Saturday, November 11, 2017

SANG KEKASIH

"Bagaimana dengan usaha Uni?" tanya seorang teman di grup sebelah. Itu adalah pertanyaan ke sekian setelah pertanyaan umum tentang diriku. Pasangan seperti apa yang aku inginkan.

"Saya sih, terbuka untuk berkenalan, dengan siapa saja" jawabku cepat.  "ng......kecuali baru baru ini, sebuah nomor kucatat, tidak untuk kuangkat, karena perbedaan yang terlalu jauh" jawabku, dalam hati. Ya, dalam hati saja.

"Sebenarnya Uni terima  saja tawaran si Bapak itu" kata adik dari sohibku yang tinggal si Bekasi. Mereka bertiga beradik kakak, perempuan semua. Di antara mereka bertiga, baru si kakak yang menikah, tahun lalu, dalam usia mendekati setengah abad, 47 tahun.  Tawaran yang dimaksud adalah poligami.

"Lisa, punya suami perlu, tetapi tidak perlu sampai harus memaksakan diri dalam sebuah pernikahan. Kalau memang harus bercerai, ya itu realita yang harus dihadapi. Jangan sampai menikah demi omongan orang, demi status". Teman kosku yang sudah punya dua anak dewasa muda, memberi wejangan. Dia melanjutkan "Satu lagi, ini pesan Mamaku, jangan merebut suami orang!" Aku mengangguk angguk saja, sambil menyuap makananku.

"Lisa, ini ada cerita, seorang dosen, tampaknya sudah professor, menikah dengan supirnya". Etekku, sudah memberikan wejangan melalui cerita ini, untuk yang ke sekian kali. Setiap aku pulang lebaran. Aku sudah bekerja 20 tahun. Berarti sebanyak itu kira kira dia menasehati dengan cerita itu. Aku biasanya diam saja, sambil tersenyum, mendengar cerita itu. Tak perlu didebat. Kalau sang professor cinta hampir mati pada sopirnya, baiknya menikah saja.

Sms Mak Tuo "Mak Tuo kasih nomor Lisa ke dia. Jadi silakan berkenalan. Orangnya gagah, usia 40an. Terakhir dia jadi sopir. Tetapi induk semangnya pindah, jadinya dia berusaha bekerja mandiri. Masih bujangan dia. Pesan Mak Tuo, jangan remehkan orang lain".

Aku membaca sms itu berulang ulang. Di mana lah inti pesannya? Setelah merenung, aku berkesimpulan, kalimat motivasi yang disampaikan lewat sms itu adalah : jangan meremehkan orang lain. Sedemikiankah diriku ini?

"Lisa, kalau nyari suami, pertimbangkan umurnya. Jangan yang lebih muda dari Lisa. Kalau Lisa sudah `tidak mampu`, gimana? Dia akan mencari yang baru." Seorang Etek di kampung memberiku nasehat sambil melihat khawatir kepadaku.  Ketika itu aku sedang cuti panjang di rumah gadang.

"Lisa, soal umur itu gak jadi masalah. Coba lihat si Anu di kantor. Usianya 40an, suaminya 20an. Teknologi sudah maju. Jangan khawatir soal menopause".  Terapi hormon tampaknya yang ada di kepala teman kosku yang juga menasehati "jangan merebut suami orang". Mengapa harus kugadaikan tubuhku pada obat biang kanker itu?

"Kalau kita sudah berumur segini, ya jangan pilih pilih" si ibu mak comblang to the point. Dia tampak menelitiku. Aku tersenyum. Ini tetangga Etek yang memberi wejangan tentang ibu professor.

"Lisa, kita nggak usah ke dia lagi" Etek tampak kesal dengan kalimat si Mak Comblang tadi. Kasihan Etek, dikasih kalimat "Jangan pilih pilih". Untungnya aku sudah biasa dengan kalimat itu.

"Lisa, yang penting dia sholat. Nah cara ngetesnya begini. Ajak dia pergi, dari rumah, mendekati waktu sholat. Atau pergi jalan jalan dengan dia, melewati waktu sholat. Lihat reaksinya." Lagi lagi aku manggut manggut. Tetapi terselip bantahan di hatiku: koruptor juga sholat.

"Lisa, yang penting, dia Islam". Ini nasehat dari Papa. Lagi lagi, aku bisa saja mendebat Papa, tetapi itu tak perlu. Kami berada pada mainstream yang berbeda dalam soal ini.

Wahai Sang Maha Kekasih, wahai Sang Pembolak Balik Hati, bukakan hatiku untuk seorang kekasih pilihan Engkau. Untuk perasaan yang menggelayut ini, bolehkah aku meminta wahai Allah? Hilangkan perasaan ini, karena aku tak pernah menindaklanjutinya, tidak juga dia. Titip salamku untuk dia, seorang laki laki yang baik, juga seorang suami yang baik.

Bandung, 22 11 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment