Saturday, November 11, 2017

BERJUANG = BAHAGIA

Dia kembali menyodorkan kertas kepadaku. Ini sudah kali ke tiga atau ke empat. Aku lupa persisnya.

"Maaf ya Mba bolak balik" Aku membaca kembali tulisan di kertas itu.

"He, he, nggak apa apa". Dia tersenyum lebar. Aku tangkap itu sebagai senyum sebenarnya.

Dalam waktu yang bersamaan aku telah menugaskan Mba Tris untuk membuat dua surat. Satu adalah asli hasil karyanya. Yang lain, adalah surat hasil copy paste yang dia harus mengeditnya.

Surat pertama merupakan surat teguran untuk sekitar 200 kantor, terkait pengawasan yang dilakukannya. Setelah dia melaksanakan pekerjaan supervisinya, adalah tahap yang wajar untuk memberikan teguran atau feedback kepada kantor-kantor yang diawasinya. Aku tahu, pekerjaan menulis surat adalah pekerjaan sulit bin sudah bagi sebagian besar orang Indonesia. Namun justru karena hal itulah maka aku menargetkan bahwa dia selayaknya mempunyai skill itu. Bukankah karirnya akan berkembang?

"Bagian pertama, tunjukkan dosa-dosa umumnya  yang dibuat kantor-kantor itu". Aku memberikan tips pertama. "Buat kalimat yang lugas, singkat, dengan content negatif". Aku menulis di  note-ku untuk menjadi perhatiannya.

"Bagian kedua isinya adalah yang seharusnya dilakukan berdasarkan SOP".

"Ya" Mba Tris menyimak dengan takzim.

Aku menuliskan huruf a, b, c, berderet ke bawah. "Instruksi, lebih mudah dipahami jika memakai kalimat positif, yg langsung diawali kata kerja. Lalu disusun berurut ke bawah sehingga menunjukkan urutan pekerjaan".

"Ya" katanya lagi.

 Aku menyerahkan kertas tulisanku. Sejujurnya kertas itu penuh coretanku yang aku sendiri sulit membacanya, karena aku menulis dengan cepat. Namun Mba Tris mengambil kertas itu dengan antusias. Aku bisa merasakan itu.

Entahlah aku termasuk atasan yang demanding atau santai. Besok aku sudah menanyakan tugas yang lain.

"Surat Keputusan pembentukan tim, sampai di mana progressnya?" Ini adalah tugas kepenulisan yang kedua. Surat ini lebih rendah tingkat kesulitannya  karena aku tidak memintanya untuk membuat surat, tetapi meng-copy surat lama, kemudian memeriksa contentnya.

Dia menyerahkan surat SK tim terlebih dahulu. Aku mulai memeriksa. Pada dasarnya tidak banyak yang aku koreksi  karena format surat itu sudah baku. Yang kucermati adalah daftar anggota tim dan jadwal kerja serta uraian kegiatan tim. Hasil coretanku langsung diperbaiki dan di-print lah surat yang baru.

"SK tim ini siap diserahkan ke Sekretariat, untuk ditandatangani Direktur Utama" kataku menyodorkan map yang berisi SK tim dan lembar pengantar SK tersebut. Mba Tris tersenyum lebar, berpikir satu tugasnya  sudah selesai.

Esok hari. "Bu, SK tim dikembalikan dari Sekretariat. Banyak coretannya". Mba Tris nyengir, sambil bingung. Aku melihat tulisan pakai pensil yang menyelip di banyak tempat di setiap halaman surat berisi empat halaman itu. Tulisan pensil itu bergaya miring dan kecil-kecil.

"Hhmm, coba diedit lagi" hanya itu komentarku dengan senyum. Seperti kukatakan, ini hanya masalah ketelitian redaksi, yang sudah dipandu oleh Sekretariat. Aku tak perlu terlibat banyak.

"Yang surat teguran, bagaimana?" Aku sudah meminta lagi, sebelum balik ke mejaku.

"Sebentar saya print" katanya. Tiga menit kemudian surat teguran terdiri atas dua lembar, sudah ada di mejaku. Aku membacanya sambil mencoret di sana sini. Kupakai tinta pink untuk memberi catatan. Gaya tulisan mba Tris adalah "bahasa lisan yang dituliskan" sehingga kesan formalnya hilang. Surat itu masih jauh dari kualitas  surat yang diterbitkan sebuah organisasi - yang kuartikan penting dan berwibawa -  yang akan ditandatangani atasanku.  Akibatnya tulisan pink-ku seperti mengalahkan huruf huruf hitam pada surat itu. Lengkap dengan beberapa anak panah menandakan `bagian ini pindah ke bagian itu`.

"Masih banyak catatan. Coba perbaiki lagi". Suaraku datar saja untuk menunjukkan kepadanya editing yang kulakukan adalah hal yang biasa.

"Ya", kata mba Tris, lagi-lagi dengan senyum. Dan lagi-lagi aku mengartikan senyum itu adalah senyum seorang pembelajar.

"Mba Tris, jadikanlah surat ini sebagai surat baku, sampai ke contentnya, sehingga siapa pun pengganti mba Tris nanti, bisa melanjutkan pekerjaan ini dengan mudah".

"Ya".

Baru satu kali editing. Itu terjadi pagi. Siang menjelang sore, dia sudah menyerahkan draft ke dua kali. Aku lagi-lagi memainkan spidol pink-ku. Masih ada yang perlu diperbaiki. Surat dengan coretan pink itu aku kembalikan. "Besok lagi" kataku, melihat jam. Aku punya pekerjaan lain dan aku juga perlu menagih pekerjaan lain mba Tris. Apa boleh aku agak mem-push-nya kali ini. Deadline-ku deadline-nya juga.

"SK tim?" tanyaku singkat sebelum dia berlalu dari mejaku.

"Masih ada koreksi, Bu, dari Sekretariat" katanya dengan senyum lebar.

"Dipercepat ya" surat ini memang prioritasku.

Esok harinya,  surat teguran menjalani editing ke tiga dariku. Masih ada kesalahan. Namun, dengan sekali koreksi, hari itu, surat itu akhirnya tayang juga melalui sebaran emailku ke 200 kantor.

"Bagaimana komentar mba Tris, dengan proses editing yang berulang-ulang ini?" Aku ingin tahu persepsinya tentang pekerjaan yang jelas melelahkan dan tidak menyenangkan - mengarang surat, kemudian disalahkan berkali-kali.

"Nggak apa apa. Saya jadi tahu caranya". Senyum lebar mba Tris mengembang. Selesai satu tugasnya di bidang kepenulisan. SK tim?

"Bu, Alhamdulillah, SK tim sudah ditandatangani Dirut" aku menerima kabar via WA keesokan lusanya ketika aku sedang di luar kantor. Mba Tris mengabariku, pertanda itu menjadi perhatiannya.

"Lulus dari Sekretariat". Mba Tris memakai kata "lulus", yang berarti "sesuatu" banget untuk dirinya.

"Kayak lolos dari ranjau ya" komentarku.

"Iya" ketiknya plus ikon tertawa.

Mungkin mba Tris belum sadar bahwa berpayah-payahnya menulis surat, kemudian berhasil mencapai output, merupakan prestasi tersendiri. Ada sensasi kepuasan setelah menyelesaikannya. Dia mungkin belum tahu bahwa berjuang, apa pun hasilnya, adalah sebuah kebahagiaan. Namun aku bertekad untuk mengujinya sekali lagi dan menyampaikan rumus kehidupan : berjuang = kebahagiaan.

Bandung, 6 Oktober 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment