Monday, November 13, 2017

AFRIKA

Kantor Pos Jakarta Pusat, di awal bulan.

Semua tempat duduk di vestibul (loby) sudah terisi penuh. Banyak pengunjung yang menunggu panggilan, berdiri di sembarang tempat. Di beberapa counter yang tidak memakai nomor antrian, tampak pengunjung antri mengular. Suara TV bercampur dengan dengung para pengunjung. Ditingkah pula dengan panggilan "nomor 72, di loket 10" dan panggilan nomor nomor lainnya.

Di sebuah counter terdapat tulisan "Western Union" tergantung di langit langit counter. Di depan counter terdapat beberapa kursi tunggu. Seorang berkulit hitam, tinggi besar sedang duduk di sana. Di counter, sedang berdiri seorang laki laki, juga warga asing, yang tampaknya berhidung timur tengah. Counter itu untuk melayani penerimaan dan pengiriman uang dari dan ke luar negeri.
Sang Afrika sekarang di depan counter.

"Mba Rumi, maksud dia apa? Aku nggak ngerti?" Anti akhirnya harus ke supervisornya karena kewalahan melayani pelanggan yang satu ini.  "Dia nggak bisa speak English".

"Sudah disodorkan form pengiriman uang?" Pengalaman Rumi, kalau pelanggan sulit berkomunikasi karena masalah bahasa, biasanya dengan diperlihatkan form form tertentu, pelanggan akan mengerti.

"Dia menolak". Anti mengelap keringat di keningnya. Hari Senin yang panjang!
"Dia juga gak mau memperlihatkan ID nya, kalau sekiranya dia akan mengambil uang".

"Sebentar ya, aku menerima telepon dulu. Dari Kantor Regional". Rumi mendekatkan androidnya ke telinga kirinya, menjepitkannya ke bahunya, sambil tetap menandatangani berkas berkas di mejanya.

Anti tak beranjak dari meja Mba Rumi. Dia tak sabar menunggu bossnya bercakap di telepon. Waduh, suara Mba Rumi mulai tinggi, berdebat alot dengan seseorang. Tampaknya pejabat Kantor Regional. Ada rasa tak enak pada Anti. Seharusnya dia bisa sendiri mengatasi si Afrika. Tidak perlu melempar masalah ini pada bossnya. Lihatlah sekarang Mba Rumi sedang berkerut kening.

Yang membuat Anti merasa tak mampu adalah bahwa pelanggan Afrika itu tersenyum senyum sejak dia datang tadi, sejak dia duduk menunggu giliran. Sejujurnya Anti takut. Itulah yang menjadi sebab dia tetap berada di meja Rumi sekarang. Memunggungi counter pula!

Rumi selesai bertelepon dengan muka masygul. Ditarik dan dihembuskannya nafas  panjang, dihenyakkannya punggungnya ke sandaran kursi.
"Lupa aku, apa tadi masalahnya?" Rumi sudah bisa berpindah channel, masalah berikutnya.

"Mba, sebenarnya aku takut.  Dari tadi sejak datang, dia nyengir terus". Anti menaikkan alis matanya, membuat mata besarnya tambah besar.

"Ha!?" Rumi tak kalah membelalak. Hari gini masih ada orang yang berani bertindak ceroboh di tengah ramai seperti ini. Rumi membatin.

"Apa baiknya kita panggil satpam saja?" Anti langsung punya ide.

"Tetapi dia kan tidak melalukan apa apa?" Rumi mulai melihat ke counter. Benar, gigi orang itu tanpak dominan di wajahnya yang panjang. Dia tersenyum pada Rumi!  "Hayo mari kita hadapi. Setidaknya ada pembatas, meja counter yang seringgi dada yang memisahkan dia dan kita".

Keduanya berjalan mendekati counter. Anti berlindung di balik punggung Rumi.
Setelah Rumi mendekati counter, tanpa ba atau bu, tiba tiba laki laki bergigi cemerlang itu menyerahkan sebuah bungkusan ke hadapan Rumi. Kaget, Rumi mundur selangkah. Dengan cepat laki laki itu membuka bungkusan itu. Sebuah benda berwarna hitam persegi panjang dikeluarkannya, diangkatnya dan tangannya yang panjang berhasil mendekatkan  barang itu ke muka Rumi.  Giginya semakin tampak banyak karena senyumnya semakin lebar. Hampir saja Rumi berteriak "Toloooonngg!" kalau tidak segera menangkap pesan bahwa terdapat energi positif yang disampaikan si tinggi besar di depannya.

Sebuah clutch, warna hitam, mengilat, dan bermotif kulit buaya tampak di bawah hidung Rumi. "Take it". Hanya itu yang keluar dari mulutnya yang bergusi merah terang. "Take it" katanya lagi, masih dengan senyum lebar.

Rumi mengambil dompet itu, membungkukkan badan atasnya dan berkata "Thank You". Dia sekarang berani menatap mata sang pemberi. Sang mata jenaka  kemudian  membungkukkan badan sambil meletakkan tangan kanannya di dada kiri. Penghormatan. Setelah itu membalik punggung dan berlalu dengan langkah lebar meninggalkan counter.

Rumi dan Anti berpandangan bingung sekaligus takjub  atas kejadian barusan. "Mba, ternyata orangnya baik". Anti tertunduk malu.

Bandung, 11 03 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment