Monday, November 13, 2017

MATOA GAMES

"Olin, hayo sholat magrib dulu". Bunda keluar dari kamar mandi, selesai mengambil wudhu.

"Ya Bunda". Olin masih melotot di depan komputer. Adzan magrib baru saja berkumandang tetapi tak ada tanda tanda dia akan beranjak dari duduknya.

Bunda masuk ke kamar dan keluar lagi dengan mukena dan sarung sudah terpasang. "Oliiiiin, nanti gamesnya dilanjutkan lagi". Sekarang bunda berdiri di depan kamar. Suaranya lebih tinggi dari suara perintah pertama.

"Tanggung Bunda. Nilai Olin sekarang sudah hampir melewati nilai yang kemarin". Tak sempat Olin melihat pada Bundanya, tahu tahu  Bunda sudah berdiri di samping Olin. Tiba-tiba layar monitor blep, gelap. Bunda mencabut kabel listrik CPU komputer. "Aa..gghh Bunda". Mulut monyong Olin mulai nampak. Tak ada pilihan, dia akhirnya ke kamar mandi.

Sudah telat untuk ke surau, akhirnya Olin sholat di rumah berdua saja dengan Bunda. Ayah masih belum pulang dari acara kenduri di desa tetangga. Sholat kilat khusus ditunaikan Olin. Bunda belum selesai sholat ketika Olin kembali menatap layar komputer.

"Nah, masih ada". Olin berteriak senang, skornya masih terpampang di layar.

Tiba tiba Bunda yang usil sudah berdiri di samping Olin. "Lagi lagi Bunda, lagi lagi Bunda". Bunda bukannya pergi setelah diomeli Olin. Sekarang Bunda malah mencari kursi dan duduk di sebelah Olin.

"Coba terangkan ke Bunda cara main games ini. Apa namanya?" Suara Bunda tidak marah tetapi terkesan menyelidik dan menantang.

"Kenapa? Bunda mau ikut main?" Olin tampak curiga sekaligus tertarik apakah Bundanya bisa main games. Dia menghentikan gerakan mouse di tangan kanannya, menatap mata Bunda. Permainan entah sudah sampai di mana.

"Nggak. Bunda ingin tahu saja cara mainnya". Games ini dibelikan Ayah Olin hari Minggu kemarin di kota. Sejujurnya Bunda tak setuju Ayah membelikan games untuk Olin yang sedang semangat semangatnya menyandang ransel ke sekolah kelas satu SD. Bunda lebih suka Olin dibelikan buku cerita bergambar. Sekarang Bunda ingin tahu adakah gambar atau nilai tak pantas pada games itu.

"Namanya Matoa Games, Bunda".

"Apa?" Bunda berkerut kening. "Mertua?"

"Matoa, bukan mertua" Olin melambatkan ejaannya. "Bunda tahu nggak buah Matoa?"

"Buah?" Bunda semakin penasaran. Ini buah beneran atau rekaan pembuat games?

"Nih Bunda gambarnya". Olin memulai games dari awal. Dia mengklik tombol "mulai". Lantas muncullah di layar gambar pohon besar dengan kelompok buah bergelantungan berwarna merah tua. Di bawah pohon tampak berdiri seorang laki laki berkulit gelap, berambut keriting dan berdada telanjang, memakai celana pendek, memanggul keranjang di punggungnya. Sejauh ini gambar orang itu cukup sopan, batin Bunda.

"Jadi itu buah apa?" Bunda tampak tertarik.

"Nanti, nanti, Olin lihatkan". Olin mulai mengklik gambar orang kemudian memindahkan orang tersebut ke dekat buah yang bergelantungan. Orang tersebut membuat gerakan memetik buah dan memasukkannya ke dalam keranjang di punggungnya. Olin memindahkan gambar orang itu ke beberapa tempat gelantungan buah.
"Nah sekarang keranjangnya sudah penuh. Dia harus turun. Kalau nggak turun, nanti buahnya melimpah dari keranjang, jatuh dan rusak. Itu mengurangi nilai Olin".

"Hhmm..." Betul juga logika permainan ini, pikir Bunda.

"Kalau keranjang belum penuh, nilai Olin kurang. Harus sering bolak balik naik pohon. Orangnya capek". Bunda manggut-manggut menahan senyum. Olin memindahkan gambar orang di atas pohon itu ke tanah.

"Lalu, orang ini harus memakan buah ini sampai habis". Olin mengklik gambar buah matoa yang ditumpahkan dari keranjang. Buah jadi tampil close up. Olin kemudian mengklik buah merah itu satu per satu, tepat di tengah buah lalu buah membuka."Buahnya seperti rambutan isinya, Bunda. Kalau dia bisa menghabiskan buah ini dengan cepat, Olin dapat nilai". Olin mengklik buah, satu satu dengan jitu.

Bunda mulai berpikir kritis. Tahapan inilah yang tidak sesuai dengan nilai Islam, concern Bunda dalam mendidik Olin.
MATOA GAMES - Bag 2

"Memangnya semua buah harus dihabiskan. Kalau sudah kenyang, kan berhenti. Terus, kalau bersisa, kan bisa dibagikan ke tetangga atau dijual" Bunda mulai berceloteh. Olin meng-hentikan mengklik buah satu per satu.

"Tetapi orang ini bisa menghabiskan sekeranjang ini. Tandanya orangnya kuat makan matoa banyak-banyak". Olin menatap wajah Bunda yang mulai tampak aneh.

"Kalau dia sudah selesai makan satu keranjang, lalu dia memetik lagi, trus memakannya semua. Begitu berkali kali? Sudah berapa skor Olin?"

"Tiga puluh dua, Bunda"

"Apa?" Bunda melotot. Olin tersenyum menang pada Bunda. Ini baru namanya prestasi, begitu pikir Olin.

"Olin, coba dengar kata Bunda. Lihat Bunda". Olin patuh. Dia menurunkan tangannya dari keyboard dan meletakkan di pangkuannya. "Kalau Bunda suruh Olin menghabiskan mangga besar besar 10 buah, sanggup nggak? Olin suka kan, mangga?"

"Hehe..." Olin menyeringai. "Nggak bisa. Olin kekenyangsn. Bisa muntah".

"Bisa sakit perut nggak?" Bunda melanjutkan bertanya.

"Bisa mencret, Bunda".

"Lalu, kata Ustadzah Laili, boleh nggak makan berlebihan?"

"Nggak boleh. Jadi kawan setan". Olin masih nyengir. Bunda nggak marah koq, Olin mengira-ngira.

Bunda mulai tersenyum melihat tingkah anak sulungnya itu, memelintirkan jari jarinya, sambil memperlihatkan gigi depannya yang ompong.

"Sekarang kita mengaji dulu ya. Setelah itu makan. Ada PR dari Bu Aisyah?"

"Nggak ada". Olin mematikan komputernya dan mengiringi Bunda ke meja makan.

Bandung, 14 03 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment