Saturday, November 11, 2017

MENCARI KERJA

"Ibu bekerja di mana" adalah pertanyaan baku yang aku terima selama mencari rumah, dua bulan terakhir.  Tetapi seorang ibu pemilik rumah yang aku lihat rumahnya,  mengajukan pertanyaan unik " Bekerja atau berwiraswasta?". Aku salut dengan pertanyaan itu.

Mencari kerja vs menciptakan lapangan kerja, itulah isi utama tulisanku kali ini. Mari kita lihat analisis sederhana tentang kedua mainstream kegiatan mencari nafkah ini.

Ada korelasi positif antara tingkat entrepreneur dengan kemajuan ekonomi sebuah negara. Indonesia, jumlah wirausahawannya baru 1,65 persen dari total penduduk. Sementara Malaysia, Thailand dan Singapura, sudah mencapai 4 persen. Faktanya perekonomian ketiga negara tersebut memang lebih baik daripada perekonomian Indonesia. Di peringkat teratas dunia, terdapat Amerika Serikat yang entrepreneurnya  sebagian besar berasal dari bidang teknologi dari daerah Silikon Valley. Sebagian besar dari para wirausahawan itu berasal dari sekolah bisnis terkemuka di negeri Paman Sam itu. Jepang dan Korea Selatan juga termasuk dalam peringkat atas persentase wirausahawannya. Beberapa brand dunia berasal dari kedua negara tersebut.

Mengapa satu negara berbeda dengan negara lain soal persentase wirausahawan ini? Aku berusaha melakukan penelitian kecil-kecilan dan sampai pada satu kesimpulan bahwa budaya merupakan faktor utama. Di Indonesia, mungkin karena bekas jajahan, maka mencari kerja, jadi pegawai, merupakan perjuangan utama setiap orang yang lulus kuliah. Sangat jarang di antara mereka atau orang tua mereka yang menginginkan membuka usaha, menciptakan lapangan kerja. Menjadi pegawai, terutama pegawai pemerintah, dianggap lebih bergengsi karena adanya kehidupan yang nyaris nyaman sepanjang hayat.

Menjadi pegawai, jelas tingkat stressnya lebih rendah daripada menjadi pengusaha. Seorang pengusaha harus memikirkan desain produk, cara menjual, mencari dana, menghitung keuangan, bahkan memikirkan mafia ini itu. Sementara seorang pegawai relatif lebih fokus pada "diri sendiri" : menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Beberapa malah tidak perlu repot dengan tenggat pekerjaan, namun dengan karir yang lancar.

Apabila digali lebih dalam, maka cara berpikir tersebut disebabkan oleh daya juang yang rendah. Ada argumen yang menyatakan bahwa struggling-nya orang Melayu berada di bawah daya juang etnik yang bermata sipit. Coba perhatikan bahwa di tiga negara Asia di atas, etnik Cina, memang lebih mendominasi, ketimbang jumlahnya di Indonesia.

Lantas bagaimanalah negara awak yang sudah banyak "terlanjur" ini? Aku lihat, mulainya harus dari generasi seusiaku. Generasi yang saat ini mempunyai anak usia sekolah. Tuntutan orang tua, itulah yang akan membentuk cara berpikir anak. Beranikah orang tua seusiaku untuk mengatakan kepada anaknya yang sedang kuliah " Gimana kalo kamu bikin usaha?" Sanggupkah para orang tua bersabar melihat anaknya jatuh bangun memulai usaha, beberapa bahkan menghabiskan dana orang tua? Bisakah para orang tua menjadi teman kala sang anak sedang sangat down?

Para orang tua dapat memotivasi diri sendiri dan anak dengan teori motivasi yang diajarkan Rasulullah.  Dalam Islam, pekerjaan menjadi pedagang, ternyata mendapat nilai lebih di mata Allah. Hal ini disampaikan Rasulullah bahwa "Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada dalam perdagangan". Lantas berdasarkan sejarah, sebagian besar Nabi adalah pedagang. Mungkinkah karena tingkat stress yang tinggi itu lantas Allah memberi nilai khusus pada entrepreneur?

Bandung, 3 Oktober 2015
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment