Saturday, November 11, 2017

SOP KONRO SAUNA

"O, itu namanya sop konro?" Aku mengangkat asli. Baru aku tahu bahwa yang kumakan tadi malam berjudul sop konro.

"Jadi, es pisang hijau sudah, ikan bakar juga sudah. Lantas telur ikan.  Nah sekarang kita makan coto Makassar". Begitulah Pak Adi, pendamping tim kami selama di Makassar, menerangkan kepadaku wisata kuliner yang sudah kami nikmati. Makanan khas Makassar, yang kumakan sebelum kembali ke Bandung adalah coto Makassar. Kami memakannya di Bandara, menjelang kami boarding.

Pengalaman makan sop konro, benar-benar berkesan bagiku. Penuh perjuangan, yang tidak sebanding dengan  hasil yang kudapat. Tetapi demikianlah rejekiku.

Perjalanan menuju tempat makan, cukup jauh untuk ukuran Makassar. Lokasinya dekat Port Makassar. Menjelang ke daerah pelabuhan itu aku melihat pabrik pengolahan tepung terigu. Lalu, untuk ke sana kami lewat jalan toll. Rasanya seperti pergi ke luar kota.

Sampai di depan restoran, meruaklah bau daging dibakar. Begitu masuk pintu utama, aku mendapati bahwa ruangan itu penuh asap. Ruangan seukuran dua ruko itu, dimuati meja dan kursi yang sudah diduduki pengunjung.

Pemandu kami langsung mengarahkan kaki ke lantai dua. Sesampai di lantai dua, kami tidak bisa langsung duduk. Penuhnya sama dengan lantai satu. Alhamdulillah, serombongan pengunjung yang paling dekat dengan tempat kami berdiri, tiba tiba bangkit dari duduk.  Duduklah kami di meja yang masih dipenuhi tulang belulang.

Meja itu tidak segera dibersihkan. Kami harus maklum. Beberapa pelayan mondar mandir dengan berjalan cepat.  Ada yang mencatat order, membawa minuman, membawa nasi saja, membawa mangkuk berkuah mengepul. Ada juga yang membawa piring makan penuh berisi tulang iga. Sesekali terdengar teriakan di antara pelayan.

"Tampaknya harus minum dulu" kataku sambil nyengir kepada pendamping kami. Aku mulai mengibas-ngibaskan jilbabku. Alhamdulillah, lewatlah seorang  pelayan dan kami meminta minuman terlebih dahulu. Tulang belulang yang masih ada di meja kami, tidak menjadi perhatian kami. Kami semua memesan minuman dingin.

Rasanya lama sekali datangnya air minum kemasan yang kupesan. Aku mengitarkan pandang. Di ruangan itu ada empat ac, yang semuanya mati. Ada empat kipas angin yang menderu kencang. Ruangan itu berjendela lebar, sampai ke lantai,  dengan model rangka aluminium. Di antara petak petak rangka yang banyak,  hanya ada empat daun jendela yang terbuka. Salah satu jendela, agar terbuka lebih lebar, diganjal dengan botol bekas air minum. Ada lebih dari lima exhaust fan di langit-langit ruangan. Entah, berfungsi entah tidak. Asap di sini justru lebih pekat, dengan bau daging bakar lebih kentara. Kupikir, suasanya hampir mendekati tempat sauna.

Air minumku akhirnya datang juga. Tak sampai tiga menit, air itu kutenggak habis. Teman lain, ya, sama saja denganku. Malah ada yang minta tambah minum.

Sambil menunggu, kami bicara ngalor ngidul.

"Masih ada yang berdiri menunggu tempat duduk". Temanku Agus tersenyum lucu sambil mengelap keningnya yang dipenuhi bulir-bulir keringat. Bagian dada bajunya sudah basah.

"Apa kelebihan restoran ini, Pak? tanyaku pada Pak Adi yang bertanggung jawab membawa kami ke tempat "sauna" ini.

"Ibu coba nanti ya, makanannya", katanya sumringah dengan logat Makassar.

Meja kami akhirnya dibersihkan. Alhamdulillah. Hhmm... pengunjung di meja di belakang kami juga sedang menunggu. Semua dengan wajah sabar, sambil bercengkerama. Kami berusaha membunuh waktu menunggu dengan topik pembicaraan seputar masakan. Gulai dan sate kambing, sate Padang, adalah di antara yang kamI bicarakan. Termasuk yang menjadi bahan pembicaraan adalah trik trik untuk mengakali loncatan sang kolesterol, setelah makan sop iga nanti.

Akhirnya mangkok berisi kuah, disajikan. Lantas menyusul piring makan berisi tulang iga bakar. Barulah kemudian nasi tersaji. Kecuali aku, teman-teman memesan iga bakar. Aku, memilih iga rebus, dengan pertimbangan, iga rebus lebih lembut.

Makanan di depan hidungku ini, tadi tampak mengepul, ketika masih di nampan pelayan. Tetapi sekarang, kurasakan, hangat saja. Tampaknya mataku dikaburkan oleh asap "sauna" ruangan ini.

Teman-temanku tampak menikmati iga bakarnya. Semuanya memghabiskan daging - ya benar benar daging - yang menempel pada tulang iga. Tulang itu sampai bersih tak menyisakan daging.

Sementara itu aku berkutat dengan tulang iga rebus pesananku. Untunglah sendok yang disediakan restoran itu adalah sendok "beneran", sehingga sendok itu tidak patah ketika aku berjuang keras memisahkan daging -lebih tepatnya urat - dari tulang iga di piringku. Alhamdulillah tidak ada tulang yang meloncat dari piringku ketika aku sedang beraksi.

Aku paling cepat menyelesaikan makan. Tak ada lagi yang bisa "kuperjuangkan". Sebagian besar urat yang menempel pada tulang iga di piringku, akhirnya harus kurelakan kusedekahkan untuk bakteri di luar ususku. Demikianlah rejekiku tadi malam, sop konro di restoran "sauna" style.

Makassar, 13 05 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment