Saturday, November 11, 2017

ITU ITU SAJA

Terima kasih kepada temanku Ade di grup Menulis Untuk Ibadah yang sudah menulis istilah "itu itu saja" di akhir tulisannya. Dari istilah itulah tulisanku ini lahir.

Baru satu jam yang lalu aku menerima tamu. Hampir di akhir pertemuan dia berkomentar "Sepi aja Bu, rumah?"

Jawabku cepat "Ya".

Tamuku itu sedang mengikat kursi ke atas jok sepeda motonya. Lebih tepatnya ini kursi rusak terbuat dari rangka besi yang bersandar dan berjok anyaman rotan. Bos sang tamu dan aku sudah `deal` bahwa kursi rongsokan itu akan dijemput malam ini untuk diperbaiki. Aku hanya ada di rumah setelah maghrib ketika hari kerja. Jadilah tamuku datang di malam hari dan dia menangkap suasana sepi rumahku.

Baru seminggu menghuni rumah ini, aku sudah agak merasa aneh dengan pertanyaan penjual air galon sekaligus penjual gas. Ketika dia masuk ke ruang dalam untuk memeriksa tabung gas yang kurasa agak bermasalah, dia sempat mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dan kemudian berkata "Keluarga di mana Bu".

Dengan cepat kujawab "Di Padang".

Hari Sabtu weekend kemarin, emak emak yang menyiangi rumput di halaman rumah, yang bahasanya bercampur Sunda dan Indonesia, bertanya "Nyalira, Neng?" (aku masing dipanggil `neng`, perasaanku ge er, masih muda ternyata aku).

Aku jawab "Ya", bukan "Nuhun".

Sehari dua hari tinggal di rumah ini, aku mulailah berkenalan dengan tetangga dan satpam. Akhirnya aku mulai  berhitung siapa saja yang tahu bahwa aku tinggal sendiri. Lebih tepatnya hidup sendiri. Dua tetangga kiri, dua di depanku, sudah sepatutnya tahu aku tinggal sendiri. Sekali lagi, lebih tepatnya "single". Akhirnya ibu ibu se-RT tahu bahwa aku, lagi lagi single. Kemudian beberapa orang satpam yang mengawasi keamanan komplek tempat tinggal kami. Bagiku memberi tahu mereka bahwa aku tinggal sendiri, juga (lagi lagi) single, adalah upaya untuk meminta penjagaan ekstra dari lingkungan terdekat. Aku lebih melihat "pengumuman" ini dari aspek keamanan.

Namun, orang orang selain itu, menurutku sebaiknya tidak tahu. Pemikiranku ini membuat aku memutar otak tentang kebutuhanku akan ojek. Beberapa kali terjadi, tukang ojek otomatis berhenti di depan rumahku tanpa kuberi tahu harus berhenti. Berarti mereka tahu di mana aku tinggal. Dan.bisa jadi ada di antara mereka yang berpikir "Sepi aja nih rumah".

Aku akhirnya memilih pangkalan ojek yang lain. Alhamdulillah komplek rumahku bisa diakses dari dua pintu. Pintu depan dengan akses jalan mobil dan pintu belakang dengan akses jalan motor. Akses jalan motor tersebut dikunci mulai maghrib hingga shubuh. Aku akhirnya minta diantar ke pintu akses jalan motor, kemudian berjalan sedikit ke rumahku. Karena badanku lumayan kecil maka aku bisa menyisip di sela pintu pagar yang terkunci dan tiang pagar.

Demikianlah Sodara Sodara arti "single" dengan segala pernak perniknya. Aneh bagi masyarakat kita umumnya, berat bagi yang menjalani dan tentu saja menjadi pikiran pelik bagi keluarga dekat. Wajar jika kemudian temanku Ade, menjadikan "not to be single" bahan tulisan yang tak habis habisnya.

Seorang teman di grup lain, bahkan ingin membuat buku dengan judul "Save Jomblo". Dia berempati sangat kepada para jomblo yang saat ini terpapar terus menerus dengan pamer keluarga atau pamer kemesraan pasangan di fb atau media sosial lainnya (by the way, baru beberapa hari lalu aku dapat share di fb bahwa pasangan yang memiliki hubungan yang sehat, justru tidak akan pamer kemesraan; nah lo!). Teman ini berstatus "married" dengan anak yang sudah remaja. Entah apa yang akan dia tulis di buku "Save Jomblo" itu. Patut diingat masalah jomblo adalah juga masalah statistik, di samping masalah teknis. Memang wanita lebih banyak daripada wanita. Bukan sekedar kesulitan dalam mempertemukan para jomblo tersebut.

Selain yang berempati, ada juga temanku, yang menjadikan ini lelucon. Atau aku terlalu men-judge, mungkin? Dia berkomentar di fb terhadap program Anies-Sandi tentang "pengentasan" jomblo (bukan kemiskinan). Dia me-like sebuah meme.yang kira kira mempunyai pesan seperti ini "Anies-Sandi tidak perlu repot menyelesaikan pe er Ahok, karena dalam sisa waktu empat atau lima bulan ke depan itu akan diselesaikan oleh Ahok-Djarot. Cukup ngurusin jomblo". Lantas ada tulisan tertawa ngakak di meme itu.

Entahlah apakah memang pasangan baru Jakarta Satu itu punya program "pemberantasan" jomblo se-DKI Jakarta. Kalau memang benar, itu terobosan baru terhadap masalah sosial yang sudah diprediksi Al Quran 1500 tahun lalu. Teknisnya bagaimana, wallahuallam.

Demikianlah tulisanku tentang "itu itu saja". Tulisan ini khusus kupersembahkan untuk Ade, saudaraku di grup Menulis Untuk Ibadah. Semoga kita termasuk orang orang yang istiqomah dalam keimanan, dalam penungguan yang melelahkan sekalipun.

Bandung, 10 05 2017
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment