Monday, November 13, 2017

AGEN RAHASIA di Bis Kota

"Ayo cepat" Tini menarik tangan Elin dengan kencang sehingga Elin terseok seok mengikuti langkah sohibnya itu. Mereka berdua sedang berada di tengah kemacetan di Jl. Rasuna Said Jakarta. Ini pelajaran baru bagi Elin: naik bis kota di Jakarta. Dia sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan nasional yang  bonafid. Besok hari pertamanya bekerja dan hari ini, Minggu, Tini mengajari teman satu kampusnya itu naik bis kota. Hup!! Akhirnya kaki Elin menjejak di pintu bis kota.

"Masuk, masuk! Ke tengah ke tengah. Kosong!" kernet bis kota menekan punggung Elin dengan tanggannya yang sedang menggenggam segepok  rupiah lusuh. Terpaksa kedua wanita muda itu merangsek ke tengah. Bukan untuk mencari tempat duduk tetapi untuk mencari tempat berdiri!

Apa boleh buat yang diketahui Tini saat ini barulah jalur bis kota non AC. Entah dari mana ke mana jalur bis kota AC dari tempat kos Elin saat ini. Jika oada akhirnya perjalanan naik bis kota ini lebih banyak ruginya dari segi biaya dan waktu, lebih baik Elin kos di sekitar Jalan Rasuna Said saja. Tetapi biaya kos di daerah segitiga emas itu kan selangit? Jauh panggang dari api untuk ukuran fresh graduate seperti mereka berdua.

"Harta tidak dibawa mati! Seribu dua ribu, apalah artinya bagi Anda!". Tiba tiba ada suara cepreng yang dibuat serak serak becek eh, basah meneriakkan kalimat motivasi itu.  Kalimat itu betul adanya hanya cara menyampaikan dan penyampainya membuat Elin ternganga.

Tepat di depannya berdiri seorang laki laki tinggi besar, berkulit hitam, berbibir hitam,  berkaca mata hitam, bertopi hitam, dan ini, ini, yang paling membuat Elin bingung, dia memakai baju musim dingin, coat, warna hitam! Dan ini siang hari di Jakarta Bung! Di atas bis kota non AC. Eh, dia mengantisipasinya dengan hanya memakai singlet kumal warna putih tak jelas.

Di belakangnya berdiri seorang laki laki agak kurus, dengan penampilan hampir mirip. Bedanya kacamatanya, ya kacanya,  berwarna kuning dan dia memakai jaket pendek - bukan coat -  berbulu di leher, yang ada penutup kepalanya. Dia menutupi kepalanya yang sudah bertopi dengan hood jaket itu.

Setiap kalimat si kacamata hitam diiyakan oleh si kacamata kuning.
"Ya betul. Ya betul". Perbedaan lain,  suaranya tidak cempreng. Justru bariton.

"Jangan pura pura nggak dengar. Pura pura tuli! Jangan pura pura tidur!" Elin melihat ke penumpang yang duduk di kiri dan kanannya. Hampir semuanya menunduk dalam, dengan kepala lemas. Seorang malah terangguk angguk sesuai dengan irama injakan rem sopir bis kota. Mereka memang benar benar tidur!

"Daripada saya mencopet, lebih baik meminta minta". Si cempreng berteriak lagi.

"Ya betul! Ya betul!" Si bariton menimpali.

Allah Maha Adil, batin Elin. Preman yang berbadan besar berisi diberi suara kecil, cempreng dan melengking. Si kerempeng diberi suara besar, ngebas. Keduanya berkolaborasi dengan fokus utama menampilkan ukuran fisik, bukan kewibawaan suara. Manajemen yang salah, protes  Elin di benaknya.

Bis kota melaju dengan tersendat sendat. Sebaliknya kata kata kedua "morivator" semakin lancar.  Semakin lama, kalimat yang dikeluarkan semakin tajam. "Untuk apa pergi haji. Untuk apa sholat!" Juga banyak pengulangan kata kata. Weleh, tidak kreatif!

"Kiri. Kiri!" tiba tiba Tini berteriak kencang. Lho kok turun di sini? Elin bingung. Bukan begini kesepakatan mereka berdua.

Tini mendorong Elin agar maju, melewati dua peminta minta yang serta merta berhenti berceloteh. Ee...malah si cempreng ikut berkomentar. "Kiri pak sopir!"

Akhirnya keduanya sekarang menginjak trotoar.

"Kenapa kita turun di sini?" Elin mengibaskan jilbabnya, mencari angin untuk lehernya yang sudah basah oleh keringat.

"Itu gara gara agen rahasia CIA". Tini bersungut sungut.

"Siapa?"

"Dua preman tadi. Kan kayak agen rahasia yang di film itu tampilannya. Pakai coat". Ekspresi Tini antara kesal, tetapi juga sedang melucu.

"Jauh banget lah dengan tampilan agen rahasia yang di film. Ha, ha, ha". Serta merta Elin tertawa sambil memegang perutnya. Dia ingat dengan idola Tini, seorang pemain film barat, yang memerankan agen rahasia, yang tampilan pakaiannya  persis dengan si cempreng. Bedanya sang agen rahasia berkulit putih, berpenampilan resik dan tentu saja tampan.

"Hayo kita cari agen rahasia beneran" Keduanya tergelak di siang bolong Jakarta.

Bandung, 05 03 2016
Lisa Tinaria
BEMO POS

"Teman teman, aku share ya. Ada lomba merancang tas pengantar". Itulah chat dari seorang teman di grup angkatan di PT Pos tempat Arum bekerja. Sumber resmi lomba itu belum disebut. Beberapa hari kemudian di meja kerja Arum terdapat sebuah surat yang memuat pengumuman resmi tentang lomba tersebut.

Lagi lagi ini adalah sebuah gebrakan dari Pak Gilarsi, Dirut PT Pos Indonesia. Lomba tersebut berlatar belakang bahwa kiriman yang diterima PT Pos sudah berkembang dari surat ke small parcell. Sehingga fasilitas untuk delivery perlu dimodifikasi. Saat ini tas pengantar adalah berupa  tas terpal yang disampirkan di kanan kiri jok motor pengantar. Muatannya terbatas hanya untuk surat. Jika harus mengangkut paket, maka tas itu tidak memadai. Akhirnya paket kecil besar diantar dengan mobil mini box.

"Bagaimana kalau mobil untuk mengantar paket dimodifikasi menjadi seperti ini?" Teman Arum yang kaya ide ini kemudian meng-upload sketsa sebuah kendaraan kecil. Ini adalah chat berikutnya soal pernak pernik pengantaran. Belum ada tanda tanda dari manajemen bahwa disain  kendaraan pengantar paket akan diperlombakan pula.

"Man teman, kendaraan pengantar paket yang dipakai saat ini adalah mini van atau mini box. Sebenarnya kendaraan ini banyak idle space-nya, jika yang diantar adalah small parcel. Ingat sasaran kita adalah pedagang online yang berat barang kirimannya antara dua sampai lima kilo. Dengan ukuran paket seperti kotak sepatu, bukan sebesar kardus rokok." Analisis temanku yang malang melintang di area operasi ini, benar adanya. "Untuk apa kita pakai mobil seperti Grand Max atau T120.  Lebih baik memakai kendaraan kecil."

Kendaraan yang dia maksud adalah seperti bemo. "Aku punya ide, Pos memakai kendaraan sejenis bemo atau bajaj untuk mengantar small parcel. Lebih efisien karena pemakaian space,  optimal. Mudah masuk ke gang yang tidak bisa dimasuki mobil. Banyak gang tidak bisa dimasuki bahkan oleh city car. Harga kendaraan ini jauh lebih murah daripada kendaraan roda empat. Kendaraan ini juga mudah bermanuver di gang sempit."

"Boleh juga tuh idemu. Sudah disampaikan kah ke Direksi?" tanggapan seorang anggota grup.

Arum menyimak antusias diskusi tentang kendaraan itu. Dia agak setuju dengan bemo atau bajaj itu. Tetapi dia ingat suatu kejadian di Jakarta beberapa tahun lalu. Ceritanya dia dapat dari seorang teman lain, bukan dari temannya langsung yang mengalami kejadian ini.

"Eh, tahu nggak kalau beberapa hari lalu Bu Eni kecelakan ketika naik bajaj."

"Kecelakaan bagaimana?" Arum kaget.

"Bajaj yang ditumpanginya miring dan tergolek ketika berbelok dengan kencang di daerah Sabang."

"Ha!?" Arum ternganga.

Kembali kepada analisis teman di grup tadi, tentang keunggulan bemo atau bajaj dalam bermanuver. Arum jadi ragu dengan efektifitas dan efisiensi kendaraan roda tiga itu. Bukankah bemo atau bajaj itu akan dimuati banyak paket, sehingga spacenya tak bersisa? Mungkin sampai ke langit langit atapnya.  Dalam kondisi penuh dan berat seperti itu, masihkah si bemo bisa melaju kencang? Lebih khusus lagi bagaimana ketika dia berbelok. Jangan jangan akan semakin banyak komplain kepada PT Pos gara gara kiriman rusak akibat si bemo terjengkang. Arum hanya menyimpan argumen itu di kepalanya. Tidak berani berkomentar di grup.

Bandung, 07 03 2016
Lisa Tinaria
KIPAS ANGIN

"Nik, tolong hidupkan dong kipas angin". Zainal yang baru saja selesai makan malam terduduk kekenyangan di lantai. Pasangan muda beranak satu itu baru saja menyelesaikan makan malam dengan menu  yang membuat Zainal lupa diri: goreng balado ikan asin sepat.
Lauk yang pedas dan nasi panas mengepul benar benar membuat Zainal bersimbah peluh. "Seperti habis mbecak" kata Karto, sohib yang sering mengenyek Zainal kalau sedang makan bersama. Rumah petak yang memang  hanya berupa sepetak kamar dan cuaca Jakarta yang pengap tak berangin, semakin membuat gerah suasana. Sekarang Zainal bertelanjang dada. Kaos oblong yang dipakainya dilempar-kannya sembarangan ke sudut kamar petakan berukuran 3x4 meter itu.

"Coba Nik, kipas anginnya dipercepat". Kipas angin berbentuk baling baling helikopter yang digantung di langit langit kamar belum mampu mendingin-kan Zainal. Nunik menambah kecepatan kipas angin yang berwarna hijau dan terbuat dari plastik tipis itu. Pada kecepatan 1, kipas angin itu mengeluarkan bunyi yang wajar. Pada kecepatan dua, kipas angin itu mulai mengeluarkan bunyi "ngik, ngik".

"Udah nangis tuh Bang, kipas anginnya", Nunik nyelutuk sambil melihat pada anak mereka yang baru berumur satu tahun. Sang anak tertidur di atas kasur tipis tepat di bawah kipas angin helikopter. "Jangan sampai Rio masuk angin Bang".

"Panas banget. Mau hujan mungkin". Zainal memperkuat usahanya dengan mengipaskan koran bekas bungkus belanja Nunik. Sedangkan Nunik mengipasi dirinya dengan kipas tukang sate.

Yang kepanasan tidak hanya Zainal. Lingkungan rumah petak yang padat itu sekarang seperti dikerubungi laron. Para penghuninya tidak bisa bertahan di dalam rumah. Kebanyakan mereka duduk duduk di emperan depan petak masing masing. Celoteh terdengar di setiap sudut. Sesekali terdengar tawa ngakak. Di petak ujung terdengar lagu dangdut "Sakitnya tu di sini". Suasana belum bisa mengantar para penghuni untuk tidur. Panas sekaligus berisik.

Hari semakin malam. Zainal yang sedari tadi hanya di dalam rumah, sebenarnya ingin tidur lebih cepat. Dia tak ingin bergabung dengan penghuni petak lain. Tetapi udara yang panas dan suara di luar membuatnya tak bisa tidur.

"Nik, tambah lagi kecepatan kipas anginnya". Zainal mulai bergolek di dekat anaknya.

"Bang, ingat anak kita. Kalau dia sakit gara gara kipas angin, kita juga yang repot". Nunik mulai tidak setuju. Dirinya sendiri kepanasan. Tetapi dia tak ingin kipas diperkencang dengan konsek-wensi anaknya semakin terkena angin. Sementara kipas angin di kamar tidur itu tidak bisa disetel arahnya. Nunik tak mau beranjak dari duduknya.

Zainal tak ingin menjadikan malam panas itu tambah panas karena pertengkaran dengan istrinya. Dengan malas dia akhirnya berdiri dan menyetel sendiri knob kipas di dinding. Panah di knob itu mengarah angka 3 sekarang.
Angin semakin kencang keluar dari kipas angin itu. Zainal tampak puas, kemudian melanjutkan berbaring. Nunik yang masih duduk, melengos, bersungut "Dasar egois".

Angin kencang itu sekarang diiringi dengan bungi "ngik, ngik" yang lebih kencang. Nunik bingung. Suara kipas angin  itu jelas membuat suana tambah berisik tetapi koq suaminya malah mulai menguap lebar, dan mulai menutup mata.Suara "ngik ngik" sekarang bertambah dengan suara "krek krek" seperti bunyi roda yang tak diminyaki. Nunik masih terduduk demi "menikmati" segala bunyi itu. Ada rasa kesal bercampur iri di hatinya ketika sekarang dia mendengar suaminya mulai mendengkur.

"Kumatikan saja lah kipas angin berisik ini" batinnya. Tetapi sungguh, tanpa kipas angin, panas tak akan tertahankan di rumah petak yang sumpek itu. "Dijadikan satu saja lah kecepatannya agar tidak terlalu ribut". Nunik melihat pada suaminya yang memang tahan angin karena berkerja sebagai sopir metromini. Dilihatnya anaknya Rio yang rambutnya tampak melayang tertiup kipas angin. "Dia mulai merasa dingin", hati Nunik bergumam. Ketika terjadi perdebatan batin tersebut, tiba tiba sebuah benda hijau jatuh dan menimpa muka suaminya.

"Aa..kh..kh",  Zainal bangun  sambil mengerang. Nunik kaget mendengar keluh suaminya itu. Tetapi yang membuat dia lebih terkejut lagi adalah melihat bahwa barang yang jatuh itu adalah kipas angin. Dan jatuhnya tepat di muka Zainal!

Bandung, 08 03 2016
Lisa Tinaria
INGIN LIBURAN

Hari-hari lelah kami akhirnya berakhir juga dengan diterimanya secara resmi hasil audit laporan keuangan oleh Direksi. Penerimaan secara resmi tidak terjadi dengan mulus, melainkan melalui debat yang panjang.  Diskusi yang alot pada dasarnya terjadi mulai dari tingkat pelaksana atau penyaji data, manajer, kepala divisi, sampai ke level direksi. Rapat-rapat tidak jarang diwarnai suasana tegang. Intinya, proses audit, melelahkan.

"Risa, suamiku tadi menelepon. Katanya Ferdi anakku, demam". Eva kelihatan menerawang. Untuk sementara Eva tinggal  berjauhan dari suami dan anak-anaknya yang masih di Surabaya. Kepindahan Eva ke kantor di Bandung, tidaklah tepat dengan masa liburan anak sekolah. Agar tidak mengganggu sekolah anak anaknya Eva dan  suami memutuskan berkumpul serumah lagi ketika liburan sekolah nanti. "Anehnya aku telepon, dia tidak mau bicara". Mata Eva tampak berkaca kaca. "Dia pasti kangen sekali denganku".

Aku mengomentari dalam hati "Kamu pasti kangen juga". Aku sudah mendapat beberapa cerita. Seorang anak sakit bukan hanya karena dia kangen berat dengan orang tuanya tetapi juga karena orang tua sama kagennya.

"Aku sudah mengajukan cuti. Tetapi bossku bilang tunda dulu sampai audit selesai. Tetapi rencana cutiku itu kan setelah audit selesai". Kami berjalan beriringan di lorong kantor, sambil bercerita tentang rencana liburan setelah audit. "Kamu mau ke mana, Risa? Minggu ke dua Maret ada libur di tengah minggu".

"Aku belum punya rencana. Itu pas hari gerhana bukan?" Aku tak berniat memburu gerhana ke Belitung atau tempat lain yang terkena efek gelap. "Di rumah saja". Aku akhirnya menyimpulkan.

"Maksudku, kalau bossku sdh setuju dengan cutiku, aku akan segera membeli tiket. Harganya masih wajar karena dibeli tidak dadakan". Benar juga argumen Eva.

Butuh sekitar empat hari bagi Eva untuk menunggu keputusan bossnya. Walau audit sudah selesai bossnya tetap ragu untuk menyetujui.  Selama hari hari penantian itu tampak olehku Eva lebih banyak diam. Dia sadar, walau pekerjaan besar sudah selesai, dirinya tak cukup berani untuk meminta bossnya mengambil keputusan lebih cepat. Dia ingat beberapa kalimat pedas bossnya  terkait pekerjaan. Dalam suasana gundah, Eva lebih memilih untuk diam.

"Hari ini Ferdi ulang tahun. Dia sudah mau bicara tadi". Eva mulai menampakkan senyum di wajahnya.

"He, he, dia minta apa?" Aku penasaran dengan Ferdi yang masih di kelas satu SD.

"Lego. Di mana aku bisa beli di Bandung ini?" Eva tampak langsung antusias. "Aku beli dulu lah Lego itu walau sampai sore ini belum ada kepastian cutiku".

Esok hari aku tak melihat Eva di mejanya. Biasanya dia adalah orang yang aku beri salam setiap pagi. Duduknya dekat pintu masuk ruang besar kami.  Aku melewati begitu saja meja Eva yang kosong. "Ke mana Eva. Beranikah dia bolos karena kangen dengan Ferdi?" Aku bertanya dalam hati. Kuletakkan tasku di meja. Ketika sedang membuka filing cabinetku, tiba tiba Lani stafku sudah berdiri di dekatku.

"Bu Risa sudah mendengar tentang Bu Eva?"

"Nggak bolos kan?" Aku tahu Eva bukan tipe itu.

"Anaknya, Ferdi meninggal tadi shubuh karena demam berdarah".

"Ha!!??" Aku terduduk lemas. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun".

"Bu Eva akhirnya berangkat ke Surabaya shubuh tadi pakai bis". Lani meneruskan. Hanya itu yang bisa dia sampaikan.

Aku termenung. Sudah beberapa hari ini Eva tampak muram, gara gara belum diperbolehkan cuti. Terlepas dari skenario Allah bahwa Eva tak bertemu anaknya di saat saat terakhir, aku mempertanyakan penundaan cuti oleh boss Eva.

Bandung, 09 03 2016
Lisa Tinaria
AFRIKA

Kantor Pos Jakarta Pusat, di awal bulan.

Semua tempat duduk di vestibul (loby) sudah terisi penuh. Banyak pengunjung yang menunggu panggilan, berdiri di sembarang tempat. Di beberapa counter yang tidak memakai nomor antrian, tampak pengunjung antri mengular. Suara TV bercampur dengan dengung para pengunjung. Ditingkah pula dengan panggilan "nomor 72, di loket 10" dan panggilan nomor nomor lainnya.

Di sebuah counter terdapat tulisan "Western Union" tergantung di langit langit counter. Di depan counter terdapat beberapa kursi tunggu. Seorang berkulit hitam, tinggi besar sedang duduk di sana. Di counter, sedang berdiri seorang laki laki, juga warga asing, yang tampaknya berhidung timur tengah. Counter itu untuk melayani penerimaan dan pengiriman uang dari dan ke luar negeri.
Sang Afrika sekarang di depan counter.

"Mba Rumi, maksud dia apa? Aku nggak ngerti?" Anti akhirnya harus ke supervisornya karena kewalahan melayani pelanggan yang satu ini.  "Dia nggak bisa speak English".

"Sudah disodorkan form pengiriman uang?" Pengalaman Rumi, kalau pelanggan sulit berkomunikasi karena masalah bahasa, biasanya dengan diperlihatkan form form tertentu, pelanggan akan mengerti.

"Dia menolak". Anti mengelap keringat di keningnya. Hari Senin yang panjang!
"Dia juga gak mau memperlihatkan ID nya, kalau sekiranya dia akan mengambil uang".

"Sebentar ya, aku menerima telepon dulu. Dari Kantor Regional". Rumi mendekatkan androidnya ke telinga kirinya, menjepitkannya ke bahunya, sambil tetap menandatangani berkas berkas di mejanya.

Anti tak beranjak dari meja Mba Rumi. Dia tak sabar menunggu bossnya bercakap di telepon. Waduh, suara Mba Rumi mulai tinggi, berdebat alot dengan seseorang. Tampaknya pejabat Kantor Regional. Ada rasa tak enak pada Anti. Seharusnya dia bisa sendiri mengatasi si Afrika. Tidak perlu melempar masalah ini pada bossnya. Lihatlah sekarang Mba Rumi sedang berkerut kening.

Yang membuat Anti merasa tak mampu adalah bahwa pelanggan Afrika itu tersenyum senyum sejak dia datang tadi, sejak dia duduk menunggu giliran. Sejujurnya Anti takut. Itulah yang menjadi sebab dia tetap berada di meja Rumi sekarang. Memunggungi counter pula!

Rumi selesai bertelepon dengan muka masygul. Ditarik dan dihembuskannya nafas  panjang, dihenyakkannya punggungnya ke sandaran kursi.
"Lupa aku, apa tadi masalahnya?" Rumi sudah bisa berpindah channel, masalah berikutnya.

"Mba, sebenarnya aku takut.  Dari tadi sejak datang, dia nyengir terus". Anti menaikkan alis matanya, membuat mata besarnya tambah besar.

"Ha!?" Rumi tak kalah membelalak. Hari gini masih ada orang yang berani bertindak ceroboh di tengah ramai seperti ini. Rumi membatin.

"Apa baiknya kita panggil satpam saja?" Anti langsung punya ide.

"Tetapi dia kan tidak melalukan apa apa?" Rumi mulai melihat ke counter. Benar, gigi orang itu tanpak dominan di wajahnya yang panjang. Dia tersenyum pada Rumi!  "Hayo mari kita hadapi. Setidaknya ada pembatas, meja counter yang seringgi dada yang memisahkan dia dan kita".

Keduanya berjalan mendekati counter. Anti berlindung di balik punggung Rumi.
Setelah Rumi mendekati counter, tanpa ba atau bu, tiba tiba laki laki bergigi cemerlang itu menyerahkan sebuah bungkusan ke hadapan Rumi. Kaget, Rumi mundur selangkah. Dengan cepat laki laki itu membuka bungkusan itu. Sebuah benda berwarna hitam persegi panjang dikeluarkannya, diangkatnya dan tangannya yang panjang berhasil mendekatkan  barang itu ke muka Rumi.  Giginya semakin tampak banyak karena senyumnya semakin lebar. Hampir saja Rumi berteriak "Toloooonngg!" kalau tidak segera menangkap pesan bahwa terdapat energi positif yang disampaikan si tinggi besar di depannya.

Sebuah clutch, warna hitam, mengilat, dan bermotif kulit buaya tampak di bawah hidung Rumi. "Take it". Hanya itu yang keluar dari mulutnya yang bergusi merah terang. "Take it" katanya lagi, masih dengan senyum lebar.

Rumi mengambil dompet itu, membungkukkan badan atasnya dan berkata "Thank You". Dia sekarang berani menatap mata sang pemberi. Sang mata jenaka  kemudian  membungkukkan badan sambil meletakkan tangan kanannya di dada kiri. Penghormatan. Setelah itu membalik punggung dan berlalu dengan langkah lebar meninggalkan counter.

Rumi dan Anti berpandangan bingung sekaligus takjub  atas kejadian barusan. "Mba, ternyata orangnya baik". Anti tertunduk malu.

Bandung, 11 03 2016
Lisa Tinaria
EMPING MELINJO

"Aku pesan empat bungkus ya Mba" Ririn berbicara di telepon sambil membaca list.  Apa boleh buat, pemesanan dilakukannya di sela sela tumpukan kertas di meja kerjanya. Entah kemana pergi hari sabtu dan minggunya. Lupa lebih tepatnya. "Ya, rangginang empat bungkus. Lalu emping melinjo dua kilo".

"Wah banyak juga pesanan Mba Ririn. Untuk apa? Satu kilo saja sudah banyak. Kan ringan". Teh Yayah mengomentari pesanan Ririn, sambil tergelak senang, dagangannya laku. "Kalau buat teman makan ketupat sih nggak perlu banyak". Teh Yayah masih berceloteh.

Aneh juga ini pedagang, batin Ririn. Aku mau beli banyak malah dicegah. "Itu untuk ganti kue Teh. Akan kusajikan nanti bersama rangginang. Unik kan, ketimbang kue kering manis yang banyak dijual itu". Namun, Ririn masih berencana membeli nastar dan kastengel, kue favoritnya sepanjang jaman.

Ramadhan baru seminggu tetapi Ririn sudah mempunyai daftar barang apa yang akan dibawanya ketika pulang nanti. Oleh oleh untuk orang orang terdekat: Ayah, Ibu, adik laki laki, adik perempuan dan dua keponakan. Makanan pun tak luput jadi barang bawaan.

Waktu libur Ririn lebih banyak setelah lebaran. Tak banyak waktu untuk belanja persiapan lebaran. Tambah lagi pasar semakin sesak. Akhirnya dia memutuskan belanja di Bandung. Belanja makanannya termasuk sederhana. Ririn lebih suka menyajikan rangginang dan emping melinjo kepada tamunya. Dijamin tamunya suka.

"Biar aku yang menggorengnya" Ririn mendahului mempersiapkan peralatan di dapur di rumah orang tuanya di Medan. "Sudah dijemur kan emping ini?"

"Sudaaa...hh. Sudaaaa...h. Ya   mari kita persilakan  Bu Ririn menggoreng makanan kesayangannya". Adik Ririn, meledek semangat kakaknya. Sebenarnya Ririn tahu akal bulus adik laki lakinya itu. Jika dia yang menggoreng maka sebagian besar emping matang akan disimpan di kamarnya. Tentu saja dia habiskan sendirian.

"Jangan ngenyek. Awas ya kalau makan melinjoku", Ririn mengacungkan sendok penggorengan ke arah adiknya.

Minyak di wajan sudah panas mengepul. Kebiasaan Ririn, minyak untuk menggoreng emping melinjo, dicampurnya  dengan sedikit margarin, agar emping  ada rasa gurih  dan sedikit asin. Ririn memasukkan segenggam emping melinjo yang mentah ke penggorengan dan mengaduknya cepat. Dalam sekejap emping melinjo sudah mengembang. Cepat Ririn menangguk emping yang mengapung dan meniriskannya di saringan stainless steel. Ronde kedua dan seterusnya berlangsung cepat.

Emping yang sudah matang dan masih sedikit hangat kemudian ditaburi sedikit garam halus untuk penambah rasa. Emping kemudian dimasukkan ke toples dan siap disimpan.

"Yaaaa...siap disimpan. Siap disimpan agar tidak termakan akal bulus". Ririn bersuara agak keras sambil mencibir ke arah adiknya yang sedang menggaruk kepala yang tidak gatal, di pintu dapur.

Bandung, 13 03 2016
Lisa Tinaria
MATOA GAMES

"Olin, hayo sholat magrib dulu". Bunda keluar dari kamar mandi, selesai mengambil wudhu.

"Ya Bunda". Olin masih melotot di depan komputer. Adzan magrib baru saja berkumandang tetapi tak ada tanda tanda dia akan beranjak dari duduknya.

Bunda masuk ke kamar dan keluar lagi dengan mukena dan sarung sudah terpasang. "Oliiiiin, nanti gamesnya dilanjutkan lagi". Sekarang bunda berdiri di depan kamar. Suaranya lebih tinggi dari suara perintah pertama.

"Tanggung Bunda. Nilai Olin sekarang sudah hampir melewati nilai yang kemarin". Tak sempat Olin melihat pada Bundanya, tahu tahu  Bunda sudah berdiri di samping Olin. Tiba-tiba layar monitor blep, gelap. Bunda mencabut kabel listrik CPU komputer. "Aa..gghh Bunda". Mulut monyong Olin mulai nampak. Tak ada pilihan, dia akhirnya ke kamar mandi.

Sudah telat untuk ke surau, akhirnya Olin sholat di rumah berdua saja dengan Bunda. Ayah masih belum pulang dari acara kenduri di desa tetangga. Sholat kilat khusus ditunaikan Olin. Bunda belum selesai sholat ketika Olin kembali menatap layar komputer.

"Nah, masih ada". Olin berteriak senang, skornya masih terpampang di layar.

Tiba tiba Bunda yang usil sudah berdiri di samping Olin. "Lagi lagi Bunda, lagi lagi Bunda". Bunda bukannya pergi setelah diomeli Olin. Sekarang Bunda malah mencari kursi dan duduk di sebelah Olin.

"Coba terangkan ke Bunda cara main games ini. Apa namanya?" Suara Bunda tidak marah tetapi terkesan menyelidik dan menantang.

"Kenapa? Bunda mau ikut main?" Olin tampak curiga sekaligus tertarik apakah Bundanya bisa main games. Dia menghentikan gerakan mouse di tangan kanannya, menatap mata Bunda. Permainan entah sudah sampai di mana.

"Nggak. Bunda ingin tahu saja cara mainnya". Games ini dibelikan Ayah Olin hari Minggu kemarin di kota. Sejujurnya Bunda tak setuju Ayah membelikan games untuk Olin yang sedang semangat semangatnya menyandang ransel ke sekolah kelas satu SD. Bunda lebih suka Olin dibelikan buku cerita bergambar. Sekarang Bunda ingin tahu adakah gambar atau nilai tak pantas pada games itu.

"Namanya Matoa Games, Bunda".

"Apa?" Bunda berkerut kening. "Mertua?"

"Matoa, bukan mertua" Olin melambatkan ejaannya. "Bunda tahu nggak buah Matoa?"

"Buah?" Bunda semakin penasaran. Ini buah beneran atau rekaan pembuat games?

"Nih Bunda gambarnya". Olin memulai games dari awal. Dia mengklik tombol "mulai". Lantas muncullah di layar gambar pohon besar dengan kelompok buah bergelantungan berwarna merah tua. Di bawah pohon tampak berdiri seorang laki laki berkulit gelap, berambut keriting dan berdada telanjang, memakai celana pendek, memanggul keranjang di punggungnya. Sejauh ini gambar orang itu cukup sopan, batin Bunda.

"Jadi itu buah apa?" Bunda tampak tertarik.

"Nanti, nanti, Olin lihatkan". Olin mulai mengklik gambar orang kemudian memindahkan orang tersebut ke dekat buah yang bergelantungan. Orang tersebut membuat gerakan memetik buah dan memasukkannya ke dalam keranjang di punggungnya. Olin memindahkan gambar orang itu ke beberapa tempat gelantungan buah.
"Nah sekarang keranjangnya sudah penuh. Dia harus turun. Kalau nggak turun, nanti buahnya melimpah dari keranjang, jatuh dan rusak. Itu mengurangi nilai Olin".

"Hhmm..." Betul juga logika permainan ini, pikir Bunda.

"Kalau keranjang belum penuh, nilai Olin kurang. Harus sering bolak balik naik pohon. Orangnya capek". Bunda manggut-manggut menahan senyum. Olin memindahkan gambar orang di atas pohon itu ke tanah.

"Lalu, orang ini harus memakan buah ini sampai habis". Olin mengklik gambar buah matoa yang ditumpahkan dari keranjang. Buah jadi tampil close up. Olin kemudian mengklik buah merah itu satu per satu, tepat di tengah buah lalu buah membuka."Buahnya seperti rambutan isinya, Bunda. Kalau dia bisa menghabiskan buah ini dengan cepat, Olin dapat nilai". Olin mengklik buah, satu satu dengan jitu.

Bunda mulai berpikir kritis. Tahapan inilah yang tidak sesuai dengan nilai Islam, concern Bunda dalam mendidik Olin.
MATOA GAMES - Bag 2

"Memangnya semua buah harus dihabiskan. Kalau sudah kenyang, kan berhenti. Terus, kalau bersisa, kan bisa dibagikan ke tetangga atau dijual" Bunda mulai berceloteh. Olin meng-hentikan mengklik buah satu per satu.

"Tetapi orang ini bisa menghabiskan sekeranjang ini. Tandanya orangnya kuat makan matoa banyak-banyak". Olin menatap wajah Bunda yang mulai tampak aneh.

"Kalau dia sudah selesai makan satu keranjang, lalu dia memetik lagi, trus memakannya semua. Begitu berkali kali? Sudah berapa skor Olin?"

"Tiga puluh dua, Bunda"

"Apa?" Bunda melotot. Olin tersenyum menang pada Bunda. Ini baru namanya prestasi, begitu pikir Olin.

"Olin, coba dengar kata Bunda. Lihat Bunda". Olin patuh. Dia menurunkan tangannya dari keyboard dan meletakkan di pangkuannya. "Kalau Bunda suruh Olin menghabiskan mangga besar besar 10 buah, sanggup nggak? Olin suka kan, mangga?"

"Hehe..." Olin menyeringai. "Nggak bisa. Olin kekenyangsn. Bisa muntah".

"Bisa sakit perut nggak?" Bunda melanjutkan bertanya.

"Bisa mencret, Bunda".

"Lalu, kata Ustadzah Laili, boleh nggak makan berlebihan?"

"Nggak boleh. Jadi kawan setan". Olin masih nyengir. Bunda nggak marah koq, Olin mengira-ngira.

Bunda mulai tersenyum melihat tingkah anak sulungnya itu, memelintirkan jari jarinya, sambil memperlihatkan gigi depannya yang ompong.

"Sekarang kita mengaji dulu ya. Setelah itu makan. Ada PR dari Bu Aisyah?"

"Nggak ada". Olin mematikan komputernya dan mengiringi Bunda ke meja makan.

Bandung, 14 03 2016
Lisa Tinaria