Saturday, November 11, 2017

PROFESIONALISME JENIS BARU

"Jika profesionalisme harus diajarkan dan diingatkan oleh seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya, bagaimana dengan akhlak? Mestinya keharusan mengingatkan hal ini menjadi lebih utama". Itulah kalimat pamungkas dari diskusi antara Arum dengan sohibnya, Anti, pagi ini.

Suami Anti seorang kepala cabang sebuah BUMN ternama. Sebagai seorang pemimpin di kantor cabang tersebut, tugasnya tentulah tak sederhana. Di samping mencapai target dari skala ekonomi, target lain yaitu kualitas manusia, tak kalah sulitnya untuk dicapai. Seorang pemimpin -entah di organisasi  mana pun - harus mengajarkan, mencontohkan, juga mengingatkan profesionalisme kerja kepada para karyawannya. Namun dalam diskusi suami istri tersebut mencuat "profesionalisme" jenis lain.

"Kalau karyawati memakai rok mini, super ketat pula, atau memakai baju dengan potongan  leher rendah, siapa yang mengingatkan?" Anti beretorika  dan dijawab sendiri dalam diskusi tadi pagi. "Ya harus pemimpin".

"Betapa beratnya ya jadi pemimpin". Arum jadi terhenyak. Dia adalah kepala bagian di kantornya. "Anti, aku jadi kepikiran".

"Suamiku bernah bercerita. Ya, tentang pakaian seperti itu. Cara mengingatkannya dengan mengatakan bahwa perusahaan mempunyai aturan tersendiri terkait cara berpakaian. Jadi dia tidak bisa secara terus terang mengkritisi bahwa cara berpakaian tersebut kurang sopan terlebih dilihat dari syariat Islam. Padahal seharusnya yang perlu disampaikan adalah bahwa model pakaian itu melanggar aturan Allah. Bukan sekedar aturan kantor".

Arum jadi ingat dengan sebuah fenomena di dunia kerja, termasuk di perusahaan tempatnya bekerja. Ada kecenderungan untuk menilai seorang karyawan hanya dari kemampuan kerjanya, atau profesionalismenya. Seakan akan karyawan itu adalah robot tanpa nilai.

"Itu kan kehidupan pribadinya. Jangan dibawa ke dunia kerja" Arum ingat komentar seorang rekan kerja tentang seorang karyawan yang digosipkan suka dengan kehidupan malam. "Yang penting kan pekerjaannya". Padahal demi hobinya akan dunia gemerlap tersebut, si pegawai rela mati gaya dengan cara mencuri curi memakai mobil kantor.

Arum tak habis pikir. Sampai sedemikian tinggikah arti profesionalisme dan kemampuan kerja  sehingga  aspek moral terabaikan? Bukankah etika dan moral dapat berpengaruh pada profesionalisme? Memakai fasilitas kantor  untuk kepentingan pribadi,  jelas jelas tidak profesional. Bukankah itu berarti orang tersebut tidak paham akan peran dan fungsinya. Pada akhirnya perusahaan juga yang akan dirugikan.

Bincang pagi tadi akhirnya ditutup dengan pemahaman yang sama bahwa fungsi utama pemimpin adalah mengajak kepada takwa. Inilah sebuah profesionalisme jenis baru yang wajib diajarkan pemimpin kepada orang orang yang dipimpinnya.

Bandung, 30 03 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment