Saturday, September 24, 2016

FOTOKOPI RUPIAH

Di salah satu grup WA yang aku ikuti, salah satu anggota pernah mengirimkan video tentang teknik "menggandakan uang". Aku "salut" dengan cara yang ditawarkan. Alatnya pun sangat sederhana. Cukup dgn memakai hp android. Caranya, selembar uang kertas - contohnya yang warna merah soekarno hatta- difoto dengan android, disimpan lalu dengan memencet tombol enter keluarlah si merah dari hp itu. Persis cara kerja mesin fotokopi. Entahlah, apakah film itu tergolong lucu. Sejujurnya aku miris menonton itu.

Seputar hari kemerdekaan kemarin, banyak beredar definisi "merdeka". Salah satu definisinya adalah : berbarisnya "proklamator bangsa dalam dompet". Lagi lagi aku bingung, apakah harus tertawa atau cemberut.
Masih soal uang, ada ungkapan lain yang membuat aku merenung: yang haram saja susah apalagi yang halal. Begitulah.

Terlepas dari tingkat inflasi, nilai dolar dan aspek ekonomi makro,  manusia umumnya melihat uang - dalam hal ini rupiah- lebih pada input. Proses dan outputnya tak terpikirkan.

Sebagai contoh, manusia sibuk memikirkan bagaimana menambah penghasilan nominal rupiahnya. Mulai dari rajin bekerja, berharap karir naik dan tentu saja rupiah bertambah. Ada yang memakai area abu-abu, menerima ini itu yang tidak jelas hubungannya dengan usaha. "Masa iya rejeki ditolak" adalah argumen yang paling sering kudengar soal ini. Cara yang nyata nyata salah pun tak sedikit peminatnya, baik itu tergolong white colar maupun blue colar crime.

Tetapi bukankah rejeki itu juga berarti output? Bagaimana kalau uang dipakai hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan? Yang kemudian barang barang yang dibeli hanya jadi penghuni gudang? Untuk biaya berobat ketimbang untuk kegiatan menyenangan lagi menenangkan? Untuk rehabilitasi anak pecandu narkoba? Banyak input, lebih banyak outputnya.

Kalau sudah seperti ini  apalagi dalam kondisi ekonomi saat ini, satu satunya senjata dalam mengoptimalkan input adalah dengan mengendalikan output. Bahasa lainnya mengendalikan nafsu. Ajaran yang indah dalam Al Quran menyebut cara ini sebagai "cara pertengahan": tidak pelit, tidak boros.

Lantas Islam juga mengajarkan tentang proses. Bahkan menurutku, Allah semata mata melihat proses, bukan hasil. Ya, karena hasil adalah hak prerogatif Allah, sementara proses adalah kewajiban manusia. Kalau sudah begini manusia patut berusaha keras untuk memurnikan proses menjemput rupiah tadi. Memilih, memilah cara yang menenangkan jiwa, sekaligus menimbang kesehatan juga.

Akhirnya, rejeki tidak sebatas angka masukan. Pada waktunya nanti, kita akan ditanya dari mana asalnya dan  bagaimana cara membelanjakannya.

 Semoga kita selalu mampu mengupayakan rejeki yang barokah.

Bandung, 27 Agt 2015
Lisa Tinaria

Friday, September 23, 2016

MAU JADI APA



Pertanyaan itu pertama kali kujawab ketika aku kelas 4  atau 5 SD. Jawabanku mantap ketika itu : jadi menteri. Entah menteri bidang apa. Pokoknya cita citaku itu kutuliskan dalam sebuah karangan.

Waktu berlalu melewati SD, SMP dan SMA. Cita citaku, seingatku tak terbentuk di kepalaku. Hanya aku ingat satu perisristiwa. Ketika akan diadakan penjurusan di akhir kelas 1 SMA, secara otomatis aku didaftarkan ke jurusan A1 karena nilaiku yang cukup untuk duduk di kelas eksakta. Dengan tenangnya aku minta pindah ke jurusan A3. Pikiranku ketika itu aku ingin jadi pengarang, penulis, sastrawan atau sejenisnya. Orang tuaku adem ayem saja dengan pilihanku itu.

 Dari sana baru aku sadar bahwa kecenderungan pada diriku mulai terbentuk. Ini dibuktikan dengan aku mendapat predikat juara mengarang, yang diselenggarakan  koran Suara Karya, ketika aku masuk kelas 1 SMA.  Tetapi sebenarnya mau jadi apa, aku tetap belum tahu sampai kelas tiga SMA.

Nah, lulus SMA, mulailah aku berpikir mau bekerja di bidang apa nanti. Pertanyaan itu mau tak mau harus kujwab karena aku harus mengisi formulir pendaftaran ke universitas. Dengan lugas kukatakan kepada Papa aku mau jadi penulis buku atau jadi psikolog. Papa langsung bersuara tinggi memberi penjelasan untuk mematahkan pendapatku.

"Ke fakultas sastra?" Papa mendelik padaku.

"Psikologi, apa itu", aku sudah tahu apa itu psikolog, Papa belum tahu.

"Sudahlah masuk akuntansi saja".

 Dasar Papa adalah "tukang buku". Beliau di samping memiliki ijazah sebagai orang Pos lulusan Akademi Pos, juga memiliki sertifikat bon A dan bon B. Jaman itu akuntan di Indonesia masih sedikit. Kekosongan pasar diisi oleh lulusan bon A dan bon B itu.

Jadilah diriku ini seorang akuntan dan bekerja, memang di dunia akuntansi dan keuangan. Kembali ke perjalanan hidupku soal "mau jadi apa", sungguh aku bersyukur. Profesiku sekarang bukan yang aku cita citakan tetapi merupakan bentukan dari Papa. Dalam peliknya pekerjaan "menghitung uang orang" (bukan uangku sendiri), aku mencintai pekerjaanku. Terlebih jika sudah berhubungan dengan mengutak atik SOP dan mengkaji bisnis proses milik divisi lain.

Keinginanku untuk menjadi penulis pun, menurutku sudah terpenuhi. Dengan cara bagaimana? Dengan cara belajar menulis dalam bahasa Inggris ketika aku mempersiapkan diri mengambil beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Aku menikmati proses belajar yang keras ketika itu: menulis dalam bahasa Inggris setiap hari selama lebih kurang enam bulan. Sekarang aku dipertemukan dengan grup menulis. Tampaknya aku bagai ikan menemukan air.

Akhirnya, "mau jadi apa" pada dasarnya sebuah proses, bukan hasil akhir. Jalani, nikmati dan syukuri.

Terima kasih Allah.
Bandung, 26 Agustus 2015.
Lisa Tinaria

MAU JADI APA



Pertanyaan itu pertama kali kujawab ketika aku kelas 4  atau 5 SD. Jawabanku mantap ketika itu : jadi menteri. Entah menteri bidang apa. Pokoknya cita citaku itu kutuliskan dalam sebuah karangan.

Waktu berlalu melewati SD, SMP dan SMA. Cita citaku, seingatku tak terbentuk di kepalaku. Hanya aku ingat satu perisristiwa. Ketika akan diadakan penjurusan di akhir kelas 1 SMA, secara otomatis aku didaftarkan ke jurusan A1 karena nilaiku yang cukup untuk duduk di kelas eksakta. Dengan tenangnya aku minta pindah ke jurusan A3. Pikiranku ketika itu aku ingin jadi pengarang, penulis, sastrawan atau sejenisnya. Orang tuaku adem ayem saja dengan pilihanku itu.

 Dari sana baru aku sadar bahwa kecenderungan pada diriku mulai terbentuk. Ini dibuktikan dengan aku mendapat predikat juara mengarang, yang diselenggarakan  koran Suara Karya, ketika aku masuk kelas 1 SMA.  Tetapi sebenarnya mau jadi apa, aku tetap belum tahu sampai kelas tiga SMA.

Nah, lulus SMA, mulailah aku berpikir mau bekerja di bidang apa nanti. Pertanyaan itu mau tak mau harus kujwab karena aku harus mengisi formulir pendaftaran ke universitas. Dengan lugas kukatakan kepada Papa aku mau jadi penulis buku atau jadi psikolog. Papa langsung bersuara tinggi memberi penjelasan untuk mematahkan pendapatku.

"Ke fakultas sastra?" Papa mendelik padaku.

"Psikologi, apa itu", aku sudah tahu apa itu psikolog, Papa belum tahu.

"Sudahlah masuk akuntansi saja".

 Dasar Papa adalah "tukang buku". Beliau di samping memiliki ijazah sebagai orang Pos lulusan Akademi Pos, juga memiliki sertifikat bon A dan bon B. Jaman itu akuntan di Indonesia masih sedikit. Kekosongan pasar diisi oleh lulusan bon A dan bon B itu.

Jadilah diriku ini seorang akuntan dan bekerja, memang di dunia akuntansi dan keuangan. Kembali ke perjalanan hidupku soal "mau jadi apa", sungguh aku bersyukur. Profesiku sekarang bukan yang aku cita citakan tetapi merupakan bentukan dari Papa. Dalam peliknya pekerjaan "menghitung uang orang" (bukan uangku sendiri), aku mencintai pekerjaanku. Terlebih jika sudah berhubungan dengan mengutak atik SOP dan mengkaji bisnis proses milik divisi lain.

Keinginanku untuk menjadi penulis pun, menurutku sudah terpenuhi. Dengan cara bagaimana? Dengan cara belajar menulis dalam bahasa Inggris ketika aku mempersiapkan diri mengambil beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Aku menikmati proses belajar yang keras ketika itu: menulis dalam bahasa Inggris setiap hari selama lebih kurang enam bulan. Sekarang aku dipertemukan dengan grup menulis. Tampaknya aku bagai ikan menemukan air.

Akhirnya, "mau jadi apa" pada dasarnya sebuah proses, bukan hasil akhir. Jalani, nikmati dan syukuri.

Terima kasih Allah.
Bandung, 26 Agustus 2015.
Lisa Tinaria