Sunday, January 29, 2017

SUKSES PADA PROSES

Kami di dunia akuntansi sangat tergila gila dengan dengan sebuah output yaitu opini  akuntan publik  "wajar untuk hal hal yang material" untuk laporan keuangan yang dihasilkan. Demi mencapai itu kami biasanya membuat tim yang solid untuk mendampingi auditor dalam melakukan proses audit.

Sepintas, proses audit tersebut dipersiapkan dengan baik. Temuan tahun lalu dibuka lagi, diidentifikasi mana yang belum ditindaklanjuti, orang orang terkait temuan tersebut dihubungi. Anggota tim saling mengingatkan tentang data yang harus dipersiapkan. Intinya semua orang sibuk ketika menghadapi audit.

Tetapi apakah menjadi baik itu hanya ketika audit? Mengapa kajian terhadap SOP ini dan itu hanya menjelang atau ketika audit berlangsung, yang ujung ujungnya menimbulkan stress tingkat tertentu? Bukankah temuan dan pertanyaan auditor sebenarnya bisa diantisipasi dengan memastikan bahwa SOP memang ada dan diterapkan.

Ya, mengantisipasi risiko, itulah topik hidupku hari ini dan empat hari ke depan, sebagai peserta pelatihan Risk Management. Betapa "padai berhitung" adalah ciri manajemen cerdas. Bisa memprediksi risiko bisnis, bahkan risiko terburuk adalah salah satu siasat bisnis yang bisa mengarah kepada efisiensi dan efektifitas.

Salah satu alat untuk mengantisipasi risiko adalah SOP yang handal, yang tentu saja diterapkan dan, jangan lupa, dievaluasi. Terlihat bahwa sukses sebuah bisnis adalah sebuah proses panjang. Kenaikan grafik laba bukanlah sim salabim.

Jika dibawakan ke kehidupan pribadi, maka konsep Risk Management itu sama saja. Orang yang tak pandai menghitung kelemahan dirinya, tak akan berproses menuju kebaikan. Perubahan, proses "menjadi", itulah kesuksesan sebenarnya.

Jika dikaji lebih dalam, kajian spiritual, bukankah Allah menghargai setiap upaya menuju perbaikan? Bukankah setiap amal sekecil apa pun ada balasannya? Dan berbuat kebaikan itu membutuhkan perjuangan,  penaklukan diri. Hasilnya bisa jadi tak sesuai harapan: uang tak berlimpah, karir biasa saja. Tetapi bahwa proses "being" lah yang mendapat reward, patutlah menjadi acuan utama. Bahwa sukses itu pada proses, bukan pada hasil.

Bandung, 7 Sept 2015
Lisa Tinaria
MANUK DADALI

Sudah sering aku mendengar lagu itu. Suasana atau acara ketika nyanyian itu diperdengarkan biasanya: acara lomba grup vokal, seringnya di sekolah, paduan suara ibu darma wanita, upacara bendera - biasanya sebagai lagu hiburan setelah upacara. Apa lagi ya? O, bagian dari lagu medley pada roadshow tim kesenian Indonesia di luar negeri.

Musik yang mengirinya biasanya angklung, band biasa beranggota tiga atau empat orang,  organ tunggal atau piano - biasanya ini pada paduan suara. Kesan yang ditimbulkan adalah lincah dan ringan.

Pagi ini aku mendapatkan kiriman lagu Manuk Dadali dari mentor menulisku, dalam sajian yang lain dari biasa. Permulaan lagu ditandai dengan alunan biola yang serentak. Halus tetapi bertenaga. Lalu disusul dengan bunyi petikan. Tampaknya biola itu yang dipetik. Atau harpa? Aku tak paham betul alat musik. Lalu ada suling. Terakhirnya semua bunyi bercampur dengan kesan penuh. Sebuah orkestra.

Lagu Manuk Dadali yang dimainkan oleh orkestra itu jadi kutangkap berbeda dengan  yang dinyanyikan ibu darma wanita. Instrumental itu terasa lebih mewah, berkelas dan bertenaga, terutama setelah semua alat musik dimainkan.

Itulah tampaknya fungsi arranger. Dia bisa memadukan suara, kapan harus lembut, kapan harus terdengar kuat. sesuai dengan arti lagu. Baru malam inilah aku tahu bahwa Manuk Dadali artinya burung garuda. Dan keperkasaan sang Garuda yang digambarkan pada bagian kedua syair  lagu tersebut, diwakili dengan sangat baik oleh perpaduan semua instrumen musik, juga pada bagian kedua lagu insrtumental tersebut.

Terbanglah tinggi wahai Garuda-ku!

Bandung, 5 Sept 2015
Lisa Tinaria
TERASI

Aku membuka lemari gantung di atas bak cuci piring. Hhmm, ini dia, kataku dalam hati. Sebuah botol bekas selai kuperhatikan. Masih ada sebongkah benda coklat di dalamnya. Aku buka tutup botol itu, kucium isinya. Langsung aku mengernyit. Sudah tidak karuan baunya. Entah sudah berapa lama dia berada di sana.

Aku melihat sekilas pada wajan yang terjerang di atas kompor minyak tanah. Aroma pedas mulai meruak dari yang kumasak, sambal cabe goreng. Bawang merah, tomat, dan cabe gendot sudah pas komposisinya. Tetapi bau tadi masih ada yang kurang.

Aku mengais-ngais tempat bumbu segar, sebuah keranjang rotan bekas parcel. Bawah merah, bawang putih, jahe, kunyit, laos, beberapa jenis daun ada di sana. Bebapa bungkusan kecil kuperhatikan: merica hitam, ketumbar, jintan. Yang kucari tak ada.

Aku langsung menyambar jilbab yang tergantung di kursi makan. Bergegas aku keluar rumah sambil meraba saku baju gamisku. Ada beberapa lembar uang kertas. Pintu depan kubiarkan tidak dikunci. Begitulah kebiasaanku kalau meninggalkan rumah untuk ke warung. O, kompor. Rasanya tadi sudah kumatikan sebelum memakai jilbab.

"Ada terasi, Pak?" tanyaku pada si penjaga warung di pertigaan gang dekat rumahku.

"Waduh, pas banget baru habis dipakai istri saya" katanya tersenyum.

Aku langsung balik kanan melanjutkan hunting. Ada warung di gang sebelah. Ke sana langkahku tertuju, dengan bergegas. Si pemilik warung sedang melayani seorang pembeli. Tak sabar aku langsung buka suara.

"Terasi, Mbak" kataku singkat padat. Dia berusaha menyibak gantungan aneka bumbu di depan mukaku. Kantung plastik dengan berbagai macam isi bumbu bersusun rapat pada gantungan berbentuk jemuran pakaian.
"Gak ada" katanya tak kalah singkat.

Aku langsung pergi. Pasar kaget di RT sebelah, pagi jam segini, kuharap masih menyisakan beberapa tukang sayur. Aku melangkah cepat ke sana sambil membayangkan sambal pedas yang akan kumakan dengan tempe goreng.  Dari jauh tampak si Mbok yang biasa menjual bawang dan beberapa bumbu, masih duduk di dingklik di bawah payung golf yang sudah tidak jelas gambarnya.  Aku langsung mengarah kepadanya.

"Mbok punya terasi?" aku menebarkan pandang  pada tumpukan dagangannya yang acak acakan.

"Sik, sik, tak cari dulu" katanya sambil tangan keriputnya mengangkat memindahkan barang yang bisa dia jangkau, sambil duduk terbungkuk. Aku ikut "mengacak acak" dagangannya. "Tadi di sini" katanya  bergumam. "Sekarang sudah ndak ada itu".

Aku maju tak gentar. Terbayang kelezatan sambal pedas yang kubuat, dimakan bersama nasi panas. Tak lupa lalap. Dua pedagang sempat kulewati. Di pedagang terakhir aku akhirnya mendapatkannya. Aku bergegas pulang. Sambalku sudah menunggu. Aku tersenyum dalam hati atas perjuanganku pagi ini.

Dari jauh aku melihat orang berkerumun di depan pintu pagarku. Bu Roni, masih pakai daster, berdiri bersebelahan dengan Pak Roni, yang entah membawa apa itu. Ha?! Ember plastik hitam. Ada si Atun, pembantu cuci Bu Dadi. Pak Rt ikut pula? Dan beberapa orang lain. Begitu aku mendekat mereka mulai gaduh.

"Nah, ini Bu Noni" teriak si Atun.
"Ibu dari mana?" Pak Roni dan Bu Roni hampir serentak bersuara.
Wajah mereka cemas.  Beberapa orang juga ada di ruang tamu. Aku jadi tegang.

"Kenapa?l " suaraku langsung meninggi sambil bergegas ke arah dalam.

"Kami tadi mendengar suara ledakan. Lalu si Atun yang lagi nyuci di belakang melihat asap dari dapur Ibu."

Aku langsung terbang ke dapurku. Pak Jun, Pak Odik dan si Rukun, sopir Pak Jun, sedang memandangi dapurku sambil masing-masing menenteng ember platik hitam. Ruangan itu seperti kapal pecah. Lantai becek, tersiram air. Di langit langit ada jelaga. Lemari gantung di dekat kompor, bolong di bagian depannya. Masih mengepul asap dari pintu lemari gantung itu.

"Maaf Bu Noni, kami berinisiatif untuk memadamkan api di dapur Ibu" kata Pak Jun hati-hati. Pandangan mereka bercampur, cemas sekaligus lega.  Aku tak bisa berkata. Kupegang kursi makan, mencari topangan untuk tubuhku yang lemas karena gemetar. Jantungku berdegup kencang. Tiba tiba kepalaku berdenyut denyut. Aku mendudukkan diri di kursi itu.

"Tampaknya Ibu lupa mematikan kompor. Sumbunya mungkin juga longgar sehingga api masuk ke tangki minyak." penjelasan Pak Odik.

Sekilas aku melihat pada wajan yang masih bertengger di atas kompor. Gagangmya yang terbuat dari karet keras, sudah tak berbentuk. Lumer. Sambalku?

Setelah agak tenang, aku baru berbicara. "Terima kasih Bapak dan Ibu." kataku lirih. Apa lagi yang pantas kuucapkan atas kecerobohanku.

"Ibu, tadi pergi ke mana?" tiba tiba Bu Roni sudah memijat pundakku.

"Belanja" jawabku sambil menunduk.

"Ibu mencari apa?" Bu Roni tampak penasaran tetapi suaranya penuh pengertian.

"Terasi" jawabku lesu dan malu.

Bandung, 3 September 2015
Lisa Tinaria
PULANG

Beberapa hari ini, topik "pulang" atau "ingin pulang" melingkungi hatiku. Bukan lantaran long weekend. Bukan itu. Bukan pula pulang dalam arti harafiah.

Di sebuah sudut Menteng, long weekend yang lalu. Aku memerhatikan sekelompok orang yang duduk di meja di dekat jendela, di restoran sea food ini. Tampaknya mereka sebuah keluarga. Anak kecil, bapak ibu pasangan muda dan seorang wanita paruh baya menjadi anggota acara makan bersama itu. Betapa itu gambaran kesempurnaan sebuah keluarga. Keluarga yang menjadi alasan untuk pulang ke rumah.

--------

"Papa ingin melihat Alif kuliah", Oom berkata lirih pada sepupuku Allan yang sudah menyandang ransel. Sudah sehari semalam Allan berada di rumah sakit ini untuk menemani sang Papa. Saatnya untuk berganti shift malam ini. Kedua beranak itu saling bertatap. Suara Oom disertai getar ketika menyebut nama sang cucu.

"Ada koq kakek yang sampai melihat cucunya menikah", Allan berusaha menenangkan hati Papanya. Tangan sang Papa, Oomku memegang pangkal lengan Allan, seolah olah tak membiarkan pemilik lengan itu pergi.

Bahwa keluarga adalah pengikat cinta sehingga pulang menjadi bermakna dapat kulihat pada pamitnya Allan. Dia sudah beberapa hari meninggalkan anak dan istrinya karena dinas ke luar kota. Dari luar kota dia langsung ke RS menunggui Papanya, dan tidak sempat pulang ke rumah.  Pada sisi lain aku melihat bahwa keluarga juga yang memberi makna lebih kompleks pada "pulang" jenis lain.

"Pada akhirnya kita harus menerima ketetapan Allah" kudengar kalimat itu tadi dari mulut Oom. Suara itu tegas dan jelas, bahwa Oom sudah memperhitungkan sesuatu terkait sakit pinggang yang sangat dan BAB berdarah hitam yang menyebabkan beliau harus dirumahdirumahsakitkan oleh anak Beliau.

Hari Kamis di mushalla kantor.

"Bu Lisa, aku tinggal setahun lagi". Bu Lis dan aku bertemu di mushalla saat dhuha.

Aku otomatis mencermati wajahnya.
"Wajah Ibu tidak menunjukkan kalau Ibu bakal pensiun" kataku jujur sambil tersenyum.

"Aku ingin semua ini cepat selesai". Beliau yang terhitung seniorku, banyak berkutat di dunia keuangan dan terkenal dengan tingkat kedisiplinannya. Volume kerja dan perjuangan menegakkan SOP, bisa jadi menimbulkan kelelahan mental tersendiri. Itu aku alami juga.
"Aku ingin memulai kehidupan yang baru. Lebih banyak mengkaji agama. Lebih ingin mempersiapkan diri untuk kehidupan nanti".

Aku diam sejenak. Betapa hari ini aku memperoleh pelajaran sangat berharga: persiapan pulang.

"Aku takut menghadapi itu. Bagaimana itu, kematian". Kami berdua saling memandang

"Bu, kata ustadz Wawan, yang perlu kita takutkan adalah jika mati dalam.keadaan buruk". Kalimat itu melucur begitu saja dari mulutku. Bukan karena aku ahli al Quran atau ahli hadist, namun lebih karena aku sendiri harus menguatkan diri sehubungan dengan "pulang" itu. Kalimat itu lebih tepat untuk diriku.

"Kita tidak tahu umur". Itu kalimat pamungkas beliau sebagai penutup pembicaraan kami di mushalla yang berukuran dua meter kali dua setengah meter.

Aku memegang keningku yang agak hangat dan menimbulkan rasa berat ketika sujud tadi. Tidak, tidak hanya sujud hari ini! Sakit kepala ini sudah sejak kemarin. Dan aku tahu ini terjadi karena sesuatu yang aku harapanku tidak menjadi kenyataan. "Seharusnya aku berserah kepada Engkau ya Allah". Aku merasa terpojok. Ingat dengan kata "persiapan" yang disampaikan bu Lis tadi. Bahwa persiapan harus sampai kepada hal-hal kecil - sikap kepasrahan setelah upaya -  yang diterapkan sampai minute by minute. Kepalaku tambah sakit menyadari "minute by minute" itu. Ingin rasanya aku menangis.

Lain waktu, pembicaraan dengan rekan kerjaku.

"Gimana ya, saya ingin kalau pensiun tinggal di daerah yang  tenang, jauh dari hiruk pikuk seperti Bandung". Temanku berhenti sebentar, menerawang. "Semarang atau Yogya atau... cocok tampaknya. Jenuh rasanya dengan kehidupan sekarang".

Pesan yang kutangkap tetaplah ingin berpindah dari suatu kehidupan ke kehidupan lain yang lebih tenang, "slow pace of life", meninggalkan segala grusa grusu.

"Tetapi suami saya tidak setuju" jawabnya sendiri atas keinginannya. "Anak anak, katanya sekolah di Bandung".

"Tampaknya tubuh kita otomatis menyukai pemandangan hijau pepohonan, hamparan sawah dan rerumputan, gemericik air mengalir di sungai yang bersih, birunya langit dan lautan. Buktinya banyak orang ingin berlibur untuk mencari suasana kembali ke alam". Seorang teman lain bercerita tentang liburan ke sebuah desa.

Aku jadi berpikir tentang  ungkapan dalam Al Quran yaitu "jannah" yang arti harafiahnya adalah kebun. Tentulah itu kebun yang sangat indah, yang salah satu keindahannya dipertegas dengan sungai yang mengalir. Jika tempat pulang sedemikian nyaman, setiap diri mestinya berorientasi untuk "pulang".

Dalam perjalanan Bandung - Jakarta yang lancar.

"Saya berpikir, apa ya Bu, yang bisa saya jadikan tabungan, semacam persiapan, begitu, untuk nanti". Kami sedang berdiskusi tentang amal sosial sebagai pengejawantahan amal pribadi. Bahasa lain, hablu minallah yang kemudian harus dibuktikan dengan hablu minannaas. Ada juga yang memberikan gambaran bahwa sholeh secara  pribadi harus bisa dibuktikan dengan sholeh secara sosial.

Kami berdua akhirnya sepakat bahwa "persiapan" itu harus dipikirkan dan dilaksanakan. Yang lebih penting, persiapan untuk "pulang" tidaklah cukup dalam waktu setahun dua tahun. Dia adalah perjuangan sepanjang hayat dikandung badan.

Pemikiran tentang persiapan pulang, mudah mudahan timbul dari kecintaan kepada pulang itu sendiri. Kecintaan dalam arti kerinduan kepada Dzat yang ditemui di ketika pulang.

Sama maknanya dengan kejadian yang disampaikan temanku. "Aku sudah tidak pulang kampung karena sudah tidak ada yang dilihat. Kedua orang tuaku sudah meninggal".

-----

Aku mengakhiri makan malam di restoran seafood ini. Kupandangi keluarga gembira yang mulai berjalan meninggalkan ruangan besar restoran. Keluarga itu mungkin merencanakan pulang ke rumah, beristirahat setelah berkegiatan di luar.

Aku memandang arlojiku. Hampir jam setengah sembilan malam. Aku sedang menunggu mobil travel yang akan membawaku pulang ke Bandung. Seharian ini aku pulang pergi Bandung-Jakarta untuk membezoek Oom. Sekarang aku sama dengan keluarga itu, dalam perjalanan pulang.

Apakah aku akan "pulang" dalam perjalanan ini? Ya Allah cicipi aku husnul khatimah itu.

Bandung, 31 Desember 2016
Sebuah kontemplasi - Lisa Tinaria.