Saturday, November 11, 2017

JAS HUJAN SARUNG

"Uum mau makan apa?". Seperti biasa, ini adalah kalimat standar, tiga kali sehari yang kuajukan kepada Uum.  Sejujurnya, Uum dan aku tahu bahwa pertanyaan itu lebih banyak tak perlunya. Diajukan sekali sehari atau dua kali sehari, pertanyaan itu tetaplah membingungkan, bagi diriku dan bagi Uum. Kemo dan kondisi psikisnya, membuat Uum lebih suka makan mangga muda dan sirup perasan jeruk nipis ketimbang makan lauk pauk enak ukuran orang sehat.

Aku menunggu dengan sabar jawabannya sambil memandang cairan infus yang menetes. Di ujung selang infus adalah jarum yang menancap di punggung tangan Uum. Dari sanalah sebagian makanan Uum berasal.  Pandanganku beralih ke wajah adikku sayang. Aku merasa bersalah sudah mengajukan pertanyaan berat itu. Wajahnya layu tetapi tampak sedang berpikir keras.

"Ita tahu rumah makan yang dekat jembatan, menjelang Pasar Alai?". Uum tiba tiba berbicara lirih. "Ada dua restoran, berdekatan. Di restoran yang kedua itu ada gulai limpa enak. Uum ingin itu. Pesan untuk Ita juga ya".

Akhirnya pertanyaanku berjawab sudah. Lengkap dengan instruksi agar aku juga mencoba masakan itu. Dia tak lupa aku.

"Ita pergi dulu ya". Aku pamit. Pandangannya mengiringiku keluar kamar rawat itu. Aku bersemangat untuk membelikan nasi berlauk limpa itu - lauk yang jarang kudengar. Bukan karena ingin mencicipinya tetapi karena adikku sayang hari ini mau makan besar!

"Cepat ya. Jangan lama lama", seperti biasa perintahnya kepadaku jika aku harus meninggalkannya.

Kalau cepat, ya harus pakai ojek. Gerimis di luar. Aku tak berpikir harus menyimpan payung di kamar rawat Uum. Apalagi harus menyimpan jas hujan. Tanpa berpikir panjang, aku ambil sarung sholatku yang tersampir di jemuran handuk di sudut kamar.

"Ojek!" aku melambaikan tangan sambil mendekati seorang tukang ojek yang sedang duduk di bawah pohon di seberang rumah sakit. Sarung kulipat dua lalu kututupkan ke kepala dan punggungku. Tukang ojek bersiap dengan jas hujannya. Gerimis tak menunjukkan tanda akan reda.

"Rumah makan Talago Surya di Alai".

Tukang ojek mulai menjalankan motornya. Gerimis menerpa wajahku yang menimbulkan rasa agak pedih di wajahku. Tetapi aku tak peduli, malah bersemangat menantangnya. Terbayang wajah Uum yang akan makan dengan lahap nasi Padang  berlauk limpa, kesukaannya. Hhmm, hari ini adikku mau makan.

Tukang ojek menungguku memesan makanan. Tak ada antri yang berarti sehingga kurang dari sepuluh menit aku sudah naik motor ojek lagi. Kukepit tas tangan yang berisi dua bungkus nasi panas. Aku ingin melindungi hangatnya dari gerimis yang semakin deras. Nasi hangat untuk adikku sayang. Kembali mukaku diterpa gerimis, yang selama perjalanan pulang berubah menjadi hujan.

"Langsung ke depan lobi" kataku berteriak pada si tukang ojek.

Akhirnya aku berada di keteduhan drop off area. Entah bagaimana tampilanku di mata pengunjung rumah sakit. Jas hujan, sarung maksudku, sudah sempurna basah. Rok dan sebagian bajuku juga begitu. Aku langsung bergegas menaiki tangga menuju lantai tiga. Dengan sumringah kumasuki kamar rawat Uum.

"Ada, Ita, limpa?", suara dan wajah yang menyambutku tak kalah ceria.

Sarung yang basah kuletakkan sembarangan di jemuran handuk. Tak kupedulikan bajuku yang basah, aku ambil piring dari meja kecil di sebelah Uum.

"Ita basah kehujanan ya". Perhatian kecil untukku.

Aku buka bungkusan nasi di atas kasur, di depan Uum. Dia memperhatikan dengan seksama. Bau harum makanan menyeruak di antara kami. Uum menegakkan duduknya tanda dia berminat.

"Hayo kita makan, Ita".

"Uum makan dulu. Ita mau mengganti baju".

Bajuku yang basah kujemur bersebelahan dengan sarung yang juga basah.

Bandung, 29 11 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment