Saturday, November 11, 2017

JURUS PAMUNGKAS DI PADEPOKAN SILAT

Elang menatap langit bertabur mutu manikam di malam biru cerah itu. Matanya menerawang jauh ke bintang Tsurayya. Pikirannya melampaui langit ketujuh. "Indahnya" gumamnya dalam hati ketika mengarahkan matanya ke langit agak ke kiri. Taburan kerlap kerlip di situ lebih banyak.

"Apa yang akan terjadi nanti dengan semua ini?" Elang masih bertanya, pura pura tak tahu. Sudah jelas Gurunya mengatakan bahwa langit itu akan digulung jika saatnya tiba. Pelajaran Gurunya itu muncul kembali.

"Kapan itu terjadi, kita tak pernah tahu. Sebagaimana kita tak tahu apa yang akan terjadi esok pagi. Bahkan keluar dari tempat ini pun kita tak tahu takdir kita". Guru menerangkan itu kemarin malam. Elang dipanggil khusus oleh gurunya. Mereka berbicara empat mata, tentang padepokan silat milik Guru dan tentang Elang sendiri.

"Aku lihat engkau berbakat memimpin. Engkau muda, bersemangat, sekaligus temperamental." Guru berhenti sejenak, memperhatikan wajah murid kesayangannya.  Tampak wajah itu berubah merah padam. "Darahku mengalir juga dalam tubuhmu. Ayahmu adalah salah satu cucu yang kusayang. Kepada siapa lagi aku berharap". Eyang Guru memunggunginya menatap cakrawala malam itu. Beliau tampak sedang berpikir keras. "Kita tak tahu apa yang akan terjadi denganku esok hari". Terdengar Eyang menarik nafas panjang dan mengeluarkannya semua seakan melepas beban. "Sebagaimana kita tak tahu apa yang akan terjadi dengan bintang-bintang itu".

Elang tetap bergeming. Eyang adalah tokoh  yang diseganinya termasuk oleh penduduk di Dukuh Kalimaya. Dalam usia beliau yang mendekati sembilan puluh tahun, beliau masih melatih murid-murid intinya. Padepokan itu sudah seumur dirinya. Itu merupakan warisan dari Ayahanda Eyang.

"Aku belum mengajarkan jurus pamungkas kepadamu".  Topik pembicaraan semakin mengerucut.

"Kapan Eyang akan ajarkan itu kepadaku?" Elang bertanya terbata-bata, antara harap dan malu.

"Kau pikir itu bisa dipelajari hanya dengan kemudaanmu?" Elang merasakan teguran dalam kalimat itu. "Tambah lagi, untuk jadi pemimpin, muda saja tidak cukup". Elang tambah ciut.

"Bagaimana dengan sholat malammu?" Apakah ini menjadi syarat untuk mempelajari jurus itu? Pertanyaan itu berkelebat di kepala Elang. Sepengetahuannya, Eyangnya tak putus mendirikan sholat malam.

"Nngng. . . . belum Eyang" Muka Elang tambah panas. Pemuda tampan berdarah menggelegak ini  merasa bagai hangus terpanggang rasa malunya sendiri.

"Bagaimana mungkin kau akan mempelajari jurus itu". Eyang menatap tajam pada cicitnya yang tertunduk dalam. "Puasa senin kamis?"

"Hhmm..." Elang tak berani melanjutkan kalimatnya. Lelaki yang berdiri gagah di depannya pasti sudah tahu arti gumamnya itu.

"Aku jadi takut untuk menanyakan sholat wajibmu". Suara itu terdengar lirih, kecewa. "Selesaikan dulu urusanmu dengan Allah, baru meminta jurus itu kepadaku. Tetapi ingat, segala penghambaanmu bukan karena jurus yang sangat kau tunggu itu". Terdengar ancaman dalam kalimat terakhir itu.

Bandung, 26 05 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment