Monday, October 9, 2017

TANGAN KIRI

Aku menatap nanar pada deretan kamar beruang kecil di depanku. Lampu hanya ada di dalam toilet itu. Itupun yang berukuran lima watt. Tidak ada lampu di pelataran di depan kamar-kamar itu. Aku berjalan lambat menuju salah satu ruang toilet. Ragu, kubuka pintu toilet. Aku celingukan menatap lantai semen yang berwarna gelap. Aku masih berdiri di luar toilet. Tak adakah toilet dengan kualitas lebih baik?  Aku coba melihat ke bilik yang lain. Sama saja. Aku masih belum mengambil keputusan sementara sudah cukup lama aku menahan pipis.  Hanya satu yang pasti dalam suasana seperti ini: toilet bau dengan suasana menyeramkan.  Dengan memaksakan diri, aku akhirnya menyelesaikan hajat di salah satu ruang toilet.

Tempat pemberhentian itu adalah rest area yang paling tidak nyaman selama perjalanan dengan bis ini. Setelah berjuang dengan kondisi toilet sekarang aku harus berhadapan dengan tempat yang disebut "musholla".

"Musholla di mana Mba?" aku bertanya pada seorang pelayan di rumah makan itu. Dia menunjuk pada sebuah ruangan di luar rumah makan, yang letaknya agak menyudut. Sebentar lagi adzan shubuh. Mendekati ruangan itu aku mendapati seorang laki-laki sedang tidur di sana. Tikar lusuh menjadi alas tidurnya dan juga menjadi alas sholat di ruangan itu. Aku mengurungkan niat untuk sholat di situ.

Ketidaknyamanan tempat berhenti itu semakin lengkap dengan pengalamanku berikutnya. Ketika aku akan ke musholla tadi, aku sempat bertatap pandang dengan seorang laki-laki yang sedang makan. Tampaknya dia sedang sahur. Mata kami bersirobok.

Mulanya aku takjub dengan lahapnya dia makan. Suapannya besar memakai jari yang juga besar besar. Tampak jari jari itu berlumuran sambal hijau dengan sebuah lauk, tampaknya ayam goreng.  Kelihatan dia nikmat sekali menghabiskan makanannya di piring putih berbunga. Namun sejurus kemudian aku kaget dan langsung melihat kepada pemilik tangan itu. Dia yang kutatap tak kalah terkejut dan melihat nanar ke mataku. Aku sadar telah salah "menghujat" dia dan dia menyadari itu. Cepat aku mengalihkan mataku ke arah lain. Semua kejadian itu terjadi dalam hitungan dua sampai tiga detik sambil aku melangkah melewati mejanya.

Aku berlalu dari hadapannya kemudian menunggu di teras warung dengan nelongso. Kamar mandi yang menakutkan, musholla bertikar tipis yang menjadi alas tidur seseorang dan seorang pengunjung yang makan lahap dengan tangan kiri. Mengapa bis ini memilih berhenti di sini?

Merak, 3 Juli 2016
Lisa Tinaria

No comments:

Post a Comment