Saturday, November 11, 2017

SURAT WASIAT

"Si Jab perlu dikasih lebih. Dia kan susah hidupnya. Dia dan istrinya yang merawat Nenek. Jadi memang seharusnya dia dapat lebih." Mak Tuo merencanakan isi surat wasiatnya.

"Uni, cobalah melihat berdasarkan hukum yang sebenarnya". Oom langsung menjawab penjelasan kakaknya. Terdengar suara beliau agak tinggi. "Jika si Jab diberi lebih, lantas apa kata anak yang lain? Tambah lagi wasiat itu tidak bisa ditujukan kepada  penerima warisan, kecuali penerima warisan yang lain ridho".  Sanggah Oom.

Oomku knowledgable person. Beliau banyak membaca. Dari percakapan kedua orang dari generasi di atasku itu, aku jadi tahu apa itu surat wasiat. Bacaan Oom di rumah gadang ada dua lemari tinggi. Beliau seorang sarjana hukum, yang juga meminati hukum adat Minang dan termasuk fiqih. Namun beliau sering kuperhatikan banyak merenung ketika membaca buku buku Rumi, sang filsuf.

Kembali ke argumen Mak Tuo. Aku pernah juga mendapat penjelasan langsung dari beliau tentang rencana membuat surat wasiat dengan isi seperti itu. Aku habis pikir bagaimana mungkin Mak Tuo bisa tidak adil demikian.

Aku sudah tahu sejak lama kalau Mak Tuo sangat sayang pada anak laki lakinya yang satu itu yang nota bene kerja serabutan. Uda Jab aku memanggilnya, tinggal di rumah Mak Tuo. Anak anak yang lain, tinggal di tempat lain. Tetapi apakah anak lain juga berkecukupan?

"Ingat Uni, yang membutuhkan uang untuk membeli rumah tidak hanya si Jab tetapi juga si An. Mereka sebagai anak laki laki Uni, mempunyai hak yang setara." Oom menambahkan.

Cinta buta ternyata tidak hanya terjadi pada muda mudi. Tetapi juga pada Mak Tuo.

"Dia itu membawa beras koq, Lisa. Jadi tidak mengandalkan Mak Tuo saja". Aku membatin, siapa lagi yang akan membela anak kesayangan itu kalau bukan Mak Tuo. Setahuku, roda rumah tangga yang di sana juga hidup Uda Jab, istrinya dan tiga anaknya, dijalankan oleh Mak Tuo. Listrik, uang sekolah, atap bocor, berobat, belanja dapur, hampir semua ditangani Mak Tuo. Sementara Uda An, hidup di rumah kontrakan, dan berupaya hidup mandiri.
Dengan wujud cinta yang jelas timpang ini, Mak Tuo masih berpikir untuk berwasiat untuk Uda Jab.

"Uni, jangan sampai rasa sayang Uni, menimbulkan ketidakadilan. Bagaimana kalau si An menuntut. Bukan tidak mungkin itu terjadi." Mak Tuo diam saja. "Kita ini sudah tua. Gak akan lama lagi. Pikirkan untuk kebaikan kehidupan di sana. Berbuatlah seadil adilnya. Soal bagaiman anak dan cucu Uni akan hidup, serahkan kepada Allah".

Oom berdiri dari duduknya, menuju kamar. Perbincangan malam itu di rumah gadang, semoga bisa membuka hati Mak Tuo untuk berbuat adil di antara anak anaknya.

Bandung, 30 Okt 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment