah sehubungan dengan habit nomor 1.  Pak Joko, nara sumber,  piawai sekali menyampaikan materi. Paparan lisannya  mengambil contoh dari kehidupan sehari hari.

Pak Joko melanjutkan. "Adalah hal yang wajar ketika kita mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan, kita menjadi bingung dan bertanya tanya. Bahasa gaulnya, galau. Apakah kesalahanku? Di mana kekurangan pekerjaanku? Koq semua tindakanku dilihatnya salah? Seseorang disebut reaktif jika ketidaknyamanan itu ditindaklanjuti dengan cara yang negatif, baik dalam hal berpikir, berbicara maupun bertindak. Padahal reaksi negatif tersebut tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya, respon adalah positif. Misal menyediakan data atau informasi, bertanya balik tentang apa yang harus dilakukan. Atau minimal mengubah mind set bahwa inilah masalah yang harus dihadapi".

Dalam sesion habit 1 tersebut diputarkan film dokumenter tentang seorang dokter Yahudi yang ditahan di kamp konsentasi pada masa PD II. Atas takdir Allah dia keluar  dari "killing field" tersebut dalam kondisi hidup dan dalam kondisi sehat secara mental. Para tahanan lain, yang masih hidup, tak jarang sakit jiwa. Kunci dari kesuksesan sang dokter adalah pada cara berpikirnya, bahwa inilah hidup yang harus dijalaninya. Akhir cerita sang dokter melanjutkan hidupnya sebagai pengajar di sebuah universitas.

Video lainnya menggambarkan seorang suster panti jompo yang setiap hari menerima kata kata kasar dari pasiennya yang sudah tua dan berkursi roda pula. Pada awalnya sang suster merasa sangat lelah secara mental. Dia menceritakan perasaannya kepada teman sejawatnya. Dari curhat kepada teman tersebut, sang perawat mendapat clue yaitu "perasaan kita hanya kita yang bisa menentukan; bukan orang lain".

"Jadi, tetapkanlah perasaan yang mana yang akan dipilih ketika sedang menghadapi  perlakuan tak menyenangkan. Covey mengistilahkannya `Carry your own wheather`. Tetapkan pilihan perasaan Anda, bersimbah matahari atau mendung sepanjang hari."

"Tetapi Ria, itu kan teori yang tidak gampang praktiknya" Yanti sedikit komplain atas Habit1 Mr. Covey.

"Betul sih" aku mengiyakan. "Tetapi kan ada kesempatan belajar. Tekad yang kuat untuk berubah". Aku berusaha menyemangati Yanti, dan terutama diriku.

"Hhmm..."Yanti masih menerawang tampaknya. Mungkin dia mengingat kembali message si boss yang memakai kata kata tidak pas bagi dirinya (tetapi oke oke saja menurut si boss).

"Ada satu cara yang paling jitu dan paling awal yang bisa kita lakukan sebelum belajar mengubah mind set". Aku mengerling pada Yanti.

"Apa?"

"Ingat kan doa sholat dhuha, `lindungi aku dari kekerasan orang orang` "

"Ya, betul. Hati ini milik Allah. Kita tak perlu bingung dan galau, kalau hanya soal kata kata pedas si boss". Yanti tersenyum cerah kepadaku.

Bandung, 06 03 2016
Lisa Tinaria
ORANG BINGUNG ala Covey - Bag 1

Tak biasanya mata Yanti tampak memerah setelah berwudhu, menjelang magrib itu. Selesai sholat mata itu semakin merah. Ditambah lagi raut wajah Yanti tak biasa. Penglihatanku pada  Yanti semakin mendekatkanku kepada kesimpulan: Yanti sedang kesal, marah, kecewa. Bahasa gaulnya, galau. Apalagi kalau bukan soal pekerjaan.

"Sudah diupayakan, masih saja memberikan komentar seakan akan diri ini tak bekerja". Akhirnya Yanti curhat tentang boss-nya. Bekerja di dunia akuntansi, secara umum memang mempunyai pressure yang unik. Kecepatan dan akurasi harus disajikan dengan  kualitas yang sama. Itulah yang dihadapi Yanti. Tetapi bagiku, yang dihadapi Yanti sebenarnya adalah kata kata boss Yanti "yang gimana gitu". "Ria, tampaknya dia biasa berkomunikasi dengan cara begitu ya?" Yanti yang memasuki bulan ke empat di divisi kami, bertanya kepadaku atau malah menyimpulkan.

"Besok ada workshop tentang 7Habits". Aku mengalihkan pembicaraan setelah melihat Yanti sudah cukup "memuntahkan sampahnya" kepada diriku ini, yang kadang memang menjadi "tong sampah" bagi beberapa sohibku.

"Acara seperti itu memang kita perlukan. Sesekali keluar dari rutinitas sekalian recharge energy". Yanti tampak sudah agak cooling down.

"Ya betul".

Aku sudah cukup lama tahu 7Habits. Tetapi acara besok itu menimbulkan antusiasme tersendiri dalam diriku. Maklum selama puncak proses audit, dua bulan terakhir, seingatku sudah tiga kali aku "burn out" alias mengungkapkan kalimat keras kepada seorang auditor yunior, kepada koleganya sedivisi dan kepada seseorang di divisi lain. Sejujurnya  kutahu itu salah. Itulah yang disebut Covey, "reaktif". Seharusnya "proaktif". Alangkah mudahnya menghapal Habit 1 dari Covey tersebut. Namun alangkah susahnya mempraktikkannya. Aku bertekad ingin mempelajari itu lebih dalam, pada acara besok.