Saturday, November 11, 2017

NASI PADANG di Ruang Rapat

"Maksi sudah siap". Salah seorang teman di grup kantor menulis. Maksi maksudnya makan siang. Lantas di-upload lah foto tumpukan kotak makanan.

"Wah nasi gudeg". Anggota lain menimpali.

"Di sebelahnya ada kotak putih". Sahut yang lain  lagi.

"Kotak putih, Padang ya?"

"Wuih hapal".

Topik makanan adalah salah satu yang sering dibahas di grup kami. Biasanya hal ini dibahas di jam makan siang atau pada waktu weekend. Gambar makanan lantas bersliweran di grup, seakan satu foto tak mau kalah dari foto lainnya.

Tidak hanya soal makanannya, Tempat makannya pun ada kalanya dibahas. "Di mana tempatnya?" tanya seorang teman. Jawabannya adalah foto nama restoran, cafe atau warung. Kalau tempat itu tak punya nama, ya tinggal disebutkan "di pojokan jalan A".

Tempat makan yang juga sering jadi pengiring pembicaraan adalah ruang rapat. Chat di awal cerita ini terjadi dalam rangka mengomentari sebuah rapat serius di Jakarta. Apa boleh buat, rapat yang menjemukan, hiburannya ada tiga, makanan yang enak, minuman teh atau kopi yang wangi,  serta foto-foto lucu yang menggambarkan mimik para peserta rapat.

Akan halnya nasi Padang, di rapat rapat tersebutlah dia memgalami sedikit degradasi.

"Weleh, Padang again".

Aku sendiri sebagai orang Minang, bisa memaklumi komentar tersebut. Nasi Padang menurutku memang lebih enak disajikan panas dengan lauk pauk berjejer di depan hidung. Atau dibungkus dengan daun pisang, lantas dimakan dengan tangan, bukan sendok garpu.

Di ruang rapat, nasi padang disajikan dengan kotak. Nasinya sudah tidak mengebulkan asap. Tidak ada wangi daun pisang pembungkus nasi. Lalu, ini yang paling mengganggu, yang tersedia adalah sendok plastik kecil, untuk menyuap. Suasana rapat kadang membuat orang enggan makan dengan tangan. Mungkin karena suasananya resmi dan waktu sudah di-set sehingga makan terkesan tergesa-gesa.

Coba bandingkan dengan postingan dari seorang anggota yang bekerja di Jakarta. Dia sering meng-share foto kepala kakap. Biasanya dia makan bersama teman segrup juga. Di mana dia menikmati itu? Di ruang kantornya. Suasananya santai.  Ini terlihat dari meja besar yang centang perenang dengan gelas, piring berisi kepala kakap, nasi bungkus yang sudah dibuka, kotak tisu dan asbak rokok. Selesai menikmati kepala kakap, temanku itu akan memuat foto sebuah piring yang penuh dengan tulang belulang sang kakap!

Hal lain yang membuat nasi Padang kurang diminati di rapat-rapat adalah karena peserta rapat umumnya berasal dari suku Sunda dan Jawa. Maklumlah, kami bekerja di kantor pusat yang nota bene berkedudukan di Bandung.

Demikianlah cerita tentang status nasi Padang di dua tempat berbeda.

Bandung, 07 09 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment