Saturday, November 11, 2017

RISIKO KEHIDUPAN

"Tak ada yang gratis di jagat raya ini". Mona akhirnya mengomentari cerita Gadih. Kakaknya itu sedang menceritakan peristiwa di kantornya  sehubungan dengan Lebaran. Mereka berdua adalah pegawai senior dan sudah berada di level manajerial.  Keduanya seringkali harus berhadapan dengan makhluk membingungkan bernama hadiah Lebaran.

"Ya sih" Gadih menyetujui itu sambil tetap gundah. "Kadang pemberinya tidak kita ketahui. Hadiah itu datangnya melalui perantara dari pihak pemberi. Dia memberikannya pada perantara di kantor kami. Perantara itulah yang memberikannya ke stafku".  Gadih berhenti sebentar. "Ah...pusing!".

"Salah satu risiko jabatan adalah pemberian". Mona berhenti sebentar. Dia sibuk menguyah kastengel, kue kering rasa  keju favoritnya. Khusus dibawanya dari Jakarta. Kue itu tidak dibagikannya ke anggota keluarga lain. Sudah sejak tiba liburan di rumah orang tua mereka,  kue itu diletakkannya di meja kamar tidur dan dimakannya sendiri. Sekarang tinggal separuh isi toplesnya. "Termasuk si kastengel yummy ini". Mona memasang wajah desperate. "Enak dimakan dengan teh panas.  Pemberian stafku. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Hanya bisa bilang terima kasih". Mona menyeruput teh panasnya. Gadih akhirnya ikut mencopot kastengel itu.

"Yaa...ch, kacau. Kacau enaknya!" Gadih bergumam setelah menguyah satu kue. Kakak beradik itu terdiam memikirkan fenomena setiap Lebaran itu.

"Minggu terakhir Ramadhan, seorang pejabat yang kukenal mengirimkan voucher belanja sebuah supermarket. Stafnya menyerahkannya ke stafku. Nilainya kecil sih, kira kira cukup untuk belanja gula, minyak, tepung dan margarin masing masing sekilo. Tetapi itu tetap menganggu. Dalam arti, aku kan orang keuangan yang ikut memeriksa biaya yang dikeluarkan pejabat itu". Ini cerita berikutnya dari Gadih. "Dia bilang `Sekedar untuk membina silaturahim` ketika aku akhirnya menyampaikan terima kasih".

"Silaturahim, silaturahim apa? Koq banyak banget sih kasusnya. Dasar BUMN!" Mona mengejek budaya perusahaan tempat kakaknya bekerja. Namun Gadih yakin itu bukanlah ejekan untuk pribadinya. Keduanya punya prinsip yang sama dalam menerima pemberian.

"Aku pernah mendatangi orang yang memberi, langsung ke ruangannya. Dia mendatangkan utusan dan diterima oleh stafku."

"Lalu?" Mona mendelik, menyelidik, ke arah Gadih.

"Tidak berhasil. Dia menolak menerima kembali amplop yang kubawa. Pada Lebaran berikutnya, aku, lagi lagi didatangi utusannya. Langsung kutolak melalui utusan itu. Alhamdulillah si pemberi itu tidak marah. Kalau pun dia marah, apa peduliku ya?" Gadih nyengir. Sisa kastengel tampak di giginya yang berwarna ungu.

"Setahuku, KPK merilis tentang definisi gratifikasi. Yang tidak termasuk graritifikasi adalah pemberian dalam bentuk bukan uang dengan nilai maksimum Rp 300.000 per pemberian per orang. Amplop pernikahan atau hadiah atau tanda empati untuk peristiwa suka atau duka, maksimum bernilai Rp 1.000.000". Gadih berusaha mengingat paparan slide pada acara sosialisasi tentang korupsi, di kantornya beberapa  bulan lalu. Nara sumber acara itu adalah KPK. "Pemberian kecil kecil, kalau sering sering, ya repot juga". Gadih menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Eh, tentang tak ada yang gratis di muka bumi ini, aku teringat ungkapan itu terkait hubungan hamba dan Allah. Bahkan antara hamba dan Allah ada hitung hitungan. Kalau dikatakan kita tidak mengharapkan apa apa dari Allah, gak tepat juga. Bukankah kita mengaharapkan diperhatikan Allah, mengharapkan keridhoannya, mengharapkan reward tertinggi yaitu syurga. Allah sendiri sudah memakai istilah `perniagaan dengan Allah` artinya jika mau berniaga dengan Allah, ya turuti perintahnya. Dan itu belum tentu nyaman. Contohnya menolak pemberian yang tendensius. Risiko menolak itu ya bisa jadi diejek munafik, sok alim, apa lagi...".  Gadih menutup curhat menjelang maghrib itu. Adzan berkumandang dari surau di belakang rumah.

Bandung, 19 03 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment