Saturday, November 11, 2017

DASTER Bukan

"Mba, ada daster katun?" Itulah tujuanku jalan - jalan ke  PGS (Pusat Grosir Solo).

"Gak ada Bu" otomatis jawaban penjaga toko.

"Ha?" Aku celingukan di dalam sebuah toko yang cukup besar. "Lha, ini apa?"

"Oo, ini daster bahan santung" kata penjaga toko sambil berusaha mengeluarkan daster itu dari tempat gantungannya.

"Ini bukannya disebut bahan katun?"

"Bukan, ini bahan santung"

Aku agak merasa aneh menghadapi dua  istilah itu, katun dan santung. Bagiku bahan  lemas dan cepat bolong tetaplah bahannya kapas alias katun.

"Ibu ingin yang seperti apa?" Mba penjaga melihat kebingunganku.

"Saya ingin daster yang bahannya agak tebal, dan tidak begitu lemas seperti bahan santung ini" Aku memegang daster yang disodorkannya. "Soalnya bahan ini cepat bolongnya Mba".

"Oo, itu namanya bahan katun". Aku mengangguk-angguk. "Coba Ibu cari di toko yang di sana" tangannya menunjuk  mengarah ke toko-toko agak ke dalam. Aku menurut.

Akhirnya kutemukan juga yang kuinginkan. Daster itu berbahan agak tebal tetapi tidak kaku. Model yang ada hanya berlengan buntung alias model "you can see". Yang aku suka, walau "you can see my arms" modelnya bukanlah seperti tank top. Potongan di bahunya, lebar. Kupikir daster itu tetap bisa kupakai sebagai baju luar dengan memakai baju kaos sebagai baju dalam. Penjual di Pasar Baru Bandung menyebutnya manset (istilah yang aku juga bingung. Bagiku manset adalah ujung lengan kemeja atau blouse yang dibuat dengan tujuan untuk memudahkan menyingsingkan lengan baju). Ada lagi yang unik dari daster yang akhirnya kubeli. Potongan badannya model klok yang lebar dan cukup panjang, hingga ke lutut.  Potongan klok itu mulai dari dada. Di dada terdapat sambungan jahitan dengan sedikit lipit di muka dan belakang. Motifnya bunga besar ditata di sekeliling bawah klok. Secara umum baju itu berwarna campuran coklat dan kopi susu. Model dan motifnya mengesankan keceriaan.

Aku mencoba memakai sang daster. Berhubung tak ada kamar pas maka aku pakai saja dia di atas baju yang kupakai.

"Nah, papi bisa nggak keluar rumah, kalau Ibu pakai baju ini", kata Mba penjual dengan teesenyum manis.

Aku tergelak mendengar komentarnya, sambil terkejut melihat pantulanku di cermin.

Karena inginnya memakai baju itu sementara jilbab yang kubawa ke Solo tidak ada yang cocok, maka sesion berikutnya adalah mencari jilbab untuk daster itu. Alhamdulillah aku menemukan jilbab polos berwarna krem.

Ketika pulang ke Bandung aku memakai daster itu, dengan cardigan hitam  untuk menutup lenganku dan rok hitam model A.

"Iiiiiii...Ibu seperti abg, memakai baju itu" kata teman kerjaku begitu melihat aku keluar kamar mandi dengan daster itu.

"Haha... mungkin karena model kloknya dan motif bunganya" kataku sumringah.
Alhamdulillah aku sangat menyukai baju dasterku. Eh, tampaknya dia sudah tidak pantas disebut daster.

Bandung, 07 08 2016.
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment