Saturday, November 11, 2017

SU`UDZON ALA AUSTRALIA

"Would you please open your bag", pinta kasir supermarket kepadaku. Aku dengan senyum memperlihatkan buku buku dalam tas ranselku.

"OK", katanya dengan mimik robot. Aku memasang kembali ritsleting backpack-ku, membayar belanjaan, mengangkat kantong belanjaan, kemudian melenggang pergi.

Menjadi objek inspeksi itu terjadi sejak awal aku tinggal di Melbourne. Tetapi itu hanya terjadi di supermaket di area kampusku. Kemana lagi aku akan berbelanja harian kalau bukan ke supermarket terdekat, demi menghemat waktuku.

Pada mulanya aku merasa diperiksa itu adalah hal yang biasa sebagaimana aku harus memasuki mall atau kantor megah di Jakarta. Sampai kemudian soal membuka tas itu menjadi gossip di kalangan kami mahasiswa muslim Indonesia.

"Kalau ke Coles kampus, sering diperiksa nggak, tas yang dibawa?" tanya Ani.

"Hampir selalu", jawabku enteng, tidak menganggap itu masalah.

"Mba Lisa coba perhatikan deh. Kalo bule, hampir selalu dibiarkan saja lewat tanpa diperiksa", Wida nimbrung dalam chit chat kami, sambil makan di ruang makan kampus.

"Iya Mba." Ani menambahi. "Aku sih nggak masalah diperiksa. Tetapi suatu hari aku sadar, bule-bule atau cewek- cewek chinese, bisa lewat kasir tanpa diperiksa. Aku koq jadi menghubung hubungkan ini dengan jilbab kita ya?" Kami bertiga saling pandang, serius.

Ketika akan berangkat ke Australia, dalam kelas persiapan bahasa Inggris, salah satu guru kami meyakinkan kami bahwa "You will be OK with your hijab". Bagi kami, muslimah berjilbab, kalimat itu cukup menyokong ketenangan kami dalam belajar. Masa iya sih, pemerintah Australia yang menawarkan beasiswa untuk ratusan Indonesians setiap tahunnya, berani mengambil risiko rusaknya hubungan diplomatik gara-gara jilbab.

Namun, beberapa peristiwa tak nyaman memang terjadi. Salah satu sohibku, berjilbab, dipukul seorang laki laki Ozzi ketika sedang berjalan kaki ke kampus. Konflik itu akhirnya diselesaikan dengan didiamkan, walau kami mahasiswa Indonesia di Monash Uni, sudah melaporkan itu secara resmi ke Konsulat Indonesia.

Di kelas, seorang dosenku pernah berkomentar di depan kelas sebelum ujian, "If you cannot answer the questions, you can ask your God". Ada yang mewakili nuansa kata "God" di kelas itu, secara terang benderang. Siapa lagi kalau bukan aku, sebagai satu satunya siswi yang berhijab di kelas itu.

Lain kelas, seorang dosen menerangkan tentang aspek sosial politik dalam bisnis bahwa "People can kill each other because of their religion". Lagi lagi aku merasa dia menujukan kalimat itu kepada kami, muslim di kelas itu.

"Mba Lisa dengar nggak apa yang si Rudy sampaikan tadi?Tentang religion?" Aku mengangguk lesu, sedih dan jengkel. Professor, yang wawasannya sudah luas sekalipun, seperti itu prasangkanya terhadap Islam yang nota bene dalam kelas MBA itu diwakili secara kasat mata oleh diriku dan Ani.

Namun demikian ada yang menarik ketika terjadi bom Kuningan 2004. Ketika itu aku baru tahun pertama di Melbourne. Keesokan hari setelah bom kuningan berdentum, Direktur Monash Uni langsung membuat edaran via email ke seluruh mahasiswa Indonesia yang sekolah di Monash, bahwa kami berada dalam lingkungan yang aman. Tidak perlu merasa khawatir dengan keamanan mahasiswa Indonesia di kampus Monash. Usut punya usut ternyata ada beberapa orang mahasiswa Indonesia yang tidak berani ke kampus setelah peristiwa bom itu.

Demikianlah sekelumit pengalamanku berhadapan dengan prasangka atau su`udzon Australia terhadap Islam. Semoga keberadaan kami para muslimah berhijab di kelas-kelas universitas dunia, di mana saja di muka bumi Allah ini, bisa menjadi secercah dakwah atau syiar Islam. Aamiin.

Bandung, 13 01 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment