Saturday, November 11, 2017

PAYUNG FANTASI

Payung fantasi adalah ... (titik titik bla bla bla). Sejujurnya aku tidak tahu apa itu payung fantasi. Aku coba membayangkannya. Apakah payung fantasi fungsinya sama dengan sapu lidi nenek sihir atau baling-baling bambu Dora Emon? Artinya payung itu adanya memang hanya di dunia khayal, yaitu payung yang bisa terbang. Atau itu adalah payung milik James Bond. Lagi-lagi ini payung - yang pada dasarnya adalah pistol- hanya ada di film.

Dalam kegalauanku mencari makna payung fantasi, sampailah aku ke masa kecilku. Sekarang aku bisa memaknai apa itu payung fantasi.

Ketika masih di kelas-kelas awal SD, aku sudah dibelikan payung. Payungku berwarna coklat. Ukurannya cukup untukku yang masih kecil. Hiasannya, unik yaitu berupa lukisan cat minyak berbentuk bunga, yang dibuat betumpuk di tiga atau empat tempat.  Jadi motifnya seperti bunga ceplok. Hal lain yang membuatnya lain dari pada payung biasa adalah rangkanya yang terbuat dari kayu dan bambu. Akhirnya, yang paling spesial dari payungku ini adalah bahwa dia terbuat dari bahan kertas tebal berwarna coklat.

Aku sangat menyukai payungku sehingga aku sering mengepitnya di ketiak, membawanya ke banyak kegiatanku.  Tetapi berhubung konstruksinya tidak bisa dilipat maka aku lebih banyak membawanya ketika bermain, bukan untuk ke sekolah.

 Payungku kufungsikan secara maksimal. Aku paling sering membawanya berpanas ria. Membentangkannya begitu keluar dari teras rumah, seperti mempunyai kebanggaan tersendiri. Maklumlah hanya aku yang punya di antara anggota gank bermainku.

Aku yakin sekali bahwa payung coklatku akan setangguh payung milik orang lain umumnya. Sehingga sampailah suatu hari, hujan dengan lebatnya membuyarkan permainan kami. Dengan sigap kami menepi di sebuah teritis rumah. Kami terpana menyadari bahwa hujan seperti air tumpah dari langit, ditingkah kilat yang menyilaukan mata dan suara gemuruh yang memekakkan telinga.

"Kapan kita pulang Menik?" Putri mulai gemeretak giginya. Entah karena kedinginan karena tampias hujan, entah karena ketakutan. "Hayo kita pulang sekarang". Dia mulai menggamit tanganku. "Pakai payungmu, kita bisa berdua pulang bersama".

Sudah cukup lama kami berteduh. Tetapi tak ada tanda tumpahan air dari langit akan berhenti. Sekarang bunyi jenis baru, menambah ciut Putri. Deru angin. Tangan Putri menggenggam tanganku. Sejujurnya aku juga merasa kecut. Air di kaki mulai naik mencapai mata kaki. Aku akhirnya membuka payung kebanggaanku.

Berdua kamI menantang badai, meninggalkan dua teman lain yang  bingung harus bagaimana. Payungku kecil, dimuati oleh dua anak walaupun sama kecil, tetap tak memadai. Baru berjalan beberapa langkah, kami berdua sudah kedinginan terkena air hujan menimpa punggung. Derasnya hujan terasa semakin menjadi. Kilat, koq malah seperti berada di atas kepala. Tiba-tiba Putri memekik. Guntur benar benar membuat jantung kami terloncat. Kami semakin mempercepat langkah. Sekarang angin seperti memperberat payung. Tiba tiba payung yang kami pegang erat berdua, kuncup. Bukan ke bawah tetapi ke atas! Yang lebih mengenaskan kertas sang payung sekarang sobek dan ada yang lepas dari rangkanya. Dengan kondisi payung seperti itu kami tetap berpegangan erat pada tangkai payung. Entah apa maksudnya. Setelah setengah berlari akhirnya kami sampai di teras rumahku.

Di depan pintu sudah berdiri Ayah dan Bunda dengan wajah berlipat. "Hayo cepat mandi". Bunda langsung mengeluarkan perintah. "Putri juga. Pakai saja baju Menik".

"Bunda, payung Menik". Aku meletakkan payungku di lantai. Bentuknya sekarang lebih tepat seperti sampah potongan pohon kering.  Kutatap payung kebanggaanku itu dengan sendu.

"Payung! Payung, yang dipikirkan. Bunda sudah bilang. Kalau bermain jangan jauh-jauh!" Ayah hanya mendengar omelan Bunda. Tampaknya mereka berdua kompak kali ini soal memarahiku.

Aku semakin sedih dimarahi. Bunda bukannya memikirkan payungku, malah memarahiku.

Bandung, 28 04 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment